Petualangan di SIRKUS ASING Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 1, ANAK-ANAK PULANG. Suasana di rumah yang biasanya sunyi senyap, tiba-tiba menjadi sangat ramai. Anak-anak baru saja datang. Mereka pulang untuk berlibur. Sambil berteriak dan tertawa-tawa, mereka menyeret kopor-kopor ke dalam rumah. Kiki tentu saja tidak mau ketinggalan. Burung kakaktua cerewet itu memekik-mekik. "Bibi Allie! Kami sudah datang!" seru Jack. "Diam, Kiki! Aku sampai tidak bisa mendengar suaraku sendiri!" "Ibu! Ibu di mana, ya?" Dinah memanggil-manggil. "Kami sudah pulang, Bu!" Ibunya datang bergegas-gegas, ia tersenyum gembira. "Dinah! Philip! Tak kukira kalian akan datang secepat ini. Wah, kau sudah besar sekarang, Lucy! Dan kau, Philip, tubuhmu semakin subur saja kelihatannya!" "Aku sendiri sampai heran," kata Philip sambil nyengir, lalu merangkul ibunya, Bu Cunningham. "Padahal makanan kami di asrama sekolah begitu brengsek, sampai aku selalu meninggalkan meja makan dalam keadaan lapar!" Ibunya tertawa. "Alaa—kau selalu berkata begitu jika pulang berlibur ke rumah," kata Bu Cunningham sambil tertawa. Setelah itu ia menyapa Kiki. "Apa kabar, Kiki?" "Apa kabar," kata burung kakaktua itu dengan serius, ia mengacungkan kaki kirinya, seolah-olah mengajak bersalaman. "Itu kepandaiannya yang baru," kata Jack. "Tapi bukan kaki yang itu, Kiki. Tidak tahukah kau perbedaan antara kaki kanan dan kaki kiri?" "Kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan," seru Kiki dengan segera, seperti memberi aba-aba. Iramanya tepat. "Kiri, kanan, kiri” "Sudah, sudah cukup," kata Jack memotong. "Mana Bill, Bibi Allie?" "ia sebenarnya berniat pulang untuk menyambut kedatangan kalian," kata Bibi Allie, yang setelah menikah dengan Bill, kini bernama Bu Cunningham. "Tapi tadi pagi ia ditelepon dari London. Setelah itu ia buru-buru berangkat ke sana, naik mobil." "Kenapa ia harus pergi, justru saat kami pulang karena liburan Paskah?" kata Lucy-Ann dengan kesal. "Apakah ia mendapat tugas rahasia lagi?" "Mudah-mudahan tidak," kata Bu Cunningham. "Saat ini aku sedang menunggu-nunggu telepon darinya. Kurasa malam nanti ia sudah akan kembali." "Bagaimana, Bu — apakah tidak sebaiknya kami membongkar kopor-kopor di sini saja, lalu langsung mengangkut barang-barang kami ke atas?" tanya Dinah. "Sulit sekali bergerak di sini, karena penuh dengan kopor." "Ya, keluarkanlah barang-barang kalian, dan bawa ke atas. Tapi jika kopor-kopor nanti sudah kosong, tinggalkan dua buah di sini," kata ibunya. "Besok kita akan berangkat, untuk berlibur beramai-ramai!" Anak-anak langsung mengerumuni Bu Cunningham. "Dalam surat-surat Ibu, Ibu tidak pernah menulis apa-apa tentang itu, Bu," kata Philip. "Akan ke manakah kita? Kenapa Ibu selama ini tidak pernah menceritakan rencana itu?" "Ini sebenarnya gagasan Bill, bukan rencanaku," kata Bu Cunningham. "Menurut pendapatnya, pasti menyenangkan jika sekali-sekali pergi berlibur beramai-ramai. Aku sendiri kaget, ketika ia dengan tiba-tiba saja mengajukan usul itu." "Aneh — kenapa ia tidak pernah mengatakan apa-apa mengenai hal itu pada kami?" kata Philip. "Ini pasti ada apa-apanya! waktu itu, ketika ia datang menjenguk kami di sekolah, ia malah masih berbicara tentang apa saja yang akan kami kerjakan di rumah, apabila pulang untuk liburan Paskah ini." "Menurutku, sama sekali tidak ada anehnya," balas Bu Cunningham. “Bill kan memang suka begitu — dengan tiba-tiba saja mendapat ide." "Lalu besok kita akan berlibur ke mana?" tanya Jack, sambil mendorong Kiki yang saat itu sedang mencongkel-congkel tutup tempat kue. "Kita akan ke suatu desa. Mamanya Little Brockleton," jawab Bu Cunningham. "Desa itu sangat tenang. Letaknya di tengah-tengah alam yang indah. Kalian pasti akan merasa senang di sana. Bisa berkeliaran seenaknya ke mana-mana, tanpa perlu repot-repot berdandan dulu dengan rapi." "Banyakkah burung-burung di daerah situ?" tanya Jack. "Di manakah letaknya yang tepat? Di pinggir laut?" Burung merupakan satwa yang sangat disukai Jack. Ke mana pun perginya, ia sudah merasa puas apabila sepanjang hari bisa mengamati kehidupan burung-burung di tengah alam bebas. "Kau ini, ingatanmu selalu hanya pada burung-burung terus," kata Bu Cunningham sambil tersenyum. "Aku tidak tahu apa-apa tentang jenis-jenis burung yang ada di sana — kurasa sama saja seperti di tempat-tempat lain. Tapi nanti sajalah kaulihat sendiri, jika kita sudah sampai di sana. Sekarang kita keluarkan saja dulu barang-barang dari kopor kalian. Kopor-kopor Dinah dan Lucy saja yang kita pakai nanti. Kelihatannya lebih utuh, dibandingkan dengan kopor-kopor kalian, Jack dan Philip!" "Bisakah kami makan dulu nanti, setelah selesai membongkar isi kopor-kopor ini?" tanya Philip. "Aku sudah lapar setengah mati. Makanan di asrama...” "Ya, ya — ceritamu itu sudah kudengar tadi, Philip," kata ibunya. "Setengah jam lagi kalian sudah bisa makan siang — dengan hidangan yang kalian sukai. Daging dingin, selada, panggang kacang buncis dengan kentang yang direbus bersama kulitnya, lalu tomat.” Anak-anak bersorak. Kiki berjingkat-jingkat, berjalan di satu tempat. "Asyik! Asyik!" teriaknya, menirukan seruan anak-anak. "Selamat pagi, selamat malam!" Sambil membongkar kopor-kopor mereka, keempat remaja itu bercerita pada Bu Cunningham. "Dalam perjalanan tadi, Kiki bertingkah lagi," kata Jack, sementara kedua tangannya sibuk mengumpulkan baju-baju yang setiap kali terjatuh lagi dari pelukannya. "Dalam gerbong kami ada seorang laki-laki tua yang ramah. Bayangkan, apa yang kemudian dilakukan oleh Kiki! ia turun ke kolong tempat duduk, mengambil kertas-kertas pembungkus permen yang berserakan di situ, lalu menyelipkan kertas-kertas itu ke dalam lipatan celana laki-laki tua itu. Ibu harus membayangkan air muka orang itu, ketika ia kemudian secara kebetulan membungkuk, lalu melihat kertas-kertas lengket yang berjejalan dalam lipatan celana panjangnya!" "Setelah itu Kiki menggonggong, menirukan suara anjing," kata Lucy-Ann sambil cekikikan. "Pak Tua itu kaget sekali mendengarnya, ia sampai terlonjak dari tempat duduknya — seperti kena tembak." "Dor, dor!" pekik Kiki menyela. "Cuci kaki, dan tutup pintu!" "Sudah lama aku tidak mendengar ocehan-mu, Kiki," kata Bu Cunningham sambil tertawa. Kiki menegakkan jambulnya, ia beringsut-ingsut mendekati Bu Cunningham, lalu mengusap-usapkan paruh ke pipinya. "Jika Kiki sudah begini, aku takkan heran jika ia tahu-tahu mendengkur — seperti kucing," kata Bu Cunningham. Digaruk-garuknya tengkuk burung kakaktua itu. Tak lama kemudian anak-anak sudah selesai membongkar isi kopor-kopor mereka. Pakaian yang kotor dimasukkan ke dalam sebuah keranjang besar. Sedang yang masih bersih disimpan dalam lemari. "Aku tidak mengerti, kenapa orang selalu ribut-ribut tentang pekerjaan berkemas dan membereskan kopor," kata Jack. "Cari apa kau di kantungku, Kiki? Ayo, keluarkan kepalamu dari situ! Sejak kapan kau suka sekali makan permen, hmm? Awas — nanti paruhmu lengket, dan kau tidak bisa mengoceh lagi." Kiki mengeluarkan kepalanya dari kantung Jack, sambil menjerit. Burung bandel itu senang, karena menemukan permen. Manisan yang masih terbungkus itu dibawanya terbang ke atas lemari. Di situ ia mulai membuka bungkus permen itu, sambil mengoceh dengan suara pelan pada dirinya sendiri. "Untunglah — dengan begitu untuk sementara waktu ia akan sibuk sendiri," kata Dinah. "Kalau kita sedang ramai, Kiki suka ikut-ikutan berisik, sih!" "Betul — persis seperti yang ngomong," kata Philip. Dinah menatap abangnya dengan mata melotot. Nampaknya tidak lama lagi pasti akan pecah pertengkaran antara mereka berdua. Karenanya Jack cepat-cepat menengahi. "Ayo, dua-duanya diam!" tukasnya. "Masa, hari pertama liburan sudah langsung bertengkar! Coba lihat, Lucy-Ann repot seorang diri, membawa pakaian ke atas. Kaus kakinya berceceran di tangga!" Saat itu telepon berdering. Bu Cunningham bergegas mendatangi pesawat itu. "Pasti ini Bill," katanya sambil mendekatkan gagang telepon ke telinga. Ternyata yang menelepon memang Bill. Bu Cunningham hanya menyela dengan kalimat-kalimat singkat. "Ya." — "Tidak." — "Ya, aku mengerti." — "Ya, ya, itu bisa kubayangkan." — "Baiklah, akan kujelaskan pada mereka." — "Jadi sampai nanti malam." "Apa katanya?" tanya Lucy-Ann. "Akan pulangkah dia?" "Ya, ia akan pulang pukul setengah enam nanti," kata Bu Cunningham. Air mukanya tidak menunjukkan kegembiraan, ia sudah hendak mengatakan sesuatu. Tapi kelihatannya ragu-ragu, karena mulutnya ditutup kembali. "Kata Ibu tadi, Ibu akan menjelaskan pada kami. Apa yang harus Ibu jelaskan, Bu?" tanya Philip. "Mudah-mudahan bukan kabar buruk," kata Lucy-Ann dengan nada cemas. "Bill kan masih adi ikut berlibur bersama kita?" "Ya, ya, tentu saja. Hanya — ia akan membawa orang lain," kata Bu Cunningham. ia cepat-cepat melanjutkan ketika melihat tampang anak-anak. "Tapi kalian tidak perlu langsung kecewa, Anak- anak!" "Siapakah orang itu?" tanya anak-anak serempak, sambil memandang Bu Cunningham dengan sikap curiga. "Mudah-mudahan bukan bibinya yang tua itu," kata Dinah. "Aku tidak ingin sepanjang masa liburan harus bersikap sopan dan manis, terus-menerus." "Itu bisa kumengerti," kata ibunya. "Tapi yang akan ikut itu bukan bibinya, melainkan seorang anak laki-laki. Keponakan seorang teman Bill." "Siapa namanya? Kenalkah kami padanya?" tanya Jack. "Bill tidak menyebutkan namanya tadi," kata Bu Cunningham. "Kenapa ia tidak pulang saja ke rumahnya sendiri?" tanya Dinah dengan sebal. "Kenapa kita harus mengajaknya? Aku tidak suka pada anak kecil, karena nanti paling-paling cuma merepotkan saja." "Awas — kalau ia berani mencoba-coba!" kata Philip dengan sengit. "Anak kecil harus patuh pada kita. Ya kan, Jack? Di sekolah cukup banyak anak-anak seperti itu — dan kami tahu bagaimana cara menghadapi mereka." "Tapi kenapa ia harus ikut dengan kita?" kata Dinah sekali lagi. "Apakah anak itu tidak punya rumah?" "Rumah sih ada sebenarnya — tapi di luar negeri," kata ibunya menjelaskan, "ia anak asing, yang disekolahkan di sini. Dan sekarang ia disuruh berlibur di sini, supaya bisa mengenal kehidupan keluarga Inggris. Kecuali itu, karena salah satu sebab ia tidak bisa pulang dalam liburan ini — kalau tidak salah, karena keluarganya ada yang sakit." "Yah—kalau begitu apa boleh buat," kata Lucy-Ann. Dalam bayangannya, anak laki-laki itu pasti merasa rindu pada keluarganya sendiri, dan perlu dihibur. "Kalau begitu biar kau saja yang nanti menemaninya, Lucy-Ann," kata Dinah. "Kau bisa mengajaknya berjalan-jalan dalam kereta bonekamu, serta kalau sudah malam menidurkannya!" "Jangan konyol, Dinah — anak itu tidaklah sekecil itu," kata ibunya. "Bagaimana — kalian sudah selesai mengosongkan kopor-kopor? Kalau sudah, sekarang cuci tangan dulu — setelah itu kita makan!" "Cuci tangan, sisir rambut, bersihkan kaki, bersihkan hidung," teriak Kiki. "Sisir tangan, cucihidung, bersihkan rambut "Kau mulai bingung ya, Kiki?" kata Jack sambil tertawa. Kiki terbang, lalu hinggap di bahu tuannya. Dicubitinya telinga Jack dengan paruhnya. Ketika gong berbunyi memanggil anak-anak makan, burung bandel itu menjerit, lalu terbang menghambur ke ruang makan, ia mengenal makna bunyi itu! "Kejar dia, Jack!" seru Bu Cunningham. "Nanti habis tomat kalian dimakannya!" Tapi sementara itu anak-anak sudah bergegas menuju ke ruang makan. Bab 2, GUSTAVUS DATANG Siangnya anak-anak berkeliling rumah, untuk melihat apakah ada sesuatu yang berubah. Setelah itu Dinah, Jack, dan Philip pergi ke kebun, di mana bunga-bunga musim semi sudah mulai bermunculan di sana-sini. Sayangnya, belum tumbuh sesuatu yang bisa dimakan. Namun mereka menjumpai enam ekor ayam baru. Mereka langsung memperkenalkan keenam ternak unggas itu pada Kiki. Sedang Lucy-Ann masih terus melihat-lihat keadaan di dalam rumah. "Di kamar tamu ada permadani baru," katanya pada Bibi Allie. "Tapi cuma itu saja perubahan di situ. Untunglah — karena aku tidak suka ketika pulang melihat segala-galanya berubah. Anak yang akan datang bersama Bill, akan di situkah tidurnya nanti, Bibi Allie?" "Ya," jawab Bu Cunningham. "Sebentar lagi aku akan membereskan tempat itu. Kau ke kebun saja sekarang, menyusul yang lain-lain. Tolong petikkan beberapa kuntum bunga narsis, Lucy- Ann. Nanti kita taruh di ruang depan." Lucy-Ann berjalan dengan santai ke luar, sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Baginya, hari pertama dalam liburan selalu paling indah. Perasaan akan menghadapi waktu beberapa minggu tanpa harus ke sekolah, sangat dinikmatinya. “Cepat — kemari, Lucy-Ann!" seru Jack, ketika adiknya muncul di kebun. "Lihatlah — Kiki sedang pamer di depan ayam-ayam yang baru!" Kiki bertengger di atas sebatang tonggak di depan kandang ayam. Keenam ayam baru itu berkerumun, seolah-olah mengaguminya. Mereka berkotek-kotek. Seekor di antaranya memanjangkan tubuh ke atas sambil mengepak-ngepakkan sayap, seakan-akan berusaha hendak terbang. Kiki menelengkan kepala, ikut-ikut memanjangkan tubuh, melebarkan sayap,lalu terbang membubung. Kemudian menukik, ke arah ayam-ayam yang kelihatan terkejut. "Kokkokkok," serunya dengan serius, menirukan suara ayam. "Kokokkok!" Ayam-ayam itu datang menghampiri Kiki, sambil berkotek-kotek. Seekor ayam betina nekat, mematuk bulu ekor Kiki. Eh — kurang ajar! Kiki langsung menerjang maju, sambil menirukan bunyi pesawat terbang yang sedang mengalami kerusakan mesin. Ayam-ayam baru itu pontang-panting ketakutan, lari terbirit-birit menuju kandang, berdesak-desak dulu-mendului masuk lewat lubang pintu yang sempit. Kiki berjalan tergeyot-geyot mengejar, sambil berkotek-kotek lagi. Saat itu Bu Cun ningham menjenguk ke luar dari jendela dapur "Jangan perbolehkan Kiki mengganggi ayam-ayam itu, Anak-anak!" serunya. "Nanti tidak ada yang mau bertelur!" "Kiki sudah masuk ke dalam kandang!" seru Jack menjawab. "Mungkin ingin duduk di salah satu sarang, dan mencoba bertelur — seperti ayam-ayam itu! Ayo keluar, Kiki!" Kepala Kiki tersembul di pintu kandang. "Jerangkan air, Polly," ocehnya dengan ramah, lalu berkotek-kotek. Setelah itu ia terbang, lalu hinggap di bahu Jack. Ayam-ayam saling berpandangan dengan sikap lega. Nampaknya seperti sedang berembuk, apakah sudah aman lagi untuk pergi ke luar. "Nah — itu kucing tetangga," kata Dinah. “Mungkin ia datang untuk melihat, kenapa di sini ribut- ribut! Pegangi Kiki, Jack!" "Ah, biar saja! Kiki nanti pasti akan menggonggong seperti anjing, jika kucing itu berani mendekat," kata Jack. "Yuk, kita ke rumah kaca, untuk melihat apa yang ditanam Pak Kebun di situ." Siang itu menyenangkan. Cuaca cerah, dan anak-anak menikmati keleluasaan berkeliaran di kebun. Senang rasanya, berada di rumah kembali. Hanya kedatangan anak asing itu saja yang terasa mengganggu. "Ah — lebih baik kutunggu saja kedatangan Bill di pintu pagar," kata Lucy-Ann, setelah anak- anak selesai minum teh sore itu. "Kami ikut!" seru Philip. "Aku sudah kepingin sekali berjumpa dengan Bill! Untung saja kali ini ia tidak harus melakukan tugas rahasia, sehingga bisa ikut berlibur dengan kita!" Anak-anak pergi ke pintu pagar. Mereka berdiri di situ, sambil memandang dengan tegang ke arah jalan. Kiki tahu, anak-anak sedang menunggu kedatangan Bill. Jambul burung itu bergerak- gerak, turun-naik. "Bill, Bill!" serunya berulang-ulang. "Mana Bill? Bill mengupil!" Akhirnya Jack menepuk paruh burung iseng itu. "Diam, Kiki!" katanya. "Lihatlah — itu ada mobil datang kemari." Tapi mobil itu tidak berhenti di depan rumah. Kiki menirukan bunyi tuter, ketika kendaraan itu lewat. Pengemudinya tercengang, karena tidak melihat ada mobil lain. Tapi supaya aman, ia juga membunyikan tuter. Siapa tahu, mungkin di dekat-dekat situ ada jalan samping yang tidak nampak dengan jelas. Tiba-tiba Lucy-Ann berseru dengan gembira, "Itu Bill!" Sebuah mobil besar berwarna hitam datang, dan berhenti di depan pintu pagar. Bill menjengukkan kepalanya dari dalam kendaraan itu, sambil tertawa. Di sisinya ada orang lain. Anak-anak tidak bisa melihat orang itu dengan jelas. Itukah anak asing yang akan ikut berlibur? Bill membuka pintu, lalu meloncat ke luar. Dengan segera ia sudah dikerumuni anak-anak. "Halo, Bill! Apa kabar? Akhirnya kau datang juga!" Kiki tidak mau ketinggalan. Burung itu menjerit-jerit. "Bill upil!" Bill tertawa. "Bertambah bandel saja kau sekarang, Kiki," katanya. "Rupanya memang sudah waktunya aku pulang, untuk mengajarkan sedikit tata-krama padamu." Kiki terbang ke bahunya, lalu berkotek-kotek seperti ayam betina. “He, he, jangan bertelur di tengkukku, ya!" kata Bill, pura-pura kaget. "Mana Ibu, Dinah?" Itu dia." Bu Cunningham muncul dari dalam rumah. Bill hendak menyongsong. Tapi tiba-tiba terdengar suara mendeham dengan keras. Datangnya dari dalam mobil. “Ah, betul juga! Aku kan membawa tamu? Kau sudah menceritakan pada anak-anak mengenai dia, Allie?" tanya Bill pada istrinya, yang sementara itu sudah sampai di situ. “Ya, sudah!" jawab Bu Cunningham. "Mana dia? — Eh, masih di dalam mobil? Kenapa tidak turun?" “Turunlah," kata Bill. Semua memandang ke arah pintu mobil, sementara seorang anak laki-laki yang umurnya sekitar sebelas tahun keluar lewat situ. Anak-anak memandangnya dengan penuh minat. Penampilannya sangat asing. Rambutnya yang hitam pekat berombak-ombak dan dibiarkan tumbuh panjang. Bola matanya juga nampak hitam sekali, dengan bulu mata tebal dan panjang. Bahkan lebih panjang daripada bulu mata Dinah dan Lucy-Ann. Tingkah lakunya sopan sekali. Anak asing itu menghampiri Bu Cunningham. Sambil membungkukkan diri dalam-dalam dipegangnya tangan Bu Cunningham, lalu disentuhkannya ke bibirnya. Bu Cunningham tidak bisa menyembunyikan perasaan geli. Ia tersenyum. Sedang anak-anak melongo. "Saya mengucapkan terima kasih, Nyonya yang budiman," kata anak itu. Kentara sekali logatnya yang asing. "Sama-sama," balas Bu Cunningham dengan ramah. "Kau sudah minum teh tadi?" Pertanyaan itu tidak dijawab, karena sementara itu anak laki-laki tadi sudah berpaling pada Dinah. Dan sebelum Dinah sempat mengelak, tangannya sudah dipegang oleh anak laki-laki itu, dan didekatkan ke bibirnya. "Jangan!" seru Dinah kaget, sambil cepat-cepat menarik tangannya. Lucy-Ann menyembunyikan tangannya ke balik punggung. Aneh sekali anak laki-laki ini, pikirnya. Dalam hati, Bill merasa geli melihat kekagetan Dinah dan Lucy-Ann. Tapi ia tidak menampakkannya. "Gus," katanya pada anak itu, "kami di sini kalau berjumpa hanya bersalaman saja." Bill menoleh pada istrinya. "Eh—ini Gustavus Bar-milevo, Allie. ia akan ikut berlibur dengan kita, karena pamannya menitipkan dia padaku selama beberapa waktu." Sekali lagi Gus membungkuk dalam-dalam. Tapi sekali ini tanpa mencium tangan. Bill memperkenalkan anak-anak padanya. "Dan ini Dinah, Lucy-Ann, Jack, dan Philip. Mudah-mudahan kalian bisa menjadi teman baik." Jack dan Philip bersalaman dengan Gus. Mereka bersikap sopan. Tapi dalam hati, perasaan mereka tidak enak melihatnya. Aduh, selama liburan mereka harus bergaul terus dengan anak seaneh itu? Setiap kali bersalaman, Gus membungkuk sedikit. Gayanya kocak! "Aku senang berkenalan denganmu," katanya tiap kali. Kemudian ia menoleh ke arah Kiki. "Burung macam apa ini? Siapa namanya?" "Ini burung Kiki," kata Jack dengan wajah serius. "Perkenalkan, Gus—ini Kiki. Kiki, ini Gus!" Kiki mengulurkan kaki kirinya. Gus agak heran melihatnya. Tapi ia mengulurkan tangannya pula, mengajak bersalaman. Tiba-tiba ia menjerit. Cakar Kiki ternyata terlalu dalam mencengkeram tangannya. “Berisik, berisik!" jerit Kiki mengomel. "Cuci kaki.bersihkan hidung! Panggil dokter." “Jarriku berdarrah," keluh Gus."Lihatlah — berdarrah banyak!" “Panggil dokter! Polly pilek! Panggil dokter!" oceh Kiki tidak henti-hentinya. Baru saat itulah Gus menyadari bahwa yang mengoceh itu Kiki. ia menatap burung kakaktua itu dengan mulut ternganga. Jari tangan yang berdarah dilupakannya. "Burung itu bicarra," katanya dengan kagum, "ia bicarra! ia melihat jarriku berdarrah, lalu bicarra surruh panggil dokterr. Aku belum pernah lihat burrung kiki macam begini!" "Masuklah ke rumah — nanti jarimu ku-balut," kata Bu Cunningham dengan nada agak kurang sabar. "Ya, lihatlah - berdarrah," kata Gus. Dengan air muka sedih dipandangnya setetes kecil darah dari luka di jarinya jatuh ke tanah, ia kelihatannya sudah hampir menangis. Tapi kemudian sikapnya berubah. "Burrung ini harrus dimasukkan dalam kandang. Harrus karrena itu perrintahku!" kata Gus dengan nada memerintah. Anak-anak yang lain begitu kaget mendengarnya, sehingga selama sesaat mereka hanya bisa melongo saja. "Jangan seenaknya saja ngomong," tukas Jack kemudian. "Yuk, Bibi Allie, kita masuk saja ke rumah. Kalau lama-lama di sini, jangan-jangan Gus nanti mati kehabisan darrah!" Gus cepat-cepat lari ke rumah. Rupanya ia takut, jangan-jangan bisa mati karena kehabisan darah. Anak-anak yang lain ikut masuk. "Otaknya tidak beres," kata Dinah dengan suara lirih. “He!" seru Bill, yang masih ada di dekat mobil. "Kalian kok tidak membantu aku mengangkut barang-barang ini ke dalam?" “Wah—maaf, Bill, sampai lupa," kata Jack, lalu bergegas kembali ke mobil. "Habis, tingkah laku Gus begitu aneh! Bangsa apa dia itu?" “ia berasal dari salah satu negara di selatan, tapi kalian jangan bertanya-tanya padanya tentang orang tua atau tanah airnya — karena mungkin ia nanti menangis. Maaf ya, kalian terpaksa kurepotkan dengan anak itu. Tapi kurasa ia akan bisa menyesuaikan diri dengan kalian, ia selama ini tinggal di asrama sekolahnya. Kelakuannya di situ cukup baik. Pokoknya, akan kuusahakan agar ia nanti tidak terlalu merepotkan kalian — karena temankulah yang menitipkannya padaku!" “Nanti kami bantu, Bill," kata Lucy-Ann berjanji. "Kurasa ia cuma pemalu saja! Ih — aku tadi sudah takut saja, jangan-jangan tanganku juga dicium olehnya. Kalau itu sampai terjadi, apa kata teman-temanku di sekolah nanti?" “Kecil kemungkinannya bahwa mereka akan tahu." kata Bill menenangkan. "Jack, bawa tas itu — dan kau kopor ini, Philip! — Ah, senangnya, ada di rumah lagi! Di tengah-tengah kalian, dan juga Kiki — tentu saja! Ya kan, Kiki?" “Cul, Bill muncul!" teriak Kiki, lalu hinggap di bahu Bill. "Cul-cul-cul!" Bab 3, KIKI DAN GUSSY Malam itu anak-anak sibuk berkemas, karena besoknya mereka akan sudah berangkat lagi. Mereka ribut mempermasalahkan apa yang perlu dibawa, dan apa yang tidak. Gustavus kelihatannya tidak biasa menghadapi keadaan seperti itu. ia hanya duduk tercengang- cengang saja sambil mengelus-elus jarinya yang dibalut, semntara di sekelilingnya anak-anak ramai berbicara simpang siur. ia juga sangat tertarik pada Kiki, yang tidak henti-hentinya dipandanginya. Tapi Gus tidak mau didekati. Setiap kali Kiki hendak mendekat, anak itu langsung menggerak-gerakkan tangan, seperti hendak mengusir ayam. "Husy — nyahlah pergi!" seru Gus. "Pergilah nyah!" "Ngomongnya asal bunyi saja — seperti Kiki," kata Jack sambil nyengir karena geli. "Kiki sampai bingung melihatnya! — Eh, ke mana bukuku tadi? Bibi Allie, aku tadi kan sudah memasukkan buku yang besar itu ke dalam kopor? Kenapa sekarang tidak ada?" "Kau memang sudah memasukkannya," kata Bibi Allie, "tapi kemudian kukeluarkan lagi. Untuk kesekian kalinya kukatakan, kau tidak bisa membawa selusin buku tentang burung, Jack! Dua saja sudah lebih dari cukup! Jadi kau harus memilih, buku mana yang ingin kaubawa!" “Janganlah sekeras itu," keluh Jack. "Tapi -kalau teropong, itu kan boleh kubawa, ya? Kalau tidak, mendingan aku tidak ikut saja." “Teropongmu bisa kaugantungkan di lehermu." kata Bu Cunningham. "Harap kauingat, Kita akan bertujuh dalam mobil, belum lagi barang-barang. Jadi kita harus membatasi diri pada yang paling perlu saja. — Kiki! Ayo, kembalikan tali itu! Aduh, bisa gila aku nanti karena ulah burung iseng itu. Barang apa pun, kalau kuletakkan sebentar saja, pasti langsung dibawanya lari." “Mana kandang?" seru Gustavus dengan tiba-tiba. Nada suaranya seperti memerintah. Masukkan burrung itu dalam kandang!" Jangan mengoceh terus tentang kandang!" tukas Jack. "Kau tidak punya hak, memerintah- merintah di sini!" Gustavus tidak senang mendengar nada suara Jack. ia meluruskan sikapnya. “Burrung ini — jakhat," kata Gus. "tidak baik — jakhat! Harrus masuk dalam kandang!" “Jack!" kata Bu Cunningham dengan nada memperingatkan, begitu dilihatnya air muka Jack menjadi merah padam. "Gustavus masih belum biasa bergaul dengan Kiki. Begitu pula dengan kita. Berilah kesempatan padanya untuk menyesuaikan diri dulu. Gustavus, burung itu tidak jahat. Kiki itu baik hati. Sekarang diamlah." Tapi Gus ternyata keras kepala. "Mana kandang?" katanya sekali lagi. "Kandang besar untuk burrung jakhat!" Jack mendatangi anak itu. Didekatkannya mukanya ke muka anak itu, lalu berbicara lambat- lambat dengan suara lantang. "Aku punya kandang — kandang yang besar sekali, untuk anak kecil yang konyol. Sekarang akan kuambil kandang itu, lalu kau akan ku-kurung di dalamnya. Dengan begitu kau akan aman dari burrung jakhat!" Jack kaget sekali, ketika tahu-tahu Gus menangis. Anak-anak yang lain memandang sambil melongo. Ih — masa anak berumur sebelas tahun masih suka menangis! Bahkan Lucy-Ann pun merasa geli melihatnya. Bu Cunningham menghampiri Gustavus. "ia rupanya capek," katanya pada anak-anak. "Baginya, semuanya masih asing sekali — dan ia rupanya juga belum pernah melihat burung seperti Kiki. Kiki memang burung aneh! Sudahlah, janganlah menangis, Gus! Jack tadi kan hanya main-main saja." "Siapa bilang!" kata Jack. "Kandang Kiki yang tua kan lapang sekali, dan...” Bu Cunningham tidak memberi kesempatan pada Jack untuk menyelesaikan kalimatnya. Dipegangnya lengan Gustavus, lalu dibimbingnya meninggalkan ruangan. Anak-anak yang lain berpandang-pandangan, lalu mengangkat bahu. “Dengan anak seperti itu kita harus bergaul selama liburan ini," kata Jack sambil mendengus. "Akan kutunjukkan padanya nanti, siapa sang berkuasa di sini." "ya, betul!" seru Dinah dengan sebal. "Dia kira siapa dia itu, hahh!? Seenaknya saja, hendak mengurung Kiki! Coba kau tadi benar-benar mengambil kandang Kiki, Jack — aku kepingin melihat tampang Gustavus." “Paling-paling tangisnya akan bertambah keras." kata Lucy-Ann. "Gussy yang malang!" 'Gussut!” teriak Kiki dengan tiba-tiba. "Gussut cemberut!" Anak-anak tertawa. “Ocehanmu lagi-lagi tepat sekali," kata Philip pada Kiki. "Anak itu memang benar-benar pencemberut. Gussut cemberut. Kita pasti segera muak melihatnya!" "Gussut — cemberut!" teriak Kiki. Burung iseng itu menandak-nandak, mundur-maju. "Cuci mulut, Gussut cemberut!" "Keringkan air mata, maksudmu," kata Philip. "Moga-moga saja Gussy nanti tidak terlalu sering menangis, ah! Lain kali kalau ia menangis lagi, akan kuambilkan serbet pengelap piring, lalu akan kusuruh dia mengeringkan air mata dengan lap itu!" Saat itu Bu Cunningham masuk lagi. ia mendengar kata-kata Philip. "Janganlah kalian bersikap terlalu keras pada anak itu," katanya. "Memang, tingkah lakunya memang agak konyol—tapi pasti baginya sama sekali tidak enak, tahu-tahu berada di tengah-tengah sekian banyak orang yang masih asing. Ditambah lagi ia belum begitu menguasai bahasa kita! Menurut pendapatku, hal itu tidak boleh kalian lupakan. Berilah kesempatan padanya untuk menyesuaikan diri." "Baiklah, Bu," kata Philip. "Tapi aku masih tetap belum mengerti—bukan kebiasaan Bill untuk dengan begitu saja memaksa kita agar bergaul dengan anak sekonyol itu." "Soalnya begini,” kata Bu Cunningham menjelaskan. "Karena salah satu sebab, anak itu terpaksa dititipkan pada Bill. Dan Bill tidak bisa menolak, ia sebenarnya sudah menduga, kalian tentu takkan merasa cocok kalau disuruh bergaul dengan anak seperti Gustavus. Karena itu ia mula-mula hendak bepergian sendiri, dengan anak itu. Tapi aku ingin kita berlibur beramai-ramai, dengan Bill. Karena itu akhirnya kami memutuskan untuk mengajak Gustavus. Hanya ada dua pilihan. Berlibur dengan Bill dan Gustavus, atau kita pergi sendiri — tanpa mereka berdua." "O, begitu," kata Philip. "Kalau begitu apa boleh buat. Mendingan sebal karena ada Gustavus, daripada berlibur tanpa Bill." “Itu sudah kusangka," kata ibunya. "Jadi kalian harus mau agak mengalah, ya! Sebab, Bill bisa saja mengambil keputusan untuk pergi berdua dengan Gus saja, jika kalian terlalu cerewet. Lagi pula, kalian pasti mampu membuat Gustavus mau menyesuaikan diri. Baginya, itu ada baiknya! Anak itu nampaknya biasa dimanjakan." "Nantilah — kami pasti akan bisa membuatnya sadar," kata Jack. "Tapi di mana dia sekarang?" "Sudah kusuruh masuk ke kamar tidur," kata Bu Cunningham. "Untuk saat ini, tempat itulah yang paling baik untuk dia. Masih banyak yang harus kita kerjakan malam ini. Aku tidak punya waktu untuk mengurus pertengkaran, anak yang menangis, serta keluh kesah!" "Setuju!" kata Jack. "Nah — karena Gus Cengeng sudah disingkirkan, kita lanjutkan saja berkemas. Atau Anda barangkali memerlukan bantuan untuk menyiapkan hidangan makan malam, Bibi Allie?" "Kalian sudah lapar lagi?" kata Bibi Allie dengan heran. "Baiklah — kalau begitu Dinah dan Lucy-Ann yang menyiapkan. Sedang kalian, Philip dan Jack — kalian berdua membantuku meneruskan berkemas. Kita harus membawa barang sesedikit mungkin! Bawaan Gustavus, sebagian besar bisa ditinggal saja di sini. Macam-macam saja bawaannya — seperti piama dari kain sutra, misalnya! Dan pada setiap pakaiannya, tersulam huruf-huruf depan namanya." "Kalau begitu ia pasti sering diganggu anak-anak yang seasrama dengan dia," kata Philip. "Sayang, kenapa mereka tidak memotong rambutnya yang panjang itu. Sudah panjang, berombak-ombak lagi — seperti anak perempuan. Tidak bisakah kita menyuruhnya memotong rambut, Bu?" "Kita lihat saja nanti," jawab ibunya. "Tapi sudahlah, janganlah kita berbicara terus-menerus tentang dia. Aku sudah bosan!" Setelah itu mereka meneruskan berkemas, karena ingin selesai saat hidangan makan malam siap. Bu Cunningham bersikap tegas. Setiap anak hanya diperbolehkan membawa pakaian yang benar-benar diperlukan nanti. Untuk kedua kalinya ia mengeluarkan buku tebal tentang burung, yang dimasukkan dengan diam-diam oleh Jack ke dalam sebuah kopor. Bu Cunningham melakukannya sambil melirik ke arah anak itu. "Eh — aneh!" kata Jack berpura-pura heran. "Kenapa tahu-tahu ada di dalam kopor itu, ya?" "Sekarang kututup kopor ini," kata Bu Cunningham. "Sungguh, Jack — kadang-kadang kurasa kau ini masih perlu dipukul pantatmu sekali-sekali!" Setelah itu anak-anak makan. Suasana di meja makan sangat meriah. Suara mereka bercakap- cakap dan tertawa-tawa terdengar sampai di tingkat atas, di mana Gustavus duduk di tempat tidur dengan sebuah baki berisi makanan di atas lututnya, ia sudah capek sekali. Tapi walau begitu ia merasa agak iri, mendengar betapa riangnya anak-anak berkumpul di ruang makan di tingkat bawah, ia merasa bahwa anak-anak itu tidak begitu senang terhadapnya. Tapi menurut perasaannya, yang menjadi penyebab bukanlah tingkah lakunya, melainkan burrung jakhat itu. Awas — jika ada kesempatan, akan ditamparnya burung itu! ia mengayunkan tangan. Eh — tahu-tahu tangannya itu membentur selimut. Baki di atas lututnya tergoyang. Limun tumpah, membasahi alas kaki. Sialan! Gustavus buru-buru mengeringkan baki yang basah dengan serbetnya, ia begitu sibuk, sehingga tidak dilihatnya Kiki menyelinap masuk lewat pintu yang terbuka sedikit. Burung kakaktua iseng itu ingin melihat, apa sebabnya Gustavus tidak ikut makan di bawah. Kiki berjalan tergeyot-geyot ke bawah tempat tidur. Diperiksanya sandal yang ada di situ. Kemudian perhatiannya teralih ke sebuah kotak kardus. Apakah isi kotak itu? ia berusaha mengangkat tutup kotak itu dengan paruhnya. Kiki memang sangat suka membuka-buka tutup. Gustavus mendengar bunyi yang mencurigakan di bawah tempat tidur. "Siapa itu?" tanyanya ketakutan. Kiki menimbang-nimbang, bunyi apa yang akan diperdengarkan, ia bisa menirukan bermacam- macam bunyi. Misalnya saja bunyi peluit kereta api yang sedang melewati terowongan. Tapi itu lebih baik jangan — karena Bu Cunningham pasti akan datang, lalu marah-marah. Kiki juga bisa menirukan mesin pemotong rumput yang kurang minyak. Tapi itu pun lebih baik jangan! Kiki bisa pula menirukan suara orang batuk. Batuk mendeham-deham, atau batuk penderita pilek berat, ia pun bisa — menirukan suara orang bersin. Bunyinya persis aslinya! Gustavus kaget setengah mati, ketika tiba-tiba terdengar suara orang bersin di kolong tempat tidur. Astaga! Siapakah itu? Jangan-jangan ada perampok di kolong tempat tidur, ia gemetar ketakutan. Sebagai akibatnya, limun di atas baki tumpah lagi. Kini Kiki menirukan suara orang batuk-batuk. Batuk yang dalam dan berat. Bunyinya menyeramkan. Bulu tengkuk Gustavus berdiri. Kerongkongannya terasa seperti tersumbat. Siapakah yang batuk-batuk itu? ia tidak berani berdiri untuk memeriksa. Habis — bagaimana kalau orang itu nanti mencengkeram pergelangan kakinya, begitu ia turun dari tempat tidur? Kiki mengerang-ngerang. Gustavus semakin gemetar ketakutan, sehingga nyaris saja baki berisi makanan terjatuh dari tempat tidur. Gustavus masih sempat memegangnya. Tapi karena tangannya sangat gemetar, sebuah piring terjatuh juga ke lantai. Piring itu membentur sepatu, lalu bergulir ke kolong tempat tidur. Kiki kaget melihat ada piring bergulir ke arahnya. ia cepat-cepat melompat ke tepi. Dengan penuh minat diperhatikannya piring yang berputar-putar sebentar, sampai akhirnya jatuh tertelungkup. Akhirnya Gustavus bisa berteriak. "Tolong! Tolong — ada orang di kolong tempat tidur! Tolong, tolong!" Dalam sekejap mata, Bill sudah muncul di ambang pintu. "Ada apa?" "Di kolong tempat tidur ada orang," kata Gustavus ketakutan. Bill membungkuk. Tapi ia tidak melihat siapa-siapa di kolong tempat tidur. Kiki sudah cepat-cepat mendului, bersembunyi di dalam sebuah lemari. Burung iseng itu menelengkan kepala, mendengarkan dengan penuh minat. "Kau tadi melamun, ya?" kata Bill dengan ramah pada Gustavus. "Di kolong tidak ada siapa- siapa! Sini, kubawa saja bakimu itu ke bawah. Kau tidur saja sekarang!" Bab 4, KE LITTLE BROCKLETON Keesokan paginya cuaca cerah. Awan putih bersih berarak-arak di langit. “Kelihatannya seperti gumpalan kapas," kata Dinah. "Mudah-mudahan cuaca selama liburan akan begini terus." “Kukeluarkan saja mobil dari garasi," kata Bill. "Jika aku nanti membunyikan tuter, kalian semua harus sudah siap. Allie, kau nanti duduk - depan, di sampingku. Kau juga, Lucy-Ann — duduk di tengah-tengah, di antara aku dan Bibi Allie! Sedang kalian berempat, kalian di belakang, ya! Barang-barang kita taruh di tempat bagasi. Jika di antara kalian ada yang ingin berjalan kaki, itu gampang — rewel sajalah nanti di tengah jalan. Dengan senang hati aku akan menurunkannya!" “Anda benar-benar sampai hati melakukannya. Bill?" tanya Lucy-Ann. “Ya, tentu saja!" jawab Bill. Ia memasang tampang galak, sampai Gustavus ngeri melihat-lihat. ia pun langsung memamerkan tatakrama yang sopannya luar biasa, ia membukakan pintu Sambil membungkukkan badan, dipersilakannya yang lain-lain lewat lebih dulu. Setiap barang yang disentuh Bu Cunningham buru-buru diambil olehnya, untuk dibawakan. Kesibukannya itu menyebabkan ia menghalangi langkah orang lain. Dan setiap kali itu terjadi, Gustavus pun buru-buru melompat ke samping, membungkukkan badan sambil berkata, "Maaf! Maafkan saya!" "Saya sayur," oceh Kiki dengan segera. "Sayur guyur!" Kemudian burung konyol itu tertawa terkekeh-kekeh. "Bagaimana jarimu yang luka itu, Gus?" tanya Jack. "Sudah tidak berrdarrah lagi — terrima kasih," jawab Gus. "Lebih baik jangan kauganggu Kiki," kata Jack memperingatkan, "karena nanti kau di-patuknya lagi sehingga kau berdarrah-darrah banyak sekalli!" "Ih — burrung itu jakhat," kata Gus. "Aku tidak suka pada burrung itu." "Kurasa perasaan Kiki juga begitu terhadapmu," kata Jack. "Sekarang minggirlah — jika tidak ingin perutmu terbentur kopor berat ini." Gustavus cepat-cepat menepi. "Maaf, maaf sekali!" katanya sambil membungkuk. Akhirnya mereka sudah siap untuk berangkat. Wanita yang dimintai tolong menjaga rumah mengantar sampai ke pintu. Bill membunyikan tuter. Nyaring sekali bunyinya. Gustavus langsung lari ke mobil. Rupanya ia takut ditinggal. Lucy-Ann duduk di depan, diapit oleh Bill dan Bu Cunningham. Sedang keempat anak lainnya duduk berdesak-desakan di jok belakang. Gustavus langsung mengkerut ketika melihat Jack duduk di sampingnya. Soalnya, Kiki bertengger di bahu anak itu. Kiki menirukan bunyi sumbat botol terbuka. PLOK! Gustavus terlonjak, karena kaget. Kiki terkekeh, lalu sekali lagi menirukan bunyi itu. "PLOK! Gussut. Gussut cemberut. Gussut cemberut. PLOK!" "Eh — ada apa, Gus?" tanya Jack. ia tercengang, karena tahu-tahu Gustavus melorot ke lantai mobil. "Maaf! Maaf, ya — tapi burrung Kiki meludahi telingaku!" kata Gus, yang sementara itu sudah duduk di lantai. Anak-anak yang lain terpingkal-pingkal. "Jangan konyol, ah," kata Jack. "Ayo, duduklah yang benar, di atas sini. Kalau mau, pindah saja ke sebelah situ — di samping Dinah. Tapi kukatakan saja sekarang, Kiki nanti pasti berkeliaran ke mana-mana, jika sudah bosan bertengger di atas bahuku." "Buang ingusmu!" teriak Kiki, sambil memandang Gus yang masih duduk di lantai. Anak itu melongo. "Di belakang sudah siap semua?" seru Bill, sambil menghidupkan mesin. Gigi perseneling dimasukkan, pedal gas ditekan. Mobil mulai bergerak maju. "Muatannya kali ini berat sekali," kata Bill. "Pasti kendaraan ini akan mengerang-ngerang, jika harus mendaki tanjakan." Tapi mesin mobil itu kuat. Bu Cunningham merasa lega, karena kendaraan itu ternyata masih mampu meluncur dengan laju. Jika tidak ada aral melintang, sebelum gelap mereka pasti akan sudah tiba di tempat tujuan. "Apakah kita di sana nanti akan menempati rumah tetirah, Bibi Allie?" tanya Lucy-Ann. "Ya," jawab Bu Cunningham, "letaknya kurang-lebih dua kilometer dari desa. Namanya 'Pondok Batu', karena letaknya dekat sebuah tambang terbuka, tempat penggalian batu. Katanya, di dekat-dekat situ ada usaha pertanian. Kita bisa membeli susu segar, telur, mentega, dan juga roti di tempat itu. Enak juga, tidak perlu setiap kali pergi ke desa." "Dalam liburan ini aku ingin menyelidiki kehidupan labah-labah," kata Philip. "Mereka itu makhluk yang luar biasa! Apalagi yang besar, yang kakinya panjang-panjang dan berbulu...." Dinah bergidik. "Aduh — bicara tentang yang lainnya saja, ah," katanya. "Entah kenapa, tapi begitu ada yang menyebut-nyebut binatang itu, sekujur tubuhku langsung merinding — seakan-akan ada yang merayapi punggungku." “Wah — mana labah-labahku itu? Wah, jangan-jangan minggat!" Philip berbuat seolah-olah sibuk mencari-cari dalam kantungnya. Gustavus memandangnya dengan wajah ngeri. Anak itu rupanya juga takut pada labah-labah. Dinah terpekik. “Jangan suka jail, Philip! Kau tadi benar-benar mengantungi labah-labah?" "Philip!" kata ibu mereka sambil menoleh ke belakang. "Ingat, apa kata Bill tadi! Kau ingin berjalan kaki sampai ke Little Brockleton, ya?!" “Tidak, tidak — aku sama sekali tidak mengantungi labah-labah," kata Philip buru-buru. "Kau bisa duduk dengan tenang, Di. — He, Gus, masa enak duduk di bawah begitu!? Aku setiap kali lupa bahwa kau ada di situ. Mudah-mudahan saja kau selama ini tidak menjadi alas kakiku. Secara tidak sengaja, tentunya!" "Kau tidak boleh bicarra begitu," kata Gus tersinggung. "Aku akan marrah, jika aku dijadikan alas kakimu!" "Yuk, kita melakukan permainan," ajak Jack, untuk mencegah kemungkinan terjadinya pertengkaran. "Kita berlomba menghitung jenis-jenis binatang yang kita lewati. Anjing berbulu hitam, kucing putih, kuda belang." “Kenapa cuma binatang saja? Kendaraan juga, dong!" kata Lucy-Ann mengusulkan. "Baiklah — kalau begitu ditambah sepeda merah, serta gerobak tukang es krim! Kita berlomba menghitung sampai seratus. Yang paling belakangan mencapai angka itu, ia harus membelikan es krim untuk kita semua." Usul permainan itu menarik minat Gustavus. ia cepat-cepat duduk ke atas, di samping Dinah. Bill dan istrinya yang duduk di depan, menarik napas lega. Sekarang mereka akan bisa agak lebih tenang, karena anak-anak pasti sibuk memperhatikan jalanan, siapa yang paling dulu melihat hewan dan kendaraan yang masuk hitungan. Gus mengikuti permainan itu dengan asyik. Tapi caranya selalu saja keliru. Anjing hitam dan kucing putih selalu lupa dihitungnya, sedang semua kuda ikut dihitung. Padahal yang masuk hitungan hanya yang berbulu belang saja. Wajahnya langsung suram, begitu anak-anak yang lain mengatakan bahwa kuda putih, kuda hitam, dan juga kuda coklat tidak boleh ikut dihitung. "Wah, wah, kelihatannya mau menangis,” kata Philip. "Tunggu, Gus! Tunggu dulu — nih pakai sapu tanganku!" Dikeluarkannya selembar lap dapur yang sempat disambarnya sebelum berangkat tadi, dan disodorkannya pada Gus. Gustavus menatap lap itu sesaat sambil melongo — lalu tertawa dengan suara keras. "He — ini kan bukan sapu tangan. Ini kan lap. “Aku tidak mau mengusap air mata dengan lap. Aku akan tertawa saja!" “Nah, begitu dong!" kata Jack. Ditepuknya bahu Gus. "Kalau jengkel, mendingan tertawa. Itu lebih kami sukai!" Anak-anak sama sekali tidak menduga bahwa Gus akan bisa menanggapi gangguan terhadapnya dengan tertawa. Perasaan mereka terhadapnya mulai agak berubah — tidak lagi menganggapnya sangat konyol. Gus tidak lagi ikut melakukan permainan dengan anak-anak yang lain. Tapi ketika permainan itu selesai, lagi-lagi ia melakukan sesuatu yang tidak mereka sangka-sangka. Lucy-Ann yang paling akhir mencapai hitungan seratus. Jadi ialah yang harus membelikan es krim untuk yang lain-lainnya, ia mengeluarkan dompetnya. "Bill," kata Lucy-Ann, "nanti kalau ada tukang es krim, kita berhenti sebentar, ya?" Bill mengangguk. Dan ketika mobil mereka berpapasan dengan gerobak tukang es krim, Bill berhenti. Tapi sebelum Lucy-Ann turun, Gustavus sudah membuka pintu belakang, lalu melesat mendului ke luar. ia berlari mendatangi tukang es krim. "Saya minta tujuh, ya," katanya. He, he — nanti dulu! Aku yang kalah bermain, bukan kau," seru Lucy-Ann agak jengkel. Tapi kemudian ia melongo. Gustavus mengedarkan dompetnya. Dompet itu tebal. Dari dompet itu dikeluarkannya setumpuk uang kertas. Astaga, bukan main banyaknya! Gus mengambil selembar, lalu menyodorkannya pada tukang es krim. Orang itu juga tercengang melihat uang sebanyak itu. "Kau baru menang lotere, ya?" tanya orang itu. "Atau mungkin ayahmu jutawan?" Gus tidak memahami pertanyaan itu. Sambil mengantungi uang kembalian, ia kembali ke mobil. "Ini, silakan," katanya dengan wajah berseri-seri, sambil mengacungkan es krim yang baru dibelinya pada mereka yang berada di dalam kendaraan. "Terima kasih, Gus," kata Bill. "Tapi kau sebetulnya tidak bisa membawa-bawa uang sebanyak itu." "Kenapa tidak bisa? Bisa saja," jawab Gustavus. "Selama di sekolah, aku selalu membawa-bawa di dalam saku. Ini namanya kan uang saku! Jadi harus selalu ada di dalam saku." "Itu memang benar," kata Bill. "Tapi uang lebih dari seratus pound, tidak bisa lagi disebut uang saku. Yang itu memang ada di sakumu, tapi uang saku yang sebenarnya ialah — ah, mendingan kalian saja yang menjelaskannya. Anak-anak." Ternyata Gus tidak bisa dibuat mengerti bahwa uang sebanyak itu bukanlah uang saku, walau ditaruh di dalam sakunya. "Selama di sekolah, kau seharusnya menyerahkan uang itu pada pimpinan asrama," kata Philip. "Tapi di situ dikatakan, aku boleh memiliki uang saku," kata Gus berkeras. "Uang ini pemberian pamanku. Jadi ini milikku." "Keluargamu rupanya kaya raya, ya," kata Jack. "Kurasa bahkan Bill pun tidak mengantungi uang sebanyak itu ke mana-mana. Gus ini anak jutawan, Bill?" "Yah — bisa dibilang berada," kata Bill. ia memasukkan gigi perseneling, menginjak pedal gas, dan mobil besar itu mulai meluncur lagi. "Tapi meski begitu, uang itu harus dititipkannya padaku. Aku tidak ingin menanggung risiko kalau anak ini dirampok orang." "Nah, nah, ia mau menangis lagi," kata Dinah. "Cepat, Philip — mana lap dapur tadi?" "Aku bukan mau menangis — tapi mau muntah," kata Gustavus dengan serius. "Aku kalau naik mobil, selalu mabuk. Kemarin juga begitu. Maaf, Pak Cunningham, bolehkah aku muntah?" "Aduh mak!" kata Bill, sambil menginjak rem. Mobil besar itu langsung berhenti. "Ayo cepat, turun! Dorong dia ke luar. Dinah! — Kenapa aku tadi mengizinkan dia makan es krim? Ini memang salahku sendiri, karena kemarin pun ia sudah mengatakan, ia selalu mabuk jika naik mobil." Bu Cunningham ikut turun, untuk menolong Gustavus. Dinah mengomel-ngomel. "Tapi itu kan bukan salahnya," kata Lucy-Ann. "Lagi pula, ia sekarang sudah tidak mabuk agi. Sudah segar lagi tampangnya." "Maaf, aku memang sudah baik lagi," kata Gus, sambil masuk kembali ke mobil. "Nih — pegang lap ini," kata Philip, sambil menyorongkan kain itu ke tangan Gus. "Untuk berjaga-jaga, jika perutmu nanti mulai mual lagi." "Semua sudah siap di belakang?" seru Bill. Kita meneruskan perjalanan! Pukul satu nanti kita berhenti sebentar untuk mengisi perut. Menurut taksiranku, sekitar saat minum teh petang nanti kita akan sudah sampai di Little Brockleton. Mudah-mudahan saja! He Gus, nanti jika terasa ingin muntah lagi, cepat-cepat berteriak, ya!" “Saya kalau muntah, hanya satu kali saja," kata Gus. "Es krim saya tadi jatuh. Bisakah anda berhenti sebentar, kalau ada tukang es krim lagi?" “Tidak," kata Bill dengan tegas. "Mulai sekarang, tidak boleh lagi minum es krim dalam mobil. Kalian yang di belakang mendingan tidur saja sebentar, sampai kita berhenti untuk makan siang!" Bab 5, PONDOK BATU Akhirnya mereka sampai di Little Brockleton, sebuah desa kecil yang apik. Mobil mereka yang lewat menyebabkan ayam-ayam bertemperasan ke pinggir, begitu pula sekawan bebek dengan suaranya yang berisik. Bill menghentikan kendaraan di sebuah bangunan kecil. Itulah kantor pos desa. "Aku hanya ingin mengirim telegram sebentar" katanya. "Setelah itu kita nanti mampir di tempat pertanian untuk menanyakan jalan ke Pondok Batu, di samping membeli bahan makanan, serta memesan susu." Tidak lama setelah Bill memasuki kantor pos, ia sudah keluar lagi. Anak-anak tahu, setiap hari Bill harus melapor ke kantor pusat, untuk menanyakan apakah ada tugas penting yang harus diselesaikan. Tugas rahasia, yang hanya ia saja yang bisa mengerjakannya. Setelah itu mereka menuju ke tempat pertanian. Mereka disambut oleh seorang wanita istri pemilik pertanian itu. "Silakan masuk," kata wanita itu dengan riang. "Aku sudah sejak setengah jam ini menunggu-nunggu kalian. Hidangan sore sudah kusiapkan." "Terima kasih, Bu," kata Bu Cunningham, sambil melangkah masuk. "Wah — ini pesta namanya!" Hidangan yang disajikan memang luar biasa, melebihi hidangan biasa pengiring minum teh. Di atas meja makan nampak daging asap segar, berwarna merah muda dan berkilat karena lemaknya. Lalu perkedel daging yang dihias dengan daun peterseli, mentega kuning keemasan dalam beberapa mangkuk kaca, lemak susu sekendi penuh, madu, selai buah arbei buatan sendiri, roti bundar yang masih hangat, kue buah prem. Warnanya ungu tua, seungu warna buah yang ada di dalamnya. Lalu sandwich berisi telur. Dan tidak ketinggalan hidangan minuman teh, coklat panas, serta susu segar berlemak. "Kalau sudah besar nanti, aku ingin tinggal di pedesaan saja," kata Jack, sambil memandangi hidangan yang tersaji di atas meja. Saat itu barulah Gustavus merasa senang, bahwa Bu Cunningham sewaktu makan siang tadi mengatakan bahwa ia sebaiknya jangan terlalu banyak makan. Untung saja ia menurut, karena kini seleranya langsung bangkit melihat hidangan sesedap itu. "Kau ingin makan apa?" tanya istri petani dengan ramah padanya, melihat cara Gussy memandang hidangan. "Aku minta daging — itu, yang warna merah itu," kata Gussy sambil menuding. "Dan ditambah dengan kue daging itu, ditambah dengan lemak susu." "Dia ini orang asing rupanya, ya?" kata istri petani sambil tertawa. "Daging asap dengan lemak susu — apakah kau tidak mual nanti, Nak?" "Tolong iriskan sepotong daging asap saja untuknya," kata Bu Cunningham. "Kalau perkedel, lebih baik jangan—karena tidak mungkin ia bisa menghabiskan kedua-duanya. Apalagi dengan lemak susu!" "Aku sudah memesan apa yang kuinginkan," kata Gustavus dengan sikap angkuh, sambil menatap istri petani yang kelihatannya heran. "Dan itulah yang harus dihidangkan," katanya, lalu menambahkan, "Terima kasih." "Jangan banyak bicara, Gus," kata Bill. "Ingat, di mana kau sekarang berada." "Aku ingat," kata Gus, dengan sikap heran. "Dan aku minta...." "Diam!" kata Bill. Gus langsung terdiam. Anak-anak yang lain nyengir. Baru tahu rasa sekarang, kata mereka dalam hati. Sedang Gus sangat marah, ia menatap Bill sambil melotot, ia membuka mulut, seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tidak jadi, begitu melihat cara Bill memandang ke arahnya. Bill mengedipkan mata ke arah anak-anak yang lain. Mereka membalas kedipan itu. "Gussut cemberut," oceh Kiki, yang bertengger di atas bahu kiri Jack. "Gussy mandi di Kali." Istri petani tidak kaget mendengar ocehan Kiki. "Bibiku dulu juga pernah memelihara burung kakaktua," katanya. "Tapi bicaranya tidak sepandai burung kalian ini." "Masih hidupkah dia?" tanya Jack. ia membayangkan betapa asyiknya jika kedua kakaktua itu digabungkan. Apakah yang akan mereka ocehkan? "Siapa yang masih hidup? Bibiku — atau kakaktua itu?" tanya istri petani, sambil meruangkan susu segar ke dalam beberapa mangkuk. "Kalau burung kakaktua yang kautanyakan—ia sudah mati. Katanya umurnya ketika itu sudah lebih dari seratus tahun. Tapi bibiku masih hidup. Itu dia — duduk di sana, dekat pendiangan, ia sebenarnya bukan bibiku langsung, tapi bibi ibuku. Jika ia masih bisa tetap sehat selama sepuluh tahun lagi, umurnya pun sudah akan lebih dari satu abad." Anak-anak memandang ke arah wanita tua yang duduk di dekat pendiangan itu dengan perasaan kagum. Wanita itu tersenyum samar, karena merasa bahwa ia sedang dibicarakan. Setelah itu ia menunduk lagi, meneruskan rajutannya. “Bibiku itu sering jatuh, kalau bangun dari tidurnya malam-malam," kata istri petani. "Sekarang Pak Dokter akan cuti selama seminggu. Aku bingung jadinya! Bagaimana jika Bibi Naomi jatuh lagi, dan mengalami cedera? Kecuali kalian, tidak ada tetangga lain di dekat-dekat sini. Sedang tempat yang kalian sewa itu pun sudah cukup jauh letaknya!" "Jika Anda kapan-kapan memerlukan bantuan, beri saja kabar pada kami," kata Bu Cunningham dengan segera. "Saya pasti akan segera datang. Anda tidak perlu bingung memikirkan tidak ada dokter, karena saya cukup berpengalaman dalam memberikan pertolongan pertama." "Terima kasih," kata istri petani. "Nah — siapa ingin mencicipi kue buah ini? Rasanya enak! Aku tahu pasti, karena aku sendiri yang membuatnya." "Wah — kalau saya masih harus makan lagi, saya khawatir nanti tidak mampu bangun," kata Bill. "Sudah, Anak-anak — kita masih harus terus ke Pondok Batu. Anda sudah mengirim orang untuk membersihkan tempat itu, Bu Ellis?" "O ya, tentu saja," kata istri petani. "Wanita yang saya suruh ke sana itu sekaligus juga sudah membawakan telur, susu, serta sedikit bahan makanan untuk persediaan sementara. Nanti kalau perlu apa-apa lagi, jangan segan-segan kemari, ya! Mudah-mudahan kalian bisa berlibur dengan nyaman dan tenang di tempat itu." Anak-anak merasa segan meninggalkan tempat pertanian dengan Bu Ellis yang ramah itu. Sewaktu masuk lagi ke dalam mobil, Jack memandang Gustavus dengan sikap curiga. "Tampangmu agak lain kelihatannya. Gus," katanya. "Kau tidak apa-apa nanti, di tengah jalan?" "Pasti tidak apa-apa," kata Bu Cunningham cepat-cepat. "Tempat itu tidak jauh lagi dari sini." "Anda tahu pasti, Bibi Allie?" kata Jack dengan nada sangsi. Tapi setelah itu ia mengangkat bahu. "Eh — Kiki kenapa juga diam saja? Itulah — kenapa tadi begitu rakus!" Kiki bersendawa. Tidak ada yang pernah mengetahui dengan pasti, apakah burung iseng itu benar-benar banyak angin di dalam lambungnya, atau hanya berpura-pura saja. Menurut Bu Cunningham, Kiki selalu hanya pura-pura belaka. "He, Kiki!" bentak Jack. "Kau ini — tidak tahu aturan!" "Maaf," kata Kiki. Gustavus memandang burung itu dengan heran. Ada burung bisa mengeluarkan angin lewat mulut saja sudah cukup aneh baginya. Apalagi yang bisa minta maaf sesudah itu! Gustavus begitu heran, sampai tidak jadi merasa mual. Sementara itu Bill mengemudikan mobilnya melewati jalan yang berkelok-kelok, mendaki sebuah bukit rendah, lalu menuruni sebuah jalan lain yang diapit pagar hidup. Semak pagar itu begitu tinggi tumbuhnya, sehingga anak-anak merasa seperti sedang lewat dalam sebuah terowongan berwarna hijau. Mobil melewati sebuah tikungan tajam — dan di depan mereka nampak Pondok Batu. Letaknya agak jauh dari jalan. Tempat itu menarik. Kebunnya penuh dengan berbagai jenis bunga-bungaan. Bill menyewanya dari pemiliknya, yang sedang pergi berlibur ke Prancis Selatan. Jendela-jendela rumah itu agak kecil ukurannya. Rumah-rumah tua sejenis itu, memang biasanya kecil-kecil jendelanya. Pintunya terbuat dari papan kayu ek yang kokoh. Warnanya sudah kehitam-hitaman. Di depan pintu ada beranda kecil yang dinaungi atap jerami, sama dengan bahan atap rumah itu. "Pondok beratap jerami! Alangkah indahnya!" kata Lucy-Ann. "Entah kenapa, rumah beratap rumput selalu memberi kesan seperti merupakan bagian dari suatu dongeng! Aku pasti akan merasa senang, tinggal di tempat seperti ini!" Bill membuka pintu depan. Anak-anak berebut-rebut masuk. Tidak henti-hentinya mereka berseru dengan kagum dan senang, melihat barang-barang yang ada di situ. "Harap kalian jangan lupa, ini bukan rumah kita," kata Bu Cunningham mengingatkan. "Jadi kita harus berhati-hati sekali! Tapi kurasa kecil kemungkinannya kalian akan menimbulkan kerusakan di sini, karena boleh dibilang sepanjang hari akan berkeliaran terus di luar rumah." "Kecuali itu, kami kan bukan anak kecil lagi," kata Jack. Jack dan Philip disuruh berbagi tempat dengan Gustavus di ruang loteng yang lapang. Dinah dan Lucy-Ann menempati ruang tidur kecil yang terletak di atas ruang duduk, sementara Bill dan istrinya di kamar tidur besar, yang bersebelahan dengan kamar tidur kecil. Ruang sepen penuh berisi bekal makanan! Bu Cunningham menghembuskan napas lega, ketika melihat begitu banyak daging asap, telur, dan juga susu segar yang ada di situ. ia sebenarnya sudah khawatir memikirkan masalah mengisi perut anak-anak yang selalu saja merasa lapar. Tapi dengan bantuan Bu Ellis, nampaknya itu takkan menjadi persoalan besar! "Dinah — kau dan Lucy-Ann mengeluarkan barang-barang kita dari dalam kopor," katanya. “Tidak banyak yang kita bawa, jadi sebentar saja kalian pasti akan sudah selesai dengan pekerjaan itu. Tolong atur pakaian anak-anak laki-laki di lemari besar di kamar mereka. Tempat itu cukup lapang untuk pakaian mereka bertiga." Saat itu Gustavus muncul. Sambil menuruni tangga dari ruang loteng, ia berkeluh kesah. "Aku tidak bisa tidur dengan mereka berdua," katanya pada Bu Cunningham, yang sedang mengeluarkan pakaian dari kopor-kopor, dibantu oleh Dinah dan Lucy-Ann. "Aku belum pernah tidur bersama orang lain." "Kenapa tidak?" tanya Lucy-Ann. "Aku tidak suka tidur bersama orang lain," kata Gus. "Di asrama, aku selalu tidur seorang diri dalam satu kamar. Di sini, juga harus begitu. Begitu kebiasaan dalam keluarga kami." "Tapi di sini tidak!" tukas Dinah dengan segera. "Jangan kaududuki kemeja-kemeja itu, Gus! Jangan suka konyol — kau kan melihat sendiri, di sini cuma ada tiga ruang tidur." "Ada apa lagi sekarang?" kata Bill yang saat itu masuk, ketika ia melihat wajah Gustavus cemberut. "Ini—Gus mengatakan bahwa ia minta satu kamar tidur untuk dia sendiri," kata Dinah. "Katanya, begitulah kebiasaan dalam keluarganya. Dikiranya dia itu siapa? Pangeran?" Bill cepat-cepat mendului berbicara, karena melihat mulut Gustavus sudah terbuka untuk mengatakan sesuatu. "Gus, kau tidur bersama kedua temanmu di atas. Mengerti?" "Aku tidur sendiri," kata Gus sekali lagi. "Aku belum pernah...." "Ah — aku tahu jalan keluar," kata Dinah. Matanya berkilat-kilat jail. "Di samping ruang tidur di loteng kan ada bilik kecil tempat menaruh kopor. Kenapa kau tidak tidur saja seorang diri di situ, Gus? Kau pasti takkan berkeberatan berbagi tempat dengan labah-labah yang banyak di situ —dan yang kakinya panjang-panjang dan berbulu — karena mereka kan tidak berbaring di tempat tidur. Ketika masuk ke situ tadi, aku juga mendengar bunyi gemerisik di belakang pipa ledeng. Pasti itu tikus! Atau mungkin binatang lain...." Gustavus ketakutan. "Tidak! Aku tidak mau tidur dengan labah-labah dan tikus," katanya. "Tapi aku tetap tidak mau tidur dengan Jack dan Philip. Apalagi dengan burrung jakhat itu!" "Coba ikut aku sebentar, Gus," kata Bill. Dipegangnya bahu anak itu, lalu didorongnya ke luar, ke ruang duduk. Pintu kamar ditutup olehnya. Dinah dan Lucy-Ann berpandang-pandangan dengan heran, sementara dari balik pintu terdengar samar suara Bill berbicara. "Ada apa sih sebenarnya, Bu?" tanya Dinah pada ibunya. "Kenapa Bill tidak langsung saja memarahi Gus Konyol itu? Jika tingkah laku anak itu begini terus, lama-lama kami bisa benci padanya." "Serahkan saja urusan ini pada Bill," kata Bu Cunningham dengan singkat. Setelah itu ia mengatakan, "Tolong bawakan barang-barang ini ke atas, Dinah — dan kau, Lucy-Ann, yang ini kaubawa ke kamarku, ya? Pipa-pipa Bill ikut kukemas atau tidak tadi, ya? Kenapa sekarang tidak ada?" Dinah dan Lucy-Ann naik ke tingkat atas. "Sikap Ibu seperti Bill saja — ikut-ikutan sok rahasia," kata Dinah dengan sebal. "Ada apa sih sebenarnya? Atau mungkin Gustavus itu pangeran yang sedang menyamar!" "Apa? Anak konyol seperti itu — pangeran?" kata Lucy-Ann. ia mendengus. "Mana mungkin!." Bab 6, GUSTAVUS MENYEBALKAN Dengan cepat mereka sudah membiasakan diri tinggal di Pondok Batu. Bu Cunningham merasa puas, di samping berbahagia, ia semula agak cemas, membayangkan harus mengurus tujuh orang selama liburan itu. Di samping harus melakukan segala-galanya seorang diri, ia juga khawatir, jangan-jangan urusan berbelanja akan sangat merepotkan. Tapi kenyataannya tidak begitu. Desa Little Brockleton tidak begitu jauh letaknya dari Pondok Batu. Dengan berjalan kaki pun masih bisa. Bu Gump, wanita bertubuh kecil yang membantu membersihkan, setiap hari selalu datang. Kecuali rajin, orangnya juga periang, ia menyukai anak-anak. Hanya Gustavus saja yang tidak begitu disukainya. "Anak itu seenaknya saja memerintah-merintah," keluhnya pada Bu Cunningham. "Masa, aku pernah disuruhnya naik ke tingkat atas, untuk mengambilkan sapu tangan. Dia itu anak asing, ya? Aku tidak mau disuruh-suruh anak kecil seperti dia!" Selama hari-hari pertama, Gussy memang menyebalkan. Ada-ada saja yang tidak disukainya. ia mengeluh, apabila saat makan diberi piring yang agak retak, ia menolak ketika disuruh membereskan tempat tidurnya sendiri. Padahal itu merupakan aturan yang sudah ditetapkan dari semula. "Aku bukan tukang membereskan tempat tidur," katanya dengan sikap angkuh. "Itu pekerjaan Bu Gump." "Tidak! Kau harus membereskan tempat tidurmu sendiri," kata Dinah tegas. "Ayo cepat, ke atas! Jangan suka rewel, ya!" "Gussas pemalas, Gussas pemalas!" oceh Kiki. "Gussut cemberut...." Gustavus meraih sebuah buku, lalu melemparkannya ke arah Kiki. Burung itu mengelak, lalu hinggap di sandaran sebuah kursi, ia bertengger di situ, sambil terkekeh-kekeh. Gus hendak mengambil sebuah buku lagi. Tahu-tahu ia jatuh terjengkang. Dinah sudah habis kesabarannya, ia tidak mau lebih lama lagi melihat tingkah laku Gustavus yang menyebalkan itu. ia menerjang anak itu, lalu mengantuk-antukkan kepalanya ke lantai. Gus menjerit-jerit. Dengan segera Bu Cunningham muncul di ambang pintu. "Ada apa di sini?" serunya. "Dinah! Ayo, lepaskan anak itu. Cepat! Sekarang pergi ke kamarmu. Jangan keluar sampai aku datang. Kita perlu bicara sebentar." "Gus tadi melempar Kiki dengan buku," kata Dinah dengan napas terengah-engah. Mukanya merah padam, karena marah. Gustavus masih tetap terkapar di lantai. Anak itu menangis. "Ayo bangun, Gus," kata Bu Cunningham padanya. "Kau sama saja nakalnya seperti Dinah! Ayo, kau juga harus ke kamarmu sekarang!" "Anda tidak berhak memerintah aku," kata Gus. Meski air matanya bercucuran, ia berusaha bersikap angkuh. "Suruh anak perempuan itu pulang. Dan burrung jakhat itu juga!" "Pergi ke kamar — cepat!" seru Bu Cunningham. Nada suaranya galak sekali. Gustavus buru- buru berdiri, lalu lari ke tingkat atas. Dibantingnya pintu kamar loteng, lalu dikuncinya dari dalam. Bill masuk ke ruang duduk, untuk melihat kenapa ada suara ribut-ribut di situ. "Siapa lagi, kalau bukan Gustavus," kata Bu Cunningham menjawab pertanyaan suaminya. "Anak itu sulit sekali diatur. Keadaannya tidak bisa begini terus, Bill. Anak-anak tidak mengerti, kenapa Gus begitu aneh tingkah lakunya. Tidak bisakah kita berterus terang saja pada mereka?" "Aku akan bicara lagi dengan anak itu," kata Bill. "Jika setelah itu ia masih saja belum mau menyesuaikan diri, kurasa aku terpaksa mengajaknya pergi sendiri ke tempat lain. Tapi sebenarnya ia di sini lebih aman, di tengah anak-anak." Setelah itu Bill naik ke atas. Bu Cunningham juga naik, mendatangi Dinah. Lucy-Ann juga ada di situ, sedang sibuk mengatur pakaian di dalam lemari. "Ya — tapi kenapa Gussy boleh berbuat semaunya saja?" kata Dinah dengan masam, ketika ia diomeli ibunya, "ia selalu saja ingin ikut campur dalam segala hal, memerintah-merintah, dan selalu meminta yang paling baik dari apa saja. Dan berani-beraninya anak itu — melempar Kiki dengan buku!" "Perasaanmu bisa kumengerti," kata ibunya. "Tapi sulitnya, Bill sudah berjanji akan mengawasi Gus selama beberapa minggu ini. Kurasa mungkin sebaiknya ia mengajak Gus pergi ke tempat lain, sehingga kita bisa berlibur di sini tanpa merasa terganggu." "Aduh, jangan!" sela Lucy-Ann dengan cepat. "Jangan, Bibi Allie! Bibi kan menikah dengan Bill. jadi ia sekarang kan sudah jadi keluarga kita! Katakan sesuatu dong, Dinah!" "Aku juga tidak suka Bill pergi," kata Dinah. "Tapi aku juga tidak bisa berjanji, tidak akan melabrak Gussy lagi. Pokoknya, aku tidak ingin Bill pergi dari sini." Bu Cunningham tidak sabar lagi. "Tentukanlah sikapmu," katanya. "Selama itu kau di sini saja seorang diri, supaya bisa berpikir dengan tenang. Yuk, kita ke bawah, Lucy-Ann!" Jack dan Philip tidak tahu bahwa Gustavus melempar Kiki dengan buku, karena tidak ada yang menceritakan hal itu pada mereka. Tapi Kiki sendiri yang membalas perbuatan itu. Dengan berbagai macam cara diganggunya Gustavus, sehingga anak itu tidak pernah bisa merasa tenang. Apabila anak itu duduk di meja makan, tahu-tahu Kiki menyusup ke bawah meja lalu mencubit ibu jari kaki Gus. Atau kalau tidak, Kiki bersembunyi di ruang tidur di bawah loteng, mengintai anak itu. Dan begitu Gus berada di situ, Kiki pun mulai beraksi. Ditirukannya bunyi yang menyeramkan, sehingga Gus lari pontang-panting ke bawah lagi! "Bill kelihatannya tidak berniat menghukum Gus," kata Dinah pada Lucy-Ann. "Tapi Kiki sendiri yang melakukannya. Yang jelas, Gus sekarang sudah agak mendingan. Meskipun begitu, aku sebenarnya lebih suka jika ia tidak ikut piknik dengan kita hari ini." Bill dan istrinya mengajak anak-anak berpiknik ke sebuah bukit. Mereka berangkat setelah selesai sarapan pagi. Bekal makanan dibawa oleh Bill serta anak laki-laki, dalam ransel yang dipanggul. Gustavus tentu saja mengomel-ngomel lagi. "Aku belum pernah melakukannya," katanya dengan ketus. "Di negeriku, ini pekerjaan kedelai — eh, salah — keledai! Aku tidak mau jadi keledai!" Ia tercengang, ketika kata-katanya itu ditanggapi anak-anak dengan gelak tertawa ramai. "Aduh, Gus — kau ini," kata Jack sambil tertawa. "Rupanya kau tidak tahu, bahwa berdasarkan tingkah lakumu selama ini, kau memang keledai?" "Kau tidak boleh bilang begitu," kata Gustavus. Keningnya berkerut. "Kalau kita sekarang ada di negeriku, kau akan..." "Ah—sudahlah, Keledai, jangan mengoceh terus!" kata Philip, sambil mendorong Gus. "Tinggalkan saja ranselmu, jika kau tidak mau membawanya. Tidak ada yang akan keberatan! Isinya kan bekal makanan untukmu sendiri. Kami berdua membawakan bekal Dinah dan Lucy-Ann, sedang bekal Ibu dibawakan oleh Bill." "Lemparkan saja ke dalam semak! Dengan begitu kau tidak usah repot-repot membawanya," kata Dinah mengejek. "Ayo, lemparkan!" Tapi Gustavus tidak melakukannya. Setelah berpikir sebentar, ia memanggul ranselnya, walau dengan tampang cemberut. Bukit tempat mereka akan piknik, bentuknya seperti kerucut yang puncaknya datar. Di lerengnya tumbuh berbagai jenis bunga-bungaan. "Dari atas sana, pemandangan pasti bagus sekali," kata Jack, sementara mereka berjalan mendaki bukit. Lereng yang mereka lewati cukup terjal. Tapi akhirnya mereka sampai juga di puncaknya. Angin bertiup kencang di situ. Namun malah terasa menyegarkan, karena sinar matahari saat itu sudah terik. Eh — ternyata Gus tidak jadi membuang ranselnya," kata Jack, pura-pura baru melihat. “Wah — perutku sudah lapar sekali!" Semua merasa lapar. Bekal yang dibawa disikat habis. Kiki juga mendapat bagiannya, yang terutama terdiri dari pisang. Kiki senang sekali makan pisang, yang dipegangnya dengan satu kaki. Gussy bersin. Kiki langsung menirukannya. Suara bersinnya lebih nyaring. Kemudian Gussy menyedot hidung. Bu Cunningham tidak suka mendengar kebiasaannya itu. Dan Kiki kembali menirukan bunyinya. "Jangan, Kiki!" kata Bu Cunningham. "Seorang saja yang suka menyedot-nyedot hidung, sudah cukup!" "Polly pilek," kata Kiki. ia menyedot hidung sekali lagi. Bunyinya persis seperti Gussy. Anak itu tidak mengacuhkannya. Tapi semenit kemudian terdengar lagi bunyinya menyedot hidung. "Bersihkan hidungmu!" teriak Kiki. "Mana sapu tanganmu! Gussy pilek, panggil..." "Diam, Kiki!" kata Jack. "Janganlah menyedot-nyedot hidung terus, Gussy! Nanti Kiki menirukan, lalu tidak henti-hentinya menyedot-nyedot hidung pula." "Aku tidak menyedot-nyedot hidung," kata Gustavus. "Burung itu yang jakhat! ia harus dimasukkan ke dalam kandang!" "Sudah, Gus," kata Bill, yang duduk bersandar sambil mengisap pipa. "Ingat apa yang kukatakan padamu." Gus langsung diam, lalu memejamkan mata. Anak-anak lain duduk sambil menikmati pemandangan yang terhampar di depan mata Mereka sangat menikmatinya, karena bisa melihat sampai jauh sekali. "Yang di sana itu desa kita," kata Philip sambil menuding. "Dan itu tempat pertanian. Pondok Batu hanya nampak ujung cerobong asapnya, serta sedikit atapnya. Itu, yang di sana — di sela pepohonan." "Dan itu jalan raya yang kita lewati," kata Jack. "Mana teropongku? Tolong ambilkan, Di! — Wah, dengan teropong, aku bisa melihat sampai jauh sekali. Aku bisa melihat lalu lintas di jalan raya yang berkelok-kelok — kelihatannya sekecil mobil-mobil mainan kita, Philip. Nih — lihat saja sendiri." Philip mendekatkan teropong itu ke matanya. Teropong itu memang benar-benar bermutu. Dengannya, ia bisa melihat sampai jauh sekali. "Ya — mobil-mobil dan truk-truk itu kelihatannya aneh — sekecil mobil mainan, menyusur jalan yang kelihatan menjulur seperti pita," katanya. "Nah — itu ada mobil hitam — seperti mobil kita. Aku ingin tahu, sampai di mana aku bisa mengikutinya dengan teropong ini." Anak-anak yang lain merebahkan diri, lalu memejamkan mata. Sinar matahari terasa hangat di tubuh, menyebabkan mereka agak mengantuk. Apalagi perut sudah terisi penuh. "Mobil itu masih terus berjalan di jalan raya," Kata Philip, sambil meneropong. "Laju sekali jalannya. Mungkin itu mobil polisi." "Kau takkan bisa mengenalinya dengan jelas, Karena jaraknya terlalu jauh," kata Jack. "Kalau kau sebutkan nomornya, nanti ku-katakan apakah itu mobil polisi atau bukan," kata Bill, yang saat itu sedang membaca surat Kabar. Ia menoleh ke arah Philip. "Bill ini cerdik," kata Jack sambil tertawa, diikuti oleh Philip, "ia tahu pasti, dari sini kau takkan mungkin bisa mengenali nomor mobil itu. Kau masih bisa melihatnya. Philip?" "Sekarang hilang, karena tertutup rumah-rumah — nah, itu dia, kelihatan lagi. Menuju ke persimpangan — dan menyeberang. Sekarang berhenti." Terdengar suara dengkuran. Ternyata Gustavus tertidur. Kiki menirukan bunyinya. Sementara itu Philip melanjutkan laporan pengamatannya. "Seorang laki-laki turun, ia berjalan kembali. Rupanya untuk melihat petunjuk yang tertulis pada papan penunjuk jalan. Sekarang ia kembali lagi ke mobil, lalu masuk. Ternyata mereka salah jalan, karena mobil itu mundur. Nah—benar juga kataku. Sekarang mereka membelok, memasuki jalan yang menuju ke desa kita." "Sebentar lagi akan kaukatakan bahwa mobil itu berhenti di depan Pondok Batu," gumam Jack dengan suara agak mengantuk. "Kau kan cuma mengarang-ngarang. Philip. Mengaku sajalah!" "Mobil itu tidak kelihatan lagi. — Eh, tidak, tidak, itu dia," sambung Philip, tanpa mengacuhkan komentar Jack. "Ya, melewati desa — lalu memasuki jalan yang menuju ke tempat pertanian. Sekarang berhenti lagi. Dekat seorang laki-laki. Mungkin untuk menanyakan jalan, atau salah satu alamat. — Sekarang mobil bergerak lagi, menuju ke tempat pertanian. Mungkin itu kenalan, atau keluarga Bu Ellis." Tiba-tiba Bill meletakkan surat kabar yang sedang dibaca, lalu mengambil teropong dari tangan Philip, ia mengarahkannya ke rumah petani. Dengan segera sudah dilihatnya mobil hitam itu. Bill memperhatikan kendaraan yang nampaknya mahal itu dengan tekun. Kemudian teropong dikembalikannya lagi pada Philip, tanpa mengatakan apa-apa. "Anda tahu mobil siapa itu, Bill?" tanya Jack ingin tahu, karena melihat air muka Bill agak berubah. "Tidak," kata Bill, "tapi kedatangannya menyebabkan aku berpikir sedikit. Sayang aku tidak bisa bicara lebih banyak. Tapi nanti malam akan kudatangi Bu Ellis. Mungkin dari dia akan bisa kuketahui, siapa yang datang dengan mobil itu!" Bab 7, UCAPAN YANG MENGAGETKAN Setelah mendengar ucapan Bill, perhatian Jack dan Philip pada mobil hitam itu semakin bertambah besar. Mereka mengamat-amatinya bergantian. Mobil itu berhenti di rumah petani selama kurang-lebih dua puluh menit. Kemudian berputar, lalu kembali lewat jalan yang sama seperti ketika datang. "Mobil itu sudah pergi lagi, Bill," kata Philip melaporkan. "Kurasa penumpangnya tamu-tamu Bu Ellis. — Eh, lihatlah, mulut Gussy menganga. Yuk, kita masukkan sesuatu ke dalamnya!" "Jangan ganggu keledai yang sedang tidur," kata Jack. "Dan jangan ajari Kiki perbuatan yang bukan-bukan. Nanti ia ikut-ikut, lalu rumput, atau bunga ke dalam mulut Gussy!" Philip memandang berkeliling. Selain ia sendiri, hanya Jack dan Bill saja yang tidak tidur. Sedang yang lain-lain pulas semuanya, ia merogoh kantungnya dengan hati-hati, lalu mengeluarkan seekor binatang kecil yang lucu, berbulu coklat kemerahan. “Aduh, lucunya! Tapi hati-hati saja kau—kalau Dinah melihatnya, pasti ia akan langsung terpekik. Dari mana kau mendapatnya?" "Aku menemukannya tadi, di tengah jalan," kata Philip, "ia sedang enak-enak duduk di dahan sebatang pohon, ia sama sekali tidak berusaha lari, ketika kutangkap." "Ya, tentu saja," kata Jack, dengan nada agak iri. "Aku belum pernah melihat ada binatang yang tidak langsung tertarik padamu, Philip. Lucu sekali tikusmu itu!" "Aku menamakannya Penidur." Philip mengelus-elus bulu binatang kecil itu, yang memandangnya dengan mata yang besar berkilat. "Tikus pohon suka sekali tidur. Kelihatannya selalu seperti sedang melamun. Nanti kalau kita ke desa lagi, tolong ingatkan aku untuk membeli biji-bijian, ya! Dinah lebih baik jangan diberi tahu, bahwa aku memelihara Penidur. Aku akan menyimpannya di dalam kantung, ia bisa hidup dengan nyaman di situ. Aku sebelum ini sudah pernah memelihara tikus pohon. Binatang itu sangat jinak." Tiba-tiba Jack mengambil sikap seperti mendengarkan. "He — kau dengar tidak itu? Seperti ada orang bercakap-cakap!" Jack dan Philip memandang berkeliling. Mereka melihat dua orang laki-laki melintas di jalan kecil yang menyusur kaki bukit. Kedua orang itu berkacap-cakap. Nampaknya mereka pertanian. "Aku ke bawah sebentar, ah," kata Philip. "Aku ingin tahu, apakah di sekitar sini ada musang. Kau ikut, Jack?" Kedua anak itu lari ke kaki bukit, mendatangi kedua orang yang sedang berjalan tadi. Mereka mendengar langkah Jack dan Philip yang berlari-lari menghampiri, lalu menoleh. "Selamat siang," sapa Jack dengan napas terengah-engah, "Bolehkah kami bertanya sedikit? Kami ingin tahu apakah di sini ada musang, yang masih agak muda. “Aku belum pernah melihat binatang itu." "Tapi aku pernah," sambut temannya yang lebih tua. "Memang tidak mungkin bisa melihat musang, jika sepanjang malam tidur terus. Musang memang hanya keluar saat malam hari." "Ya, tentu saja — kau kan biasa berburu secara sembunyi-sembunyi," kata laki-laki yang lebih muda. "Malam-malam selalu keluyuran di luar, sementara orang yang baik-baik tidur." Temannya mengedipkan mata dengan Jenaka. "Kenapa kalian bertanya tentang musang, Nak?" tanyanya pada Jack. "Kami ingin mengamat-amati kehidupannya," jawab Philip. "Saya sangat suka mengamat-amati kehidupan binatang liar. Selama ini saya belum pernah melihat musang di alam bebas. Kami saat ini sedang berlibur di sini. Kami tinggal di Pondok Batu." "Kalau begitu kalian tidak perlu pergi jauh-jauh untuk mengamati kehidupan musang," kata laki-laki yang lebih tua. "Kalian bisa menemukan binatang-binatang itu di dalam hutan sebelah selatan rumah kalian. Atau kalau tidak, di bekas tambang batu. Tahun lalu aku melihat seekor di sana." "Terima kasih, Pak," kata Philip dengan gembira. "Kami akan mengamat-amati kedua tempat itu." "Kecuali itu, di bekas tambang itu juga ada burung hantu," kata laki-laki yang tua. "Bermacam-macam jenis burung hantu hidup di situ. Mereka berburu tikus di tempat itu. Burung hantu yang biasa tinggal dalam lumbung, kalau berteriak suaranya sangat menyeramkan!" "Ya, aku tahu," kata Jack. Seketika itu juga timbul niatnya untuk melakukan pengintaian di bekas tambang batu yang disebutkan laki-laki tua itu, untuk mengamat-amati burung hantu. Jack sangat suka melihat burung itu. Siapa tahu, mungkin ia nanti bisa menangkap seekor yang masih kecil, lalu mencoba menjinakkannya. Tapi ia harus berjaga-jaga, jangan sampai burung itu melihat tikus pohon peliharaannya. Kalau itu sampai terjadi, habislah riwayat Penidur! Setelah meminta diri dari kedua laki-laki itu, Jack dan Philip pergi untuk melihat-lihat di sekitar kaki bukit. Tiba-tiba terdengar suara memanggil-manggil mereka dari atas. "Jack! Philip! kita akan pulang sekarang! Kalian ikut, atau akan menyusul nanti?" "Kami datang!" seru Jack, lalu mendaki bukit bersama Philip, mendatangi yang lain-lain. Gus sudah bangun lagi. Tapi tampangnya masam, ia meludah ke tanah. "Ihh! Tahu adat sedikit dong!" kata Jack dengan jijik. "Katanya, ada yang memasukkan rumput ke dalam mulutnya tadi, ketika ia sedang enak-enak tidur," kata Dinah sambil tertawa geli. Kaukah yang melakukannya, Jack?" "Tidak, bukan aku! Dan juga bukan Philip." "Nah — kau dengar sendiri, kan?" kata Dinah, sambil menoleh ke arah Gus. "Tidak ada yang memasukkan apa-apa ke dalam mulutmu. Itu cuma sangkaanmu saja! Mungkin kau tadi mengunyah-ngunyah rumput, lalu tertelan." "Tidak," kata Gus dengan ketus. "Itu perbuatan jakhat! Hampir saja aku mencekik karenanya." "Tercekik, bukan mencekik!" kata Lucy-Ann membetulkan. "Tapi aneh—tidak ada yang memasukkan sesuatu ke dalam mulutmu, tapi kau nyaris tercekik. — Ih, sudah, jangan meludah- ludah terus." Jack dan Philip saling melirik. Mereka tahu, siapa yang berbuat iseng terhadap Gus. Anak itu melihat mereka saling melirik, lalu langsung mendamprat. "Kalian tahu siapa yang melakukannya! Ayo, mengaku sajalah!" "Baiklah, kami memang tahu," kata Jack. "Kami sendiri hampir saja melakukannya pula. Habis, kau lucu sekali sih kelihatannya — mendengkur dengan mulut ternganga lebar." "Aku tidak mendengkur," bantah Gus. "Ayo katakan, siapa yang melakukan perbuatan jahat itu." "Sudahlah," kata Bill menengahi. "Kurasa yang melakukannya pasti Kiki. Burung iseng itu pernah berbuat serupa — terhadap aku! Kau tidak bisa diajak bercanda, ya!" Tahu-tahu Gus berbicara dengan cepat sekali, dalam bahasanya sendiri. Mukanya merah padam, karena marah, ia berdiri sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang panjang. Kata-kata asing meluncur ke luar dari mulutnya. Semua memandangnya dengan heran, karena tidak mengerti apa yang dikatakan olehnya. Kiki sangat tertarik mendengarnya, ia hinggap ke bahu Jack yang berdiri di samping Gus. Kiki menelengkan kepala, dengan sikap mendengarkan. Ketika Gus berhenti sejenak untuk menarik napas, Kiki mulai mengoceh. "Pracaspriciscascispaspusgusut kusut," oceh burung iseng itu dengan serius, lalu menyambung dengan rentetan kata-kata yang ada artinya, dicampur dengan kata-kata karangannya sendiri! Semua yang mendengarnya tertawa geli. Kiki seolah-olah berbicara pada Gus dalam bahasanya sendiri. Gus memandang Kiki dengan mulut ternganga. "ia berbahasa Inggris?" tanyanya dengan heran. "Apa yang dikatakannya?" "Kiki mengoceh—sama seperti kau tadi," jawab Jack. "Ayo diam, Kiki! Jangan sok aksi, ah!" Sementara itu Bill sudah lebih dulu menuruni bukit, bersama istrinya. Dinah dan Lucy-Ann menyusul, sambil cekikikan. Gus memang menyebalkan. Tapi tingkah lakunya sering juga menggelikan. Gus menyusul paling belakang, ia berjalan sambil mengiraikan rambutnya yang panjang, dengan sikap membangkang. Sekali-sekali ia asih meludah-ludah, karena rasanya seperti ada rumput di dalam mulut. Kiki menirukan perbuatannya dengan asyik, lalu tertawa terkekeh-kekeh. Sekitar pukul setengah enam, mereka tiba kembali di Pondok Batu. "Jika ada yang masih merasa lapar setelah makan sebanyak tadi, ambil saja sendiri susu dan biskuit dari dapur," kata Bu Cunningham. "Juga masih ada kue buah — jika kalian lapar sekali." Kelima anak itu rupanya sangat lapar, karena piring yang berisi kue buah yang besar dengan segera sudah licin tandas. Mereka juga menghabiskan persediaan susu. Bu Cunningham terkejut. "Sekarang tidak ada lagi susu untuk minuman coklat nanti malam, serta untuk sarapan besok pagi," katanya. "Biar sajalah," kata Bill. "Nanti malam kuambilkan dari tempat pertanian. Dengan begitu ada alasan bagiku untuk ke sana, dan mengajukan beberapa pertanyaan secara sambil lalu pada Bu Ellis." "Ada misteri lagi, Bill?" tanya Dinah. "Siapa tahu, kan — karena mungkin saja sambil berlibur, kau juga sedang menangani salah satu tugas rahasia." "Ada misteri atau tidak, yang jelas Bill selalu bersikap waspada," kata Philip. "Itu kan termasuk tugas ya, Bill?" "Kita bermain kartu, yuk" ajak Dinah. "Mana kartu-kartu kita? kita bermain Lomba Setan, ya? Kau tahu permainan itu, Gus?" Gus mengangguk. "Ya, kami biasa melakukan permainan itu di asrama. Aku sudah pandai. Bisa cepat sekali." ia berbuat seolah-olah sedang membagi-bagi Kartu permainan. Geraknya begitu sibuk, sehingga rambutnya berulang kali jatuh ke depan, menutupi mata. Dengan sikap tidak sabar, ia mendorong rambut yang jatuh itu kembali ke belakang. Dalam sehari, paling sedikit ada seratus kali ia melakukan gerakan itu. Dinah sampai sebal melihatnya. "Ah, rambutmu itu!" serunya. "Kau ini pantasnya jadi anak perempuan saja, Gus!" "Sudah—jangan cari perkara lagi," kata Jack. "Dan kau jangan melotot begitu, Gus! Lututku langsung gemetar, jika kaupelototi." "Kau sinting," tukas Gus. "Sinting," ulang Kiki dengan segera. "Sin-t ng, sintang, sintung!" "Sudah, cukup!" kata Jack. Ditepuknya paruh Kiki. "Mana kartu-kartunya, Dinah? Yuk, kita mulai saja sekarang." Kelima anak itu duduk di lantai. Dengan segera mereka sudah asyik bermain kartu. Kiki tidak memahami permainan itu. Jack melarangnya, ketika ia hendak mengambil kartu-kartu yang bertebaran di lantai. Kiki pergi ke sudut kamar. "Sintang!" ocehnya di situ. "Sintung! Sintingsintung!" Gus ternyata sangat mahir bermain Lomba Setan. Tangannya sangat cekatan mengambil kartu, dan menempatkannya di tempat-tempat yang menguntungkan, ia bermain dengan penuh semangat, sampai napasnya terengah-engah. Rambutnya jatuh lagi ke depan, menutupi mata. Tangannya bergerak, hendak menyibakkannya lagi ke belakang. Jack memanfaatkan peluang itu. Dengan tenang ia meletakkan sebuah kartu di tumpukan yang sudah diincar oleh Gus. Gus melihatnya, lalu berteriak dengan kesal. "Aku tadi sudah hendak meletakkan kartuku di situ—tapi terganggu rambutku!" "Kalau begitu kenapa tidak kau potong pendek saja?" tanya Dinah. "Dengan rambut panjang, tampangmu seperti anak perempuan." "Ya, betul — kenapa tidak dipotong saja?" kata Philip. Diletakkannya kartu-kartunya ke lantai. "Besok kita ke desa, untuk melihat apakah di sana ada tukang cukur. Kalau ada, kita potong saja rambutmu itu, Gus. Rambut panjang kan cuma merepotkan saja." "Ya, besok kita suruh potong saja rambutmu itu," sambut Jack. Kata-kata itu ditanggapi oleh Gus dengan sikap yang tak tersangka-sangka, ia membanting kartu-kartunya ke tanah, lalu berdiri dengan wajah merah padam. "Rambut pendek memang cocok untuk anak-anak seperti kalian," katanya dengan congkak, tapi untukku, tidak! Rambutku tidak boleh dipotong pendek. Di negeriku, anak laki-laki seperti aku selalu berambut panjang!" "Anak laki-laki seperti kau?" kata Jack mengulangi. "Apa lagi maksudmu? Kau ini rupanya menganggap dirimu hebat, ya? Kau mungkin saja anak keluarga kaya-raya—tapi tingkah lakumu seperti anak raja! Jangan suka sok, ah! Kau kan bukan pangeran!" Gus meluruskan sikap tegaknya. Sekali lagi disibakkannya rambutnya ke belakang. "Aku ini pangeran!" katanya dengan sikap anggun. "Aku ini pangeran Aloysius Gramondie Rasmolie Torquinel, dari negara Taurirlessia!" Bab 8, PENJELASAN BILL Ruang duduk Pondok Batu langsung senyap. Tidak ada yang berbicara. Sampai-sampai Kiki pun ikut terdiam. Semua memandang dengan heran ke arah Gus. Tidak ada yang tahu, apakah kata- kata anak itu harus dipercaya atau tidak. Gus masih berdiri, sambil menatap anak-anak yang duduk di lantai dengan mata berkilat-kilat. Tapi tiba-tiba bibirnya bergetar. Gus merapatkannya kuat-kuat. Kelihatannya seperti menahan tangis. "Aku melanggar janji!" keluhnya dengan suara gemetar. "Aku ini pangeran, tapi aku melanggar janjiku sendiri!" Anak-anak begitu kaget, sehingga tidak tahu bahwa sementara itu Bill datang, ia ikut mendengar kejadian itu. Kini ia melangkah maju, lalu menyapa Gus. "Ya, kau melanggar janji, Aloysius Gramondie Rasmolie Torquinel," katanya dengan suara galak. "Padahal pamanmu menjamin, kau takkan mungkin melanggar janji. Bagaimana aku akan melindungimu, jika kau tidak bisa menepati janji?" Anak-anak semakin melongo. Ada apa sebenarnya? "Dia ini — dia betul-betul pangeran, Bill?" tanya Jack tergagap-gagap. "Kalian boleh percaya atau tidak, tapi memang begitulah kenyataannya," jawab Bill. "ia keponakan raja Tauri-Hessia." "Pantas tingkah lakunya aneh," kata Dinah. "Suka memerintah, suka meninggi, dan uangnya begitu banyak." "Itu pula sebabnya kenapa rambutnya panjang," kata Bill. "Para pangeran di Tauri-Hessia, memang kebiasaannya berambut panjang. Itu merepotkan bagi Gus, karena di sekolah ia sering ditertawakan teman-temannya. Tapi mereka tahu siapa dia. Karena itu mereka tidak sampai keterlaluan mengganggunya." Anak-anak memandang Gus — yang ternyata bernama Pangeran Aloysius — dengan perasaan ingin tahu. Dinah mendesah, ketika untuk sekian kalinya anak itu menggerakkan kepalanya, melemparkan rambutnya ke belakang. "Kau harus membuang kebiasaanmu itu Gus! Bagiku, kau akan tetap bernama Gussy — karena namamu yang panjang itu tidak mungkin bisa kuingat. Allo — Alloanu!" "Ya, ia memang harus tetap bernama Gus," Kata Bill dengan cepat. "Nama Gustavus Barmilevo itu kuberikan padanya karena alasan tertentu. Saat ini keadaan di negerinya sedang rawan. Hal itu menyebabkan ia harus tinggal untuk sementara waktu di sini, dengan nama lain." "Apa sih yang sedang terjadi di negaranya?" tanya Jack. "Ada revolusi, ya?" "Soalnya begini," kata Bill. "Seperti kukatakan tadi, pamannya raja Tauri-Hessia. Dan karena raja itu tidak punya anak, Gussy ini menjadi satu-satunya ahli waris, ia putra mahkota kerajaan Tauri-Hessia. Di negeri itu ada sekelompok orang yang tidak suka pada Raja, karena ia dianggap memerintah dengan tangan besi. Padahal Raja sangat bijaksana dalam menjalankan roda pemerintahan. Dan pemerintah negara kita mendukungnya." "Dan semuanya ini diketahui oleh Gus?" tanya Philip. "Ya," jawab Bill. "Semuanya sudah dijelaskan padanya. Gus menyayangi pamannya, ia tidak ingin dijadikan boneka oleh musuh-musuh, yang bermaksud hendak menaikkannya ke atas tahta, menggantikan sang paman. Jika Gus sudah menjadi raja, mereka beranggapan akan bisa dengan mudah menyuruh-nyuruhnya. Sedang pamannya akan ditangkap. Atau mungkin juga dibunuh! Jadi selama keadaan di negerinya masih rawan, ia dititipkan di bawah pengawasanku. Tidak ada yang boleh tahu, siapa dia sebenarnya. Bagi orang sini ia anak asing biasa saja, bernama Gustavus Bar-milevo, yang bersekolah di sini." "Dan sekarang aku melanggar janjiku," kata Gussy dengan murung. "Saya minta maaf, Pak Bill!" "Kau tidak perlu minta maaf, asal kau tidak mengulangi kejadian seperti tadi lagi," kata Bill. "Semua yang ada di sini, takkan membongkar rahasiamu. Kami semua teman-temanmu. Atau lebih tepat dikatakan, kami ingin menjadi temanmu, jika kau mau bersikap lebih pantas." "Mulai sekarang aku akan bersikap pantas," kata Gus berjanji. "Mudah-mudahan kau tidak lupa lagi," kata Bill. "Sebaiknya tingkah lakumu seperti anak-anak yang lain, supaya jika ada orang yang memperhatikan kita, kau akan disangka teman sekolah anak-anak, yang ikut berlibur dengan kami. Lagi pula, selama ini kelakuanmu sama sekali bukan seperti pangeran, melainkan anak kecil yang manja. Jika aku ini orang Tauri-riessia, aku pasti akan sedih membayangkan akan punya raja seperti kau." "Pemerintah manakah yang memintamu agar mengawasi Gussy, Bill?" tanya Dinah. Pemerintah kita, atau pemerintah Tauri-Hessia?" "Kedua-duanya," jawab Bill. "Mereka sama-sama berkepentingan, bahwa negeri itu diperintah oleh seorang raja yang tegas dan adil. Saat ini aku belum bisa memberi keterangan mengenai alasannya. Tapi kurasa kericuhan yang sedang berlangsung di sana, dalam waktu beberapa minggu akan sudah bisa diatasi. Dan selama itu Gussy harus disembunyikan di sini, bersama kita." "Sekarang aku baru mengerti," kata Dinah. "Tapi kau sebenarnya harus langsung memberi tahu kami tentang keadaan sebenarnya, Bill — supaya kami bisa lebih memahami kelakuan Gussy." "Aku diperintahkan agar jangan bicara dengan siapa-siapa mengenai dia, kecuali dengan ibumu," kata Bill. "Kalau ibumu, ia tentu saja perlu diberi tahu. Aku sengaja menyewa rumah ini untuk tempat kita berlibur, karena letaknya terpencil. Gus kuajak ikut kemari, karena di sini ia paling aman — di tengah-tengah kalian. Di sini ia tidak akan terlalu menyolok, karena ada kalian." "Anda memang bijaksana, Bill," kata Lucy-Ann. Dipegangnya tangan Bill. "Kami semua akan membantu menjaga Gus. Gussy, kami semua teman-temanmu." "Terima kasih," kata Gus. ia membungkuk sedikit, dengan gaya yang kocak. "Itu merupakan kehormatan bagiku." "Nah — begitu dong," kata Bill, sambil menepuk bahu Gus. "Sekarang segala-galanya yang baru saja kalian dengar tentang Pangeran Aloysius Gramondie dan Tauri-Hessia, harus kalian lupakan lagi. Mengerti?" "Ya, Bill!" Anak-anak mengangguk dengan sikap bersungguh-sungguh. Aneh rasanya, di tengah- tengah permainan Lomba Setan, dengan tiba-tiba mendengar penjelasan mengenai masalah yang begitu serius dan luar biasa. Dengan perasaan lega mereka kembali menyibukkan diri dengan permainan yang tadi terputus. Sementara itu Bill meninggalkan ruangan, untuk menceritakan kejadian itu pada istrinya. "Aduh, lihatlah — apa yang dilakukan oleh Kiki sementara kita tadi berembuk," kata Jack dengan kesal. "Habis kartu-kartu kita diacak-acak! Letakkan kembali kartu-kartu yang kau pegang itu, Kiki!" "ia main kartu sendirian," kata Lucy-Ann ambil tertawa, "ia memegang dua lembar kartu, persis seperti kita, menunggu gilirannya main. Letakkan kartu-kartu itu, Kiki!" "Satu, dua, tiga, enam, empat, satu," kata Kiki. Seperti biasa, ia keliru menyebutkan urut urutan angka. "Satu,dua, empat, pakai sepatu." "Empat, satu, pakai sepatu, Kiki," kata Lucy-Ann. "Kau ngaco, ah!" Kiki menirukan suara orang tersedak, ia sering berbuat begitu, jika merasa melakukan kekeliruan. "Cukup, Kiki," kata Jack. "Ada yang masih ingin meneruskan permainan kita?" Ternyata tidak ada. Anak-anak ingin meneruskan pembicaraan tentang keterangan Bill tadi. Tapi mereka tidak mau merembukkannya di depan Gus. Saat itu kepala Bu Cunningham tersembul dari balik pintu. "Bill hendak pergi ke pertanian untuk mengambil susu. Ada yang ingin ikut? Tapi Gussy lebih baik jangan, kata Bill." "Aku ikut," kata Lucy-Ann sambil berdiri. "Kalian lebih baik tinggal saja, Jack dan Philip, untuk melindungi Bibi Allie." Jack dan Philip setuju. Meskipun negeri Tauri-Hessia jauh letaknya, tapi keduanya merasa perlu bersikap waspada. "Aku juga tidak ikut," kata Dinah. "Telapak kakiku melepuh." Jadi hanya Lucy-Ann saja yang ikut dengan Bill. Anak itu merasa berbahagia, karena bisa seorang diri menemaninya. Bill selalu riang dan jenaka jika bergaul dengan anak-anak. Tapi jika hanya seorang diri saja dengan dia, Bill lebih ramah lagi. Begitulah perasaan Lucy-Ann. Mereka berjalan bergandengan tangan. Sementara itu di luar sudah mulai gelap. "Kita jangan berbicara tentang Gus," kata Bill dengan suara pelan. "Kita harus sangat berhati- hati. Orang lain tidak ada yang boleh tahu, siapa Gus sebenarnya, ia akan banyak mengalami kesulitan, apabila dalam umurnya sekarang ini diangkat menjadi raja." "Aku takkan mengatakan apa-apa mengenai dia," balas Lucy-Ann sambil berbisik. "Kita berbicara saja tentang Jack." "Kau ini rupanya tidak pernah bosan membicarakan abangmu itu, ya?" kata Bill sambil tersenyum. "Menurutku, ia memiliki sesuatu yang juga ingin sekali kumiliki." "Apa itu? Kiki?" tanya Lucy-Ann. "Bukan, bukan Kiki. Seorang adik perempuan yang manis dan baik hati," kata Bill. Senang rasanya melihat dua orang kakak-adik yang begitu sayang-menyayangi, seperti kalian berdua." "Kurasa itu karena orang tua kami sudah meninggal ketika kami masih kecil-keciL," kata Lucy-Ann sambil merenung. "Waktu itu kami cuma berdua saja. Tapi sekarang kami punya Anda, Bibi Allie, dan begitu pula Dinah dan Philip. Kami ini beruntung!" "Aku pun merasa beruntung, mendapat sekaligus satu keluarga yang lengkap," kata Bill. “Eh, ngomong-ngomong, kita sudah hampir sampai. Kau ikut masuk, Lucy-Ann. Tapi jangan ikut bicara. Biar aku saja yang berbicara dengan Bu Ellis." Mereka mengetuk pintu rumah, lalu masuk ke dapur yang nyaman. Api menyala di pendiangan, walau hawa saat itu tidak bisa dibilang dingin. Bibi Naomi duduk sambil merajut di depan api. Bu Ellis menyongsong mereka. "Eh, ada tamu rupanya! Selamat malam, Pak Cunningham. Silakan masuk! Bagaimana — sudah mulai biasa tinggal di Pondok Batu? Silakan duduk, Pak. Kau juga, Nak! Anda memerlukan sesuatu, barangkali?" Lucy-Ann memilih kursi goyang, lalu duduk sambil bergoyang-goyang. Seekor kucing besar berbulu belang meloncat ke atas pangkuannya, lalu langsung tidur di situ. Kucing itu mendengkur. Bu Ellis menyuguhkan sepotong kue yang besar pada Lucy-Ann. Sambil makan kue, anak itu mendengarkan pembicaraan Bill dengan Bu Ellis. Bill bercerita tentang kehidupan di Pondok Batu. "Daerah ini menyenangkan. Tenang sekali," katanya. "Orang asing mestinya jarang yang datang kemari ya, Bu? Atau paling-paling orang seperti kami ini, yang berlibur selama beberapa waktu di sini." "Biasanya memang begitu. Tapi tadi siang ada dua orang asing datang kemari," kata Bu Ellis. "Mereka naik mobil bagus, berwarna hitam. Seperti mobil Anda, Pak Cunningham." "Mungkin salah jalan," kata Bill. ia mengatakannya dengan nada suara yang biasa-biasa saja. Tapi Lucy-Ann merasa bahwa dalam hati, Bill saat itu sangat tegang. "Tidak, mereka tidak salah jalan," kata Bu Ellis. "Mereka sedang mencari-cari rumah petani yang bisa disewa untuk beberapa hari. Istri orang yang berbicara dengan aku tadi baru saja sembuh dari sakit yang lama sekali, dan kini perlu beristirahat agar bisa segar kembali. Selama mencari-cari itu rupanya ada yang bercerita tentang tempat pertanian kami ini, lalu mereka kemari untuk menanyakan." "O, begitu," kata Bill. "Lalu bagaimana—Anda katakan bahwa Anda bisa menampung mereka?" “Ya," kata Bu Ellis. "Tapi aku kemudian diomeli suamiku karenanya. Kata suamiku, aku ini terlalu baik hati. Tapi aku merasa kasihan pada istri orang itu. Besok mereka datang. Menurut orang tadi, nama mereka Jones. Tapi kurasa mereka bukan orang Inggris. Mereka orang asing." "Orang asing," kata Bill lambat-lambat. "Itu sudah kukira." Bab 9, TAMU YANG TIBA-TIBA DATANG Lucy-Ann tertegun. Orang asing! Apakah itu berarti bahwa mereka datang dari Tauri-Hessia? Mungkinkah mereka berhasil melacak jejak Gussy? Aduh — mudah-mudahan ini bukan awal dari petualangan yang baru lagi! Padahal liburan sekali ini dimulai dengan begitu menyenangkan! "Sialan!" bisik Lucy-Ann di dekat telinga kucing yang meringkuk di pangkuannya. Bill masih mengajukan beberapa pertanyaan lagi dengan sikap sambil lalu. Tapi kecuali keterangan tadi, tidak ada lagi yang bisa ditambahkan oleh Bu Ellis. Akhirnya Bill minta diri. Diambilnya kendi berisi susu yang diambilkan Bu Ellis dari tempat penyimpanan, dan sekaligus dibayarnya. Setelah mengucapkan terima kasih, diajaknya Lucy-Ann keluar. "Kelihatannya ada yang berhasil melacak jejak Gussy sampai kemari," kata Bill setengah berbisik. Suaranya membayangkan perasaan khawatir. "Tapi bagaimana sampai bisa ketahuan bahwa ia ada bersama kita? Sayang, penampilan anak itu begitu menyolok, sehingga bisa dikenali dengan gampang! Kemungkinannya ada yang melihat dia bersama aku, lalu mengadakan penyelidikan mengenai diriku. Dan begitu sudah tahu siapa aku, selebihnya merupakan urusan gampang. Hm...Gawat juga, kalau begitu!" "Apakah Anda berniat akan pergi dari sini, bersama Gus?" tanya Lucy-Ann. Suaranya begitu lirih, sehingga nyaris tidak terdengar oleh Bill. "Jangan pergi ya, Bill!" "Aku harus berembuk dengan Bibi Allie mengenai hal ini," kata Bill. "Tapi jangan kau-ceritakan apa yang kaudengar tadi pada Gus, ya! Nanti ia gelisah. Mulai saat ini kalian tidak boleh sekali-sekali membiarkan dia sendiri. Kalian harus selalu menemaninya, ke mana pun a pergi." "Baiklah, Bill," kata Lucy-Ann. "Ah, kenapa bu Ellis tadi mengatakan mau menerima orang-orang asing itu tinggal di tempatnya? Tapi mungkin juga mereka orang biasa saja, yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan urusan itu, Bill." "Ya, kemungkinan itu memang ada," kata Bill. "Tapi aku mendapat firasat buruk mengenai mereka. Walau begitu, kau tidak perlu merasa cemas." "Selama kau ada bersama kami, aku tidak merasa cemas," kata Lucy-Ann. "Jangan pergi, lagi Bill." "Tidak, aku takkan pergi," jawab Bill. "Jika keadaan benar-benar mendesak, barulah aku akan menghilang, bersama Gus." Ketika mereka sampai di rumah, Gussy dan Dinah sudah tidur. Bibi Allie masih ada di ruang duduk, ditemani oleh Jack dan Philip. Mereka menunggu sambil membaca. Bill menaruh susu di bilik tempat penyimpan makanan. Setelah kembali ke ruang duduk, diceritakannya pengalaman di rumah Bu Ellis tadi. Wajah istrinya membayangkan perasaan khawatir. "Bagaimana orang-orang itu bisa tahu bahwa Gus ada di sini bersama kita?" katanya dengan heran. "Bagaimana sekarang, Bill? Apakah sebaiknya kita semua pergi dari sini?" "Jangan! Itu malah semakin menambah kecurigaan," kata Bill. "Seorang laki-laki dan seorang wanita saja, takkan bisa berbuat apa-apa terhadap kita. Mereka takkan berani menculik Gus dari tengah-tengah kita. Kita tunggu saja dulu, apakah ada lagi orang asing bermunculan di sini. Itu akan bisa kita ketahui dengan segera, dari Bu Ellis. Jack dan Philip bisa bergantian pergi mengambil susu setiap hari ke tempat Bu Ellis, sambil memasang telinga kalau-kalau ada perkembangan baru." "Baiklah — kalau begitu kita tetap seperti sediakala," kata istrinya. "Tapi Gussy perlu kita beri tahu, agar ia berjaga-jaga. Mulai sekarang ia tidak boleh pergi jauh-jauh meninggalkan kita. Dan kalian harus selalu memeriksa apakah jendela kamar tidur kalian sudah terkunci atau belum, Jack dan Philip." "Kenapa harus begitu?" kata Jack. Ia tidak suka tidur dengan jendela tertutup. "Kan ada Kiki! Kewaspadaannya sebanding dengan anjing penjaga mana pun juga. Jika ada orang mencoba menyelinap masuk malam-malam, Kiki pasti akan langsung menjerit, sehingga kita semua terbangun." "Aku lebih merasa aman, jika jendela kamar kalian terkunci dari dalam," kata Bu Cunningham. "Aku tahu, begitu ada orang tidak dikenal masuk, Kiki pasti akan langsung menjerit. Tapi aku tidak mau mengambil risiko." Keesokan paginya Gussy diberi tahu, juga Dinah. Philip disuruh berjaga di dekat tempat pertanian, untuk mengamat-amati jika kedua orang asing itu datang. Keduanya datang dengan mobil hitam, yang sehari sebelumnya sudah dilihat oleh Philip dengan teropong. Mobil besar itu mewah sekali kelihatannya. Mobil Daimler, kata Philip dalam hati. Pasti larinya sangat laju! Pintu mobil terbuka. Seorang pria berbadan langsing turun. Pakaiannya apik, sedang rambutnya tersisir rapi ke belakang, ia memakai kaca mata yang hanya terdiri dari satu lensa, yang dijepitkan di depan mata kanannya, ia berbicara dalam bahasa Inggris yang lancar. Tapi meski begitu terdengar jelas dari logatnya bahwa ia orang asing, ia menolong seorang wanita muda turun dari mobil. Wanita itu cantik sekali, ia dibimbing oleh pria tadi, berjalan pelan-pelan menuju ke rumah. "Wanita itu kelihatannya seperti baru sembuh dari sakit berat. Atau kalau tidak, cuma berpura- pura saja," kata Philip dalam hati. "Sebaiknya aku cepat-cepat saja kembali, untuk melapor pada Bill. Gussy juga perlu diberi tahu. Mungkin ia bisa mengenali kedua orang itu, dari keteranganku.” Tapi Gussy tidak mengenal mereka. "Tidak, aku belum pernah berjumpa dengan orang-orang seperti yang kaukatakan itu," katanya sambil menggeleng. "Aku takkan heran, jika siang ini mereka muncul di sini. Pura-pura berjalan-jalan, tapi sebenarnya untuk menyelidik," kata Bill. "Mereka pasti sudah tahu bahwa aku tinggal di sini — dan menduga bahwa Gus juga ada bersama kita." Dugaan Bill ternyata tepat. Siang itu Jack berkeliaran dalam kebun, karena ingin mengamat-amati burung-burung yang ada di situ. Tiba-tiba ia mendengar suara dua orang bercakap-cakap, ia tidak mengenal suara mereka. Karena ingin tahu, ia mengintip dari balik belukar. Ah — pasti itu kedua tamu yang tinggal di rumah Bu Ellis, katanya dalam hati. Penampilan mereka seperti yang diceritakan Philip. Pria yang bertubuh jangkung dan berpakaian apik itu memakai lensa kaca mata di depan matanya yang sebelah Kanan. Sedang wanita yang cantik berjalan sambil menopang diri pada lengan pria di sebelahnya. Jack bergegas masuk ke rumah, lewat pintu belakang. "Bill!" serunya dengan gugup. "Mereka datang. Mana Gussy? ia bisa mengintip dari balik jendela saat mereka lewat nanti. Mungkin saja ia mengenali kedua orang itu." Sambil berlindung di balik tirai jendela ruang duduk, Gus mengintip dengan hati-hati ke luar. Tapi kedua orang tadi tidak lewat. Mereka membuka pintu pekarangan, lalu langsung menuju ke pintu depan. Detik berikut terdengar bunyi pintu diketuk. Bu Cunningham terkejut. Saat itu ia sedang beristirahat di tempat tidur. Bill membuka pintu kamar, lalu masuk. "Itu kedua orang asing yang menginap di tempat Bu Ellis. Tidak kusangka mereka akan langsung kemari. Mungkin mereka tidak menduga bahwa kita sudah merasa curiga atas kemunculan mereka di sini. Tolong, kau saja yang membukakan pintu! Aku tidak boleh sampai kelihatan — dan begitu pula Gus! Tapi anak-anak yang lain, boleh saja." Setelah itu Bill mendatangi Gus, untuk mengatakan agar jangan menampakkan diri. Sementara itu Bu Cunningham bergegas turun, untuk membukakan pintu. Dilihatnya dua orang berdiri di situ. Seorang pria, dan seorang wanita. Yang pria membuka topinya, memberi hormat dengan sopan. "Maafkan kedatangan kami secara tiba-tiba ini," katanya. "Kami sebetulnya sedang berjalan-jalan. Tahu-tahu istri saya merasa lemas. Mungkin seteguk air akan membuatnya segar kembali. "Ya, tentu saja. Nanti saya ambilkan sebentar. Silakan masuk." Mudah-mudahan saja Gussy tidak turun untuk melihat, kata Bu Cunningham dalam hati. "Istri saya baru saja sembuh dari sakit," kata pria itu lagi. "Saya membawanya ke daerah pedesaan sini untuk memulihkan kesehatannya. Hawa segar, ditambah makanan bermutu — jelas akan lebih cepat menyegarkannya kembali, dibandingkan hotel mana pun juga tapi saya seharusnya tidak mengajaknya berjalan begini jauh, pada hari pertama kami di sini." Bu Cunningham menanggapi permainan berpura-pura itu dengan sebaik mungkin. "Aduh, kasihan," katanya, ia memanggil Dinah. "Dinah! Coba tolong ambilkan air segelas, ya?" Dinah bergegas ke dapur. Dengan segera ia sudah kembali, membawa baki dengan kendi berisi air dingin serta sebuah gelas. Sambil meletakkan baki di atas meja, dipandangnya kedua orang tamu itu dengan perasaan ingin tahu. Kedua orang itu membalas pandangannya. "Ini anak Anda?" tanya yang wanita. "Alangkah manisnya! Selain dia, Anda masih punya anak lagi?" "O ya," jawab Bu Cunningham. "Masih ada satu lagi, ditambah dua anak angkat. Tolong panggil mereka, Dinah!" Dinah pergi memanggil Lucy-ann, Philip, dan Jack. Tamu yang wanita menjerit, ketika melihat Kiki yang bertengger di bahu Jack. "Burung kakaktua! Jangan perbolehkan dia mendekati aku!" "Bersihkan kakimu!" oceh Kiki. "Tutup pintu!" Setelah itu ia menggeram, menirukan suara anjing. Wanita itu berseru dalam bahasa asing, lalu mengatakan sesuatu pada yang laki-laki. Pria itu tertawa. "Istri saya mengatakan, orang-orang yang datang berkunjung kemari harus tahu tata krama,kalau tidak ingin didamprat kakaktua kalian," katanya. "Jadi mereka ini anak-anak Anda, Bu? Anda tidak punya satu lagi?" "Tidak," jawab Bu Cunningham. "Hanya mereka berempat inilah anak-anak saya." "Tapi menurut Bu Ellis, masih ada satu lagi," kata tamu yang wanita, sambil meneguk air dingin. Bu Cunningham mengambil kotak rokok, lalu menyodorkannya pada wanita itu. Maksudnya untuk mengalihkan pokok pembicaraan. Tapi wanita itu tetap mengotot. "Mungkin ada anak lain, yang ikut berlibur di sini," katanya, sambil tersenyum manis. "Ah — saya rasa yang dimaksudkan oleh Bu Ellis itu Gussy," kata Bu Cunningham. "Ya, anak itu memang ikut berlibur di sini untuk sementara waktu — sampai orang tuanya bisa mengajaknya pulang." “Bolehkah saya melihat anak itu?" tanya tamu yang wanita. "Saya suka sekali pada anak-anak." “Ke mana Gussy tadi. Anak-anak?" tanya Bu Cunningham. Dari nada suaranya, anak-anak angsung mengerti bahwa ia ingin agar mereka mengatakan tidak tahu. Dan mereka memang tidak tahu! Saat itu Gussy bersembunyi dalam lemari pakaian di tingkat atas. Ia dengan segera menyusup masuk ke situ, begitu mendengar bunyi pintu rumah diketuk. Bill yang menyuruhnya bersembunyi di tempat itu. “Entah, ya," kata Jack. "Mungkin keluyuran ke luar. Kau tahu ke mana Gussy tadi, Philip?" "Aku juga tidak tahu," jawab Philip. "Mungkin bermain-main ke hutan." "Ah — anak itu rupanya senang keluyuran, ya?" kata yang laki-laki. "Yah — mungkin dalam perjalanan pulang nanti, kami akan berjumpa dengan dia di tengah jalan. Terima kasih. Bu, atas kebaikan hati menolong istri saya. Bolehkah saya memberi apa-apa pada keempat anak Anda yang manis-manis ini, untuk membeli es krim? Dan ini juga untuk Gussy!" Anak-anak melongo, karena laki-laki itu meletakkan lima lembar uang sepuluh shilling yang masih baru di atas meja, di depan Bu Cunningham. Ibu Dinah dan Philip kaget sekali. Dengan cepat ditolaknya pemberian itu. “Aduh, ini sama sekali tidak perlu!" katanya. Saya kan hanya memberi segelas air saja. Tidak — kami tidak bisa menerima pemberian ini." Laki-laki itu nampak heran, dan sekaligus juga kikuk. Kelima lembar uang kertas itu dikantunginya kembali. "Yah — apa boleh buat," katanya. "Di negeri kami, ini hanya merupakan tanda terima kasih biasa saja, atas suatu pertolongan." "Di manakah negeri Anda itu, Pak?" tanya Jack dengan segera. Laki-laki itu kelihatan agak ragu. Yang wanita melirik dengan cepat ke arahnya. "Negeriku — eh, kami ini dari Italia," katanya. "Negeri yang indah!" ia berpaling pada yang wanita. "Yuk — kita pergi sekarang." Dibimbingnya wanita itu ke arah pintu, sementara matanya jelalatan kian kemari. Rupanya ia mencari-cari Gussy. ia membungkukkan badan pada Bu Cunningham, lalu keluar. Bu Cunningham menyerukan sesuatu padanya. Orang itu berpaling. "Apa kata Anda?" katanya. "Saya tidak mengerti." Bu Cunningham mengulangi kalimatnya. Orang itu kelihatan bingung, ia membungkuk lagi, lalu bergegas keluar, dan langsung pergi. "ia bukan orang Italia!" kata Bu Cunningham. "Aku tadi menitipkan salam pada Bu Ellis — dalam bahasa itu — dan ternyata ia sama sekali tidak mengerti!" Bab 10, PANGGILAN MENDADAK Jack bergegas menyusul, ia hendak memastikan, bahwa kedua orang itu benar-benar pulang ke tempat pertanian. Ternyata mereka memang langsung menuju ke sana. Gussy dipanggil ke luar dari tempat persembunyiannya. “Wanita itu tadi Nyonya Tatiosa—istri Perdana Menteri," katanya. "Aku benci padanya! wanita itu sangat licik, dan juga kejam." “Apa? Wanita secantik itu?" kata Bu Cuningham dengan nada kurang percaya. “Ya, betul," kata Gussy. ia mengangguk-angguk, untuk menegaskan, "ia dulu pernah menjadi mata-mata, untuk negara kami. Paman yang mengatakannya padaku, ia mata-mata yang sangat licin. Kemudian ia menikah dengan Perdana Menteri, ia sangat berkuasa. Suaminya selalu menurut saja, jika ia mengatakan sesuatu." “Lalu yang laki-laki itu siapa, Gus?" tanya Jack. “Aku tidak mengenalnya," jawab Gussy. “Kau tidak mengenalnya? Hm," kata Bill. “Tapi biarlah, itu juga tidak begitu penting. Yang jelas, satu di antaranya kau kenali. Itu sudah cukup. Kini kita sudah tahu pasti, mereka memang melacak jejak kita. Kurasa mungkin sebaiknya kita lekas-lekas saja menyingkir dari sini." "Tapi Anda pernah mengatakan bahwa mereka takkan bisa berbuat apa-apa terhadap Gussy, Bill — karena mereka hanya berdua saja," kata Jack. "Kenapa kita tidak mengamat-amati mereka saja setiap hari, supaya langsung bisa tahu jika ada orang lain datang menggabungkan diri dengan mereka? Aku dan Philip bisa bergantian menjaga di tempat pertanian." "Baik juga usulmu itu," kata Bill, sambil mengepulkan asap pipanya. "Begini sajalah! Kita bertahan dulu di sini selama dua hari lagi, menunggu langkah berikut yang akan dilakukan oleh lawan kita. Tidak ada keraguan lagi, mereka merasa bahwa Gussy pasti anak yang mereka cari. Kurasa Bu Ellis pasti memberikan keterangan yang cukup jelas tentang Gussy pada mereka. Ciri-cirinya kan gampang sekali dijelaskan!" "Ya, memang- — dengan rambutnya yang panjang," kata Jack sambil nyengir. "Bagaimana, Bill — apakah tidak sebaiknya aku langsung saja ke pertanian sekarang, untuk mengintai di sana sepanjang hari? Aku bisa saja datang dengan alasan bahwa kita perlu mentega. Lalu aku tetap di situ, membantu-bantu. Aku memang senang melakukannya." "Baiklah — kau pergi saja ke sana," kata Bill. Dengan segera Jack berangkat, membawa Kiki yang masih terus bertengger di bahunya. Anak-anak yang lain pergi berjalan-jalan. Dengan sendirinya mereka menjauhi tempat pertanian. "Bawa bekal makanan," kata Bu Cunningham. "Kau juga lebih baik ikut, Gussy — Karena kalau kalian berjalan-jalan, takkan ada orang lain yang tahu di mana kalian berada!" Setelah berjalan sekitar tiga kilometer, mereka sampai di sebuah tempat lapang. Mereka duduk untuk beristirahat sebentar di situ. "Senang rasanya, duduk-duduk di sini," kata Lucy-Ann. "Alangkah indahnya bunga-bunga hutan ini. Aku senang melihatnya — begitu bersih semuanya!" Tahu-tahu Dinah menjerit. "Hii — apa itu, Philip! Itu, di bahumu! Ihh, itu kan tikus!" Tikus pohon yang selama itu berada di dalam kantung Philip rupanya juga merasa kepanasan di situ. Ia keluar, merayap naik lewat rompi yang dipakai Philip. Kepalanya tersembul dari balik kerahnya. Dan kini binatang kecil itu duduk di bahu tuannya. “He — itu kan tikus pohon!" seru Lucy-Ann dengan senang. "Siapa namanya, Philip? Bolehkah aku memegangnya?" “Namanya Penidur! Itu cocok dengan kebiasaannya," jawab Philip, ia mengeluarkan sebutir biji-bijian dari kantungnya. Biji-bijian itu diberikannya pada Lucy-Ann. "Nih — kautaruh di telapak tanganmu, lalu kausodorkan padanya. Nanti ia pasti akan datang padamu." Lucy-Ann menyodorkan biji-bijian yang diletakkan di atas telapak tangannya ke arah tikus pohon kecil itu. ia melakukannya dengan tenang, tanpa gerakan yang tergesa-gesa. Binatang mungil itu melihat tangan Lucy-Ann yang bergerak mendekat ke arahnya. Hidungnya bergerak-gerak. "ia mengendus bau biji-bijian itu," kata Philip. "Sekarang jangan bergerak, Lucy-Ann. Nah — betul kan? Sekarang ia pindah ke tanganmu." "Lucu sekali binatang ini, Philip!" kata Lucy-Ann. "Aku juga kepingin punya seekor seperti dia." "Nantilah kucarikan," kata Philip. Tapi Dinah langsung menjerit. "Tidak! Jangan! Lucy-Ann kan tidur sekamar dengan aku. Aku tidak mau ada tikus dalam kamar tidur!" "Ini kan tikus pohon, bukan tikus rumah," kata Lucy-Ann. “ia sama sekali tidak berbau. Lihatlah, betapa manisnya!" Sementara itu Penidur sudah asyik menggerogoti biji-bijian, ia makan sambil duduk. Sikapnya mirip tupai. Binatang mungil itu memandang Lucy-Ann dengan matanya yang hitam berkilat. "Bola matanya berkilat-kilat, seperti cermin," kata Lucy-Ann. "Aku bisa dengan jelas melihat bayangan mukaku di dalamnya. Kecil sekali kelihatannya." "O ya?" kata Gussy. Dengan cepat didekatkannya mukanya, karena ingin melihat bayangan dirinya dalam mata tikus pohon itu. Penidur kaget, lalu buru-buru menghilang ke balik baju Philip. "Kau ini benar-benar konyol, Gussy," kata Lucy-Ann dengan sebal. "Kan sudah dikatakan, jangan melakukan gerakan yang tergesa-gesa. Binatang kecil seperti Penidur, sangat pengejut." "Maaf sekali! Saya minta maaf," kata Gussy. Maafkan aku, Lucy-Ann." "Baiklah. Mudah-mudahan saja Penidur mau Keluar lagi," kata Lucy-Ann. Ia masih agak sebal. Setelah itu Penidur masih beberapa kali nampak menyembulkan kepala dari balik kerah baju Philip. Tapi ia tidak mau keluar. "ia masih belum benar-benar jinak," kata Philip menjelaskan. "Aku belum cukup lama memeliharanya. Tapi nanti pasti akan jinak juga. Lihat sajalah — sebentar lagi ia pasti akan muncul saat kita sedang makan, lalu ikut makan biji-bijiannya di piringku." "Tidak boleh!" tukas Dinah dengan segera. "Jangan konyol," kata Philip. "Kau sih, tidak mau berusaha menyukai tikus pohon. Kau...." "Ssst — ada orang datang," desis Lucy-Ann tiba-tiba. "Cepat — bersembunyilah ke dalam semak itu, Gussy!" kata Philip. Dengan segera Gussy menghilang, bersembunyi dalam semak yang lebat. Semak itu banyak durinya. Tapi Gussy tidak peduli. Lebih baik tertusuk duri dari pada ketahuan! Dua orang laki-laki lewat, sambil bercakap-cakap dalam logat daerah itu. Seorang dari mereka adalah laki-laki yang memberi keterangan pada Philip tentang musang. Orang itu melambai ke arah mereka. "Malam ini saat yang baik untuk mengamat-amati musang!" serunya sambil lewat. "Keluarlah, Gus," kata Philip, ketika kedua orang itu tidak kelihatan lagi. Gus merangkak ke luar dari tempat persembunyiannya. Muka, tangan, dan kakinya penuh dengan goresan, karena duri. Anak itu kelihatan menahan tangis. "Wah, dia berdarrah," kata Dinah mengganggunya. "Gus, kau berdarrrah!" "Ah, cuma sedikit saja," kata Philip cepat-cepat. Diambilnya sapu tangan, lalu diusapnya goresan-goresan yang mengeluarkan darah sedikit. "Kan biasa, jika tergores karena duri. Sudahlah, Gus—kau tidak perlu menangis. Seperti anak kecil saja!" "Aku tidak suka berdarrah," kata Gussy, dengan suara memelas. "Badanku sakit karenanya." "Silakan sakit—tapi jangan macam-macam," tukas Dinah. Gus menguatkan hatinya, ia tidak jadi menangis. Setelah memakan bekal yang dibawa, mereka memutuskan untuk kembali. Dalam perjalanan pulang, Philip ingin mampir sebentar di bekas tambang batu, untuk melihat apakah musang-musang memang biasa berkeliaran di situ. Ia berkeliaran di tempat yang luas dan sunyi itu. Ia memeriksa semak-semak, mencari bekas-bekas musang. Sedang Gussy diajak Dinah dan Lucy-Ann berlari pulang. Lucy-Ann menganggap itu perlu, karena siapa tahu ada musuh mengintai! "Ada kabar baru?" tanya Lucy-Ann begitu masuk ke dalam rumah dengan napas terengah-engah. "Jack sudah kembali?" "Belum," kata Bu Cunningham. Dan di rumah pun selama itu tidak terjadi apa-apa. Sorenya Jack kembali. "Tidak ada orang muncul di sana," katanya. Dan kedua orang tadi juga sama sekali tidak keluar. Rupanya mereka selama aku mengintai tadi terus berada di dalam kamar mereka. Sekali aku mendengar bunyi dentingan pesawat telepon. Mungkin mereka menelepon kawanan mereka." "Itu mungkin saja," kata Bill. "Yah — sehari ini aku sama sekali tidak berbuat apa-apa. Sekarang aku ingin membaca surat kabar. Jika aku selesai nanti, kurasa sudah waktunya kita makan. Malam ini bulan purnama." "Cocok untuk mengamat-amati kehidupan musang," kata Philip dengan suara pelan pada Jack. "Bagaimana — kau ikut ke hutan nanti?" "Jelas dong! Kita tunggu sampai semua sudah tidur, lalu kita menyelinap ke luar rumah," kata Jack. "Gus pasti takkan mendengar kita. Tidurnya selalu nyenyak." Untuk makan malam dihidangkan daging asap, selada, serta susu segar. "Hmm, enaknya!" kata Philip. "Kenapa di asrama kita tidak pernah mendapat makan malam seperti ini, ya?" "Sudahlah, jangan kauulang-ulang terus tentang makanan di asrama," kata ibunya. "Lihatlah, kau sudah menguap. Tidurlah, Anak-anak." "Baik, Bu," kata Philip sambil berdiri. "Kau ikut, Jack?" Jack mengangguk. Mungkin ada baiknya jika tidur dulu, sebelum keluar nanti. Gus ikut dengan mereka ke atas. Dinah dan Lucy-Ann masih membaca-baca sebentar di bawah. Tapi kemudian mereka juga pergi tidur. "Weker akan kusetel untuk pukul sebelas, lalu kutaruh di bawah bantal," kata Philip dengan pelan pada Jack. "Dengan begitu, Cuma aku sendiri yang mendengar deringnya nanti. Aduh, capek sekali rasanya!" Tidak lama kemudian kelima anak itu sudah tidur pulas. Bill menyetel radio. "Aku masih ingin mengikuti warta berita pukul sepuluh," katanya pada istrinya. Saat itu terdengar pintu rumah diketuk dengan pelan. Bill langsung tegang, ia melirik ke arah istrinya. Alis Bu Cunningham terangkat. Bill pergi ke pintu. "Siapa itu?" tanyanya. "Saya disuruh kemari oleh Bu Ellis," kata orang yang mengetuk pintu dengan suara seperti ketakutan. Kedengarannya seperti suara wanita. "Bibinya tadi jatuh, sehingga kakinya patah. Anda diminta segera datang. Bu Ellis bingung sekali, karena Pak Dokter sedang bepergian." Bill membuka pintu. Di luar nampak seseorang berbadan bungkuk, yang menyelubungi tubuhnya dengan selendang yang besar. Wajahnya hanya nampak samar. Bill menduga bahwa ia pasti wanita tua yang membantu di dapur Bu Ellis. "Silakan masuk," ajak Bill. "Terima kasih, tapi saya harus segera kembali. Anda akan datang?" "Ya, kami akan segera datang." Bill menutup pintu lalu kembali ke ruang duduk. "Kita diminta datang oleh Bu Ellis," katanya. "Bibi Naomi jatuh, dan sekarang kakinya patah. Kuantar kau ke sana, tapi aku harus segera kembali lagi kemari. Mungkin kau akan diantar pulang oleh Bu Ellis. Atau bisa juga kau menginap di sana." "Kita berangkat saja sekarang," kata Bu Cunningham. "Kasihan Bu Ellis — sekarang benar-benar terjadi apa yang dikhawatirkannya selama ini." Keduanya cepat-cepat berpakaian, lalu berangkat. "Anak-anak tidak usah kita bangunkan, karena aku kan langsung kembali lagi," kata Bill. ia mengunci pintu depan, lalu mengantungi anak kuncinya. "Alangkah indahnya malam ini. Sinar bulan begitu terang, sehingga hampir seperti siang hari. Enak juga,berjalan-jalan pada malam seperti sekarang ini," kata Bill. Bab 11, BERBAGAI KEJADIAN Sinar bulan menerangi jalan yang dilewati Bill serta istrinya. Keduanya bergegas-gegas. "Nanti akan kuminta pada Bu Ellis agar kau diantarkan pulang," kata Bill pada istrinya. "Sedang aku, lebih baik jika aku langsung saja kembali. Aku cemas memikirkan Gussy. Aku sebenarnya ingin melihat tampang Nyonya Tatiosa serta kawannya — tapi mereka tidak boleh sampai melihat aku." Mereka melewati sekelompok pepohonan yang gelap. Mereka tidak melihat bahwa di tengah pepohonan itu ada sesuatu yang bergerak-gerak. Mereka tidak melihat, ketika empat sosok muncul dari situ, lalu berlari menghampiri mereka dari belakang. Tiba-tiba Bill mendengar bunyi ranting kering patah. Dengan cepat ia berpaling. Tapi saat itu juga ia disergap, dan dibanting ke tanah. Bu Cunningham merasa dirinya diringkus. Ada tangan membungkam mulutnya, ia masih berusaha berteriak. Tapi tidak bisa. "Jangan berusaha melawan," kata orang yang menyergapnya, "dan jangan berteriak. Kami tidak bermaksud menyakiti kalian. Kami hanya ingin menyingkirkan Anda berdua selama beberapa waktu." Walau begitu Bill tetap saja berusaha melawan, ia memberontak, karena tahu bahwa orang- orang itu pasti hendak menangkap Gussy. Bill marah pada dirinya sendiri. Panggilan tadi sudah jelas merupakan tipuan belaka. Bibi Naomi sama sekali tidak jatuh atau patah kakinya. Bu Ellis sama sekali tidak meminta mereka datang. Orang-orang inilah yang memancing dengan siasat itu agar ia dan istrinya meninggalkan rumah, sehingga bisa diringkus dengan mudah. Dan kini jalan terbuka bagi orang-orang itu untuk menculik Gus! Salah seorang dari keempat laki-laki itu mengikat mulut Bill erat-erat dengan kain, sehingga ia nyaris tidak bisa bernapas, ia juga tidak bisa melihat apa-apa. Akhirnya Bill berhenti memberontak, ketika kedua belah lengannya dipilin ke belakang punggung, lalu diikat. Saat itu ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena lawan ada empat orang. Mungkin ia nanti bisa melepaskan ikatan jika orang-orang itu sudah pergi untuk menculik Gussy. Bill berharap akan bisa mencegah. Bu Cunningham berusaha membebaskan diri. Tapi satu orang saja sudah cukup untuk membuatnya tidak berkutik. Tangan dan kakinya diikat dengan tali. Mulutnya juga disumbat dengan kain, agar tidak bisa berteriak. "Kami sebenarnya tidak suka melakukan hal ini — tapi apa boleh buat," kata salah seorang dari keempat laki-laki itu dengan sopan. "Kami harus membawa pangeran cilik itu pulang, ia dibutuhkan tanah airnya, ia tidak akan kami apa-apakan — begitu pula Anda berdua. Nanti jika Pangeran sudah kami ambil, salah seorang dari kami akan kemari untuk membebaskan Anda lagi. Itu kalau mungkin! Jika tidak — pasti akan ada orang pertanian sini yang bisa membebaskan Anda besok pagi." Bill dan istrinya digiring ke dekat sebuah tumpukan jerami, lalu disuruh berbaring di situ. Sebelumnya, kantung Bill digeledah. Anak kunci pintu Pondok Batu diambil dan dibawa pergi. Ke manakah orang-orang itu? Bill memasang telinga, ia berusaha melepaskan kain yang mengikat mulutnya, dengan jalan menggosok-gosokkan kepala ke tanah. Bagaimanakah keadaan Allie? Bill marah sekali terhadap dirinya sendiri, karena begitu mudah ditipu. Wanita yang datang tadi pasti anggota kawanan itu. Pantas ia tidak mau masuk ketika dipersilakan. Seharusnya saat itu ia sudah merasa curiga, kata Bill dalam hati. Jika wanita itu benar-benar disuruh oleh Bu Ellis, ia mestinya menunggu Bill serta istrinya, untuk kemudian kembali ke pertanian bersama mereka berdua. Bill teringat pada laporan Jack, yang mengatakan mendengar bunyi denting pesawat telepon yang diangkat. Pasti itu Nyonya Tatiosa, atau mungkin juga kawannya, yang hendak menelepon, meminta bantuan untuk melaksanakan rencana penculikan terhadap Gustavus. Dan mestinya petang itu — setelah Jack pulang — ada mobil datang dengan bala bantuan. Sayang — baru saat itu Bill menyadari duduk perkara sebenarnya. Pikirannya melayang ke Pondok Batu. Apakah yang sedang terjadi di sana saat itu? Orang tadi mengatakan, Gustavus tidak akan mereka apa-apakan. Bill tidak menyangsikan keterangan itu. Para penculik hanya ingin mendudukkannya ke atas tahta, menggantikan pamannya. Gussy yang malang! Kalau ia sudah diangkat jadi raja, pasti ia akan disuruh melakukan segala-galanya yang diperintahkan kawanan penculik itu. Kehidupannya pasti takkan enak! Sementara itu di Pondok Batu belum terjadi apa-apa. Anak-anak tidur nyenyak. Jendela kamar tidur yang ditempati ketiga anak lelaki terkunci dari dalam, seperti yang disuruh oleh Bill. Tapi itu tidak ada gunanya — karena para penculik saat itu sudah memegang anak kunci untuk membuka pintu depan! Waktu berjalan terus. Tepat pukul sebelas, jam weker yang ditaruh oleh Philip di bawah bantalnya berbunyi. Anak itu langsung terbangun. Mula-mula ia tidak mengenali bunyi yang membangunkannya. Tapi sesaat kemudian ia ingat lagi. "Pukul sebelas!" katanya dalam hati. Tangannya merogoh ke bawah bantal, untuk menghentikan bunyi deringan weker. Setelah itu ia duduk. Sinar bulan memancar masuk ke dalam kamar, membuat benda-benda di situ nampak kemilau keperak-perakan. Philip turun dari pembaringannya, lalu menghampiri tempat tidur Jack. "Jack! Jack! Bangun, sudah pukul sebelas!" bisik Philip, ia tidak ingin Gus ikut terbangun. Tapi anak itu tidur pulas sekali. Ketika weker tadi berbunyi, Kiki juga sudah ikut bangun. Tapi burung kakaktua itu sudah biasa mendengar bunyi weker itu berdering. Karenanya ia hanya menguap, sambil merentangkan sayap. Jika anak-anak hendak keluar, ia tentu saja tidak mau ketinggalan. Jack dan Philip buru-buru berpakaian. Mereka mengenakan celana pendek, baju hangat dari wol, serta sepatu bersol karet. Sebelum meninggalkan kamar, keduanya memperhatikan Gus yang masih tetap pulas. Mulut anak itu ternganga lebar. Jack dan Philip nyengir, membayangkan keisengan Kiki yang memasukkan rumput ke dalam mulut anak itu, ketika mereka piknik ke bukit. Jack dan Philip menuruni tangga rumah dengan langkah menyelinap. Mereka berhenti sebentar di depan pintu kamar Bill dan istrinya "Tidak terdengar bunyi apa-apa," bisik Jack. "Rupanya mereka tidur nyenyak sekali." Padahal saat itu Bill serta istrinya berbaring dalam keadaan terikat di dekat tumpukan jerami. “Kita keluar lewat pintu belakang," kata Philip berbisik. "Soalnya, pintu depan berderik sedikit kalau dibuka. Kita harus hati-hati, jangan sampai membentur apa-apa dalam perjalanan ke luar." Kiki bertengger di bahu Jack. Burung itu bisa diandalkan. Jika perlu, ia bisa membisu. Dan saat itu ia tahu, Jack dan Philip tidak ingin ketahuan waktu keluar. Kiki mencubiti cuping telinga tuannya. Sementara itu Jack dan Philip berjalan menyelinap-nyelinap menuju pintu belang. Sampai di sana mereka berhenti sebentar. Mereka berunding, jalan mana yang sebaiknya diambil. “Kurasa aku ikut saja dulu denganmu sampai ke hutan," kata Jack. "Kemudian aku — mungkin mampir sebentar di bekas tambang itu untuk mengamat-amati burung hantu berburu tikus di situ." Dengan langkah pelan mereka menuju ke hutan, yang letaknya di sebelah timur Pondok Batu. Mereka bergerak sambil berlindung di balik bayangan pagar semak, supaya tidak ada yang melihat. Philip, yang mengetahui kebiasaan musang, mengajak Jack ke suatu kerumunan semak yang terdapat di atas sebuah lereng. “Dari sini saja kita mengintai," katanya lirih. Kedua anak itu meringkuk di bawah sebuah semak lebat. Tiba-tiba terdengar jeritan burung hantu di dekat mereka. Dengan segera Kiki menirukan suara itu. Bunyinya begitu mirip sampai Jack kaget mendengarnya. "Diam, Kiki!" bisiknya dengan sengit. "Nanti berdatangan burung hantu kemari, mendengar teriakanmu. Nah — itu sudah ada yang muncul!" Seekor burung hantu terbang menyambar dekat sekali ke kepala Jack. Anak itu cepat-cepat menunduk. Kiki juga ikut mengendap. Burung iseng itu ingin berteriak seperti tadi, sekali lagi. Ia memang suka sekali membuat burung-burung lain bingung. Tapi Jack melarang. Kiki membisu, ia agak merajuk. Anak-anak memasang telinga di malam yang sunyi itu. Tiba-tiba Jack menyenggol Philip, untuk memberi isyarat. Seekor binatang bertubuh panjang lewat di depan mereka. "Cerpelai," bisik Philip. "Nah — itu ada lagi yang muncul. Ah, seekor landak!" Landak itu melihat bayangan mereka di tempat gelap. Dengan perasaan ingin tahu, dihampirinya Jack dan Philip. Sedikit pun ia tidak kelihatan takut. Philip mengulurkan tangan ke arah binatang itu, yang kemudian mengendus endusnya dengan penuh minat. Jack mengira, binatang itu pasti akan naik ke atas lutut Philip Belum pernah dilihatnya ada binatang yang takut pada Philip ternyata sedang lapar, ia pergi lagi untuk mencari keong, makanan yang paling disukainya. Tidak lama kemudian muncul binatang lain. Kali ini seekor musang. Philip menahan napas. Musang itu lumayan juga besarnya. Selama beberapa saat ia berdiri tanpa bergerak, diterangi sinar bulan, ia mengendus-endus. Tapi angin berhembus ke arah anak-anak. Jadi musang itu tidak bisa mencium bau mereka. Jack menyikut Philip lagi. ia melihat bayangan beberapa ekor binatang, datang ke arah mereka. "Anak-anak musang," kata Philip dalam hati. ia merasa senang. "Dan itu induk mereka, menyusul di belakang. Wah, aku benar-benar mujur bisa melihat keluarga musang!" Anak-anak musang itu bermain-main dengan asyik. Mereka berlompat-lompatan, berguling-guling seperti bola. Kemudian seekor di antaranya meloncat ke atas punggung saudaranya. Tapi saudaranya itu cepat-cepat berguling, lalu menindih anak musang yang pertama. Anak-anak musang itu kelihatannya sangat menyukai permainan itu. Tapi setelah beberapa waktu, musang-musang yang dewasa mendengus memberi isyarat. Dengan segera anak-anak musang itu berhenti bermain, lalu mengikuti induk mereka masuk ke dalam hutan. "Lucu sekali permainan mereka tadi," bisik Jack sambil tertawa pelan. Kemudian terdengar suara burung hantu berteriak, disambut suara burung hantu yang lain. Kiki mulai tidak tenang. Baginya sulit sekali, harus diam terus selama itu. "Aku pulang sekarang, ah," kata Philip sambil berdiri, ia menguap. "Kalau aku masih duduk terus di sini, nanti aku tahu-tahu sudah ter tidur. Kau ikut, Jack?" "Aku masih ingin melihat-lihat sebentar ke bekas tambang batu," kata Jack. "Aku ingin mengamat-amati kawanan burung hantu di sana. Kecuali itu aku juga ingin memberi kesempatan pada Kiki untuk menirukan jeritan mereka, sebagai hadiah karena mau diam selama ini." Kiki menggumam, mengatakan sesuatu. Jack berdiri, sambil merentangkan tubuh yang terasa kaku. "Kau pulang saja dulu, Philip," katanya, "aku nanti menyusul. Jangan heran jika kau nanti mendengar bunyi burung hantu bersahut-sahutan. Satu di antaranya, pasti suara Kiki." Philip kembali ke Pondok Batu, sementara Jack menuju ke bekas tambang batu. Keduanya saat itu sama sekali tidak menduga, apa yang beberapa saat kemudian akan mereka alami! Bab 12 TERTANGKAP Philip menuju ke pintu belakang Pondok Batu. Maksudnya hendak langsung masuk. Tapi tidak jadi. ia tertegun. Bunyi apa itu? Kedengarannya seperti langkah orang menuju pintu depan. Seperti orang yang berjalan berjingkat-jingkat. Philip merasa tidak enak. Jangan-jangan itu orang yang hendak menculik Gussy. Kalau begitu ia perlu memberi tahu Bill. Bill harus dibangunkan. Philip cepat-cepat masuk lalu bergegas naik ke tingkat atas. Sesampai di ujung atas tangga ia berpaling, karena mendengar bunyi pelan di belakangnya. Bunyi berderik pelan. Bunyi pintu depan yang dibuka dengan hati-hati. Sesaat kemudian nampak sinar terang memancar. Sinar senter! Philip langsung berteriak. "Bill! Bill! Bangun. Bill! Ada orang masuk ke rumah!" Philip berteriak-teriak di depan pintu kamar tidur Dinah dan Lucy-Ann. Dengan segera kedua anak itu terbangun, lalu bergegas keluar. "Astaga! Siapa yang berteriak-teriak itu? Ada apa? Mana Bill?" "Ada orang masuk!" kata Philip dengan gugup. "Cepat bangun, Bill!" ia merasa heran, kenapa Bill belum juga muncul. Tahu-tahu terdengar suara seseorang. "Jangan bergerak!" Sinar senter yang terang menyoroti ketiga anak itu. Philip mendorong Dinah dan Lucy-Ann, sehingga keduanya masuk kembali ke kamar mereka. Setelah itu ia bergegas ke kamar Bill. "Bill! Bill! Bangun!" Philip tertegun. Cahaya bulan menerangi pembaringan yang kosong. Pembaringan itu kelihatan belum ditiduri. Di manakah Bill? Dan di manakah ibunya? Philip bingung. Sementara itu Gus ikut terbangun, ia memandang berkeliling dengan perasaan bingung. Suara siapakah yang ribut-ribut di luar itu? Tiba-tiba dilihatnya Jack dan Philip tidak ada di tempat tidur masing-masing. Gus cepat-cepat meloncat dari pembaringannya. Ia ketakutan. Sementara itu Philip masih berdiri dalam kamar Bill serta ibunya, sambil berteriak memanggil-manggil. Tahu-tahu muncul dua orang di ambang pintu. Salah seorang dari mereka menyorotkan senter ke arah Philip. "Bill Cunningham tidak ada di sini, begitu pula istrinya," kata seorang dari mereka. "Kami kemari untuk menjemput Pangeran Aloysius. ia tidak akan kami apa-apakan. Tapi ia harus ikut dengan kami. ia ditunggu di tanah airnya." "Kalian apakan ibuku?" tanya Philip dengan marah. "Akan kupanggil polisi! Kalian tidak boleh seenaknya saja menculik orang." "Kau takkan bisa mencegah kami," Seorang laki-laki bertubuh tinggi langsing melangkah maju, sehingga sosoknya diterangi sinar bulan. Dengan segera Philip mengenalinya. Itulah laki-laki yang datang bersama Nyonya Tatiosa. Di belakang orang itu muncul beberapa orang lagi. Berapakah jumlah mereka? Saat itu Philip ingin sekali Jack ada di situ, menemaninya, ia sendiri takkan berdaya menghadapi lawan sebanyak itu. Sedang Gus, tidak bisa diharapkan akan mampu berbuat apa-apa. Tiba-tiba salah seorang laki-laki yang berdiri di belakang menyerukan sesuatu dalam bahasa yang tidak dipahami oleh Philip. Orang yang di depan menjawab dengan nada memberi komando. Orang yang pertama berbicara bergegas naik ke ruang loteng. Justru pada saat itu Gus muncul di atas tangga. Dengan segera ia dikenali, karena diterangi sinar bulan. Gus bergegas lari kembali ke kamar. Pintu ditutup cepat-cepat, lalu dikunci dari dalam, ia bersandar ke pintu untuk sesaat. Tubuhnya gemetar. Setelah itu ia lari ke jendela. Bisakah ia lari lewat situ? Tapi Gus bukan anak yang cekatan. Kalau ia Jack atau Philip, ia mungkin akan berusaha untuk turun ke bawah dengan jalan memanjat tanaman menjalar yang tumbuh merayapi dinding di situ. Tapi Gus takut jatuh. "Buka pintu!" seru seseorang dari balik pintu kamar. Gus diam saja. Kemudian dua orang laki-laki bergerak serempak, berusaha mendobrak daun pintu dengan bahu mereka. Dengan sekali dobrak saja, daun pintu langsung pecah. Kedua orang tadi menyerbu masuk ke ruang loteng, lalu mendatangi Gus. Anak itu menjerit minta tolong. Salah seorang dari kedua laki-laki yang masuk membungkuk di depannya. "Kami datang bukan untuk menyakiti Paduka, Yang Mulia. Yang Mulia hendak kami ajak pulang ke Tauri-Hessia, untuk dinobatkan menjadi raja, menggantikan Pamanda. Raja yang lama tidak disukai rakyat. Rakyat ingin Yang Mulia menggantikannya." "Bohong!" seru Gus. "Aku sudah tahu segala-galanya. Pamanku terlalu keras terhadap kalian. Kalian ingin menobatkan anak kecil menjadi raja, agar kalian bisa berbuat seenak hati. Aku tidak mau pulang dengan kalian." Gus berbicara dalam bahasa negerinya. Karenanya anak-anak lain, tidak memahami maksudnya. Philip mendesak maju, lalu mendatangi Gus. "Mau apa kalian?" tukasnya pada kedua laki-laki yang menerobos masuk. "Pemerintah Tauri-Hessia takkan mengizinkan kalian menobatkan Gussy menjadi raja. Kecuali itu, kalian juga akan mengalami kesulitan dengan pemerintah negara ini. Kalian akan dimasukkan ke dalam penjara." Orang-orang yang menerobos masuk itu berembuk sebentar. Mereka pun berbicara dalam bahasa asing yang tidak dikenal oleh Philip maupun Dinah dan Lucy-Ann. Setelah itu laki-laki yang jangkung langsing membungkuk di depan Philip. "Kau harus ikut dengan Pangeran," katanya, "dan anak-anak yang lain juga! Kalian harus menemani pangeran cilik kami. Pemerintah kalian takkan terlalu marah pada kami, jika mengetahui bahwa kalian juga ikut dengan kami!' "Kalian hendak menyeret kami sebagai sandera?" seru Philip, ia sangat marah. "Anda kira dengan begitu kalian akan bisa mendikte pemerintah kami? Belum pernah kudengar gagasan sekonyol itu. Kita tidak lagi hidup dalam Abad Pertengahan, tahu?!" Laki-laki jangkung langsing itu mendengarkan sampai Philip selesai berbicara. Setelah itu ia menggerakkan tangannya, memberi isyarat. Dua kaki tangannya maju dengan cepat. Mereka menyergap Philip dan Gussy, dan mencengkeram mereka sehingga kedua anak itu tidak mungkin lagi bisa meloloskan diri. "Dinah! Lucy-Ann! Cepat, lari!" seru Philip sekuat tenaga, dengan harapan bahwa kedua anak itu akan cepat-cepat lari, lalu menyembunyikan diri di dalam hutan. Kedua anak perempuan itu memang berusaha lari. Tapi di ruang depan, mereka dicegat seorang laki-laki. Dinah dan Lucy-Ann menjerit-jerit, sambil meronta-ronta. Tapi laki-laki yang menangkap mereka kuat sekali, ia mencengkeram mereka, sampai datang seorang kawannya untuk membantu. Laki-laki yang bertubuh tinggi langsing, yang rupanya pemimpin kawanan itu, memberi perintah dengan suara tajam. Seorang anak buahnya pergi ke atas, mengambil pakaian Gus serta kedua anak perempuan. Gus tentu saja masih mengenakan piamanya yang terbuat dari kain sutra. Dinah dan Lucy-Ann mengenakan mantel kamar di luar piama mereka. Tapi mereka tidak memakai alas kaki. Salah seorang lari kawanan penculik disuruh lagi ke atas, untuk mengambilkan sepatu bagi mereka berdua. "Mana Bill?" tanya Lucy-Ann. Suaranya gemetar. "Kalian apakan dia? Dan mana Bibi Allie?" "Kau tidak perlu takut." Laki-laki jangkung langsing, yang memakai kaca mata dengan satu lensa saja, mengelus-elus rambut Lucy-Ann untuk menenangkannya. "Kalian takkan diapa-apakan. Pangeran Aloysius pasti akan senang, kalau teman-temannya ikut bersamanya ke Tauri-Hessia. Kalian pasti akan merasa senang di sana." Tiba-tiba Lucy-Ann menyadari bahwa Jack tidak ada di situ. Ia mencari-cari dengan perasaan panik. "Mana Jack?" "Ah ya — betul juga, masih ada satu anak laki-laki lagi. Sekarang aku baru ingat," kata pemimpin kawanan itu. "Ke mana dia?" "Ke hutan, untuk mengamat-amati burung," kata Philip dengan sebal. Mudah-mudahan saja Jack mendengar suara ribut-ribut tadi, lalu cepat-cepat mencari pertolongan sebelum mereka dibawa pergi. Kini Philip tidak lagi berusaha membebaskan diri, karena takkan ada gunanya. Kecuali itu ia harus menemani Dinah dan Lucy-Ann, untuk melindungi mereka sebisa-bisanya. "Mengamat-amati burung? Malam-malam begini?" seru orang yang merupakan pemimpin kawanan itu. "Aneh-aneh saja kebiasaan orang Inggris! — Tapi kita tidak perlu menunggu anak yang bernama Jack itu muncul Kita tidak memerlukan dia." Kawanan penculik mendorong-dorong keempat anak itu keluar lewat pintu depan, tanpa sejenak pun melepaskan mereka. "Takkan ada gunanya berteriak minta tolong," kata pemimpin kawanan itu. "Tidak ada yang bisa mendengar suara kalian di sini. Tapi walau begitu mulut kalian akan kami sumbat, untuk mencegah kemungkinan kalian berteriak." "Apa yang bisa kita lakukan, Philip?" tanya Dinah. Muka anak itu merah padam, karena marah. "Tidak ada — kecuali berharap." Dinah langsung memahami maksud abangnya. Mungkin saat itu Jack sudah ada di tengah jalan, dengan bala bantuan! Lucy-Ann berjalan tersaruk-saruk. Ia cemas memikirkan nasib Bill serta Bibi Allie. Apalagi memikirkan Jack! Apakah ia akan diangkut ke Tauri-Hessia, dan berpisah untuk waktu lama dari abangnya itu? Ke mana Jack? Saat itu Jack masih ada di bekas tambang batu, bersama Kiki. Di tempat itu banyak sekali burung hantu. Kiki merasa senang di tempat itu, karena bisa berteriak-teriak sepuas hati, menirukan suara burung hantu. Seekor di antaranya tertarik mendengar panggilan 'burung kakaktua' itu. ia terbang menukik ke arah Jack, berteriak dengan suara nyaring dekat telinga anak itu, sedang sayapnya nyaris saja mengenai kepala. Jack terkejut. Coba jika mukanya tadi dicakar oleh burung itu! ia memutuskan untuk bersembunyi di dalam semak. Di situ ia pasti lebih terlindung. Jack pergi ke seberang tempat itu, menuju ke pagar semak yang terdapat di situ. Ketika sudah dekat, tahu-tahu dilihatnya suatu benda berkilat di bawah semak, ia berhenti. Benda apakah itu? Ia melangkah maju dengan hati-hati. Kemudian dilihatnya bahwa benda yang nampak tadi besar dan berwarna hitam mengkilat. Sinar bulan terpantul pada permukaannya. "Astaga! Itu kan mobil," kata Jack pada diri sendiri, ia sangat heran. "Persis seperti mobil yang dipakai pasangan yang datang ke tempat Bu Ellis. Kurasa memang mobil itu. Kenapa ada di sini?" Jack menghampiri kendaraan itu, lalu memandang ke dalam. Tidak ada siapa-siapa di situ. Kunci kontaknya tidak ada. Dengan begitu orang lain tidak mungkin bisa membawanya pergi. "Jangan-jangan sengaja diparkir pemiliknya di sini, sementara ia pergi mengintai ke Pondok Batu," kata Jack dalam hati. Kini ia pergi ke bagian belakang, lalu membuka tutup bagasinya yang besar. Di situ juga tidak ada apa-apa, kecuali ban serap serta beberapa peralatan mobil. Tiba-tiba Kiki menjerit, menirukan suara burung hantu. Teriakannya dijawab burung hantu yang asli. "Diam, Kiki!" kata Jack. "Kita harus menyelidiki, apa sebabnya mobil ini ditaruh di sini. Aku akan menyelinap ke Pondok Batu, untuk melihat apakah ada orang berkeliaran di dekat-dekat situ." Tapi tahu-tahu ia mendengar langkah orang datang, ia pun cepat-cepat bersembunyi ke dalam semak. Ternyata tidak cuma satu orang saja yang datang. Jack mengintip dari dalam semak. Alangkah kagetnya anak itu ketika melihat bahwa yang datang itu Dinah, Lucy-Ann, Philip, dan Gus. Mereka digiring oleh empat orang laki-laki. Jack hanya bisa memandang dengan bingung. Apakah yang terjadi tadi? Kiki menjerit. Bukan menirukan suara burung hantu, tapi dengan suaranya sendiri. Philip langsung mengenali suaranya. Itu Kiki, katanya dalam hati. Kalau begitu, Jack pasti tidak jauh dari situ! Philip berteriak sekuat-kuatnya. "Kami diculik, dan akan dibawa pergi! Katakan pada Bill!" Detik berikutnya ia didorong oleh orang yang menggiringnya. "Diam!" sergah orang itu. "Percuma saja kau berteriak di sini, karena takkan ada yang bisa mendengar!" Tapi Jack mendengar seruan Philip. Bab 13 PENUMPANG GELAP Jack hanya bisa memandang dengan mata terbelalak, sementara keempat anak lainnya dipaksa masuk ke dalam mobil. Philip dan Dinah ditempatkan di belakang bersama tiga orang laki-laki. Sedang Gussy dan Lucy-Ann di depan, di samping pengemudi. Kendaraan itu penuh sesak, sehingga pasti akan menarik perhatian di tengah jalan. Mudah-mudahan saja polisi yang melihat akan merasa curiga, lalu menahannya. Demikianlah pikiran Jack saat itu. Tapi kemungkinannya para penjahat takkan mau mengambil risiko itu. Jadi perjalanan yang akan ditempuh takkan begitu jauh. Sebelum pagi, mereka mungkin akan sudah tiba di tempat tujuan. Mungkinkah anak-anak akan mereka bawa ke tempat persembunyian yang letaknya tidak begitu jauh? Apa sebabnya Philip dan kedua anak perempuan ikut dibawa? Bukankah hanya Gussy yang mereka incar? Mesin mobil dihidupkan. Tiba-tiba Jack mendapat akal. Sambil merunduk-runduk, dihampirinya kendaraan itu. ia tadi tidak punya waktu lagi untuk menutup tempat bagasi dengan rapi. Mungkin ia sekarang bisa menyelundup masuk ke tempat itu. Ruangan di dalamnya cukup lapang. Mobil mulai bergerak dengan lambat, terangguk-angguk di atas tanah yang tidak rata. Tanpa berpikir panjang lagi, Jack melompat. Disentakkannya tutup tempat bagasi sehingga terbuka, lalu ia menyusup ke dalamnya. Gerakan yang dilakukan secara mengejut itu membuat Kiki kaget. Burung kakaktua itu terbang dari bahu Jack. Anak itu memandang Kiki dengan cemas. Tapi ia tidak berani memanggil. Kiki melihat bahwa Jack masuk ke tempat bagasi mobil. Burung itu terbang kembali kepadanya, ia hinggap di bahu Jack lagi, lalu berbisik-bisik dalam bahasa kakaktua. Rupanya ia mengatakan bahwa walau tingkah laku Jack dianggapnya aneh, namun ke mana tuannya itu pergi ia pasti ikut. Jack merasa lega, ketika Kiki sudah kembali padanya. Pikirannya haru-biru. Ke manakah Bill dan Bibi Allie? Kenapa para penjahat sampai bisa menerobos masuk ke Pondok Batu, lalu menculik anak-anak? Jangan-jangan Bill mereka pukul roboh, dan dibiarkan tergeletak di dalam rumah! Aduh, mungkin lebih baik jika ia tadi pergi memeriksa ke sana, dan bukan menyelundup masuk ke dalam bagasi mobil. Sementara itu mobil sudah meluncur dengan laju di malam terang bulan itu. Setelah beberapa waktu, berhenti lagi di depan sebuah rumah kecil. Salah seorang penculik turun, ia pindah ke mobil lain yang diparkir di depan rumah itu. Mobil yang kedua kemudian berjalan mendului, rupanya sebagai penunjuk jalan. Jack mengucap syukur, bahwa mobil itu tidak mengambil posisi sebelah belakang. Coba itu yang terjadi, pasti lampunya akan menyoroti dirinya. Jack berpikir-pikir. Bagaimana jika tutup tempat bagasi ditutup saja. Tapi pikirannya itu dibatalkan, karena ia khawatir kalau nanti tidak bisa membukanya lagi. ia harus melihat, ke mana anak-anak dibawa. Setelah itu ia akan memberi tahu polisi, agar mereka mengepung para penjahat dan membebaskan anak-anak. Mudah-mudahan saja ia tidak ketahuan sebelumnya! Sejam kemudian mobil berhenti lagi. Terdengar suara beberapa orang bercakap-cakap. Nampak sinar lentera yang saat itu dinyalakan. Sebuah gerbang dibuka. "Nah! Kita sudah sampai rupanya — walau entah di mana," kata Jack dalam hati. "Bagaimana — apakah aku sebaiknya keluar saja sekarang, sementara mobil belum berjalan lagi? — Sialan, terlambat! Mereka melanjutkan perjalanan." Mobil bergerak lagi. Jack terombang-ambing di tempat persembunyiannya. Rupanya kendaraan itu sedang melewati jalan yang tidak rata. Atau mungkin juga melintasi lapangan. Kemudian terdengar bunyi aneh. Bunyi itu sangat nyaring, dan datangnya dari arah depan. Jack kaget mendengarnya. Kiki menjerit. Untung saja tidak mungkin terdengar oleh orang lain, karena dikalahkan bunyi menderu yang datang dari arah depan. "Itu bunyi pesawat terbang!" kata Jack pada dirinya sendiri. "Itulah rupanya rencana mereka. Anak-anak hendak diangkut langsung ke Tauri-Hessia! Di sana Gussy akan disembunyikan, sampai tiba saatnya untuk beraksi. Sedang Philip, Dinah, dan juga Lucy-Ann, akan ikut diangkut pula ke sana. Takkan ada yang tahu ke mana mereka dibawa pergi." Mobil berhenti dengan tiba-tiba. Jack bergegas keluar dari tempat bagasi, lalu lari menyembunyikan diri di balik bayangan sebuah truk yang ada di dekat situ. ia mengintai dari tempat persembunyiannya. Ia melihat sebuah pesawat terbang tidak jauh dari tempatnya bersembunyi. Mesin pesawat itu sudah dihidupkan. Lampu-lampunya belum dinyalakan. Tapi di sekelilingnya nampak beberapa orang yang membawa lampu. Pesawat itu kelihatannya sudah siap untuk berangkat. Jack tidak tahu, di mana ia saat itu berada. Mungkin di suatu lapangan terbang milik pribadi, ia melihat semua penumpang mobil hitam besar itu turun, satu demi satu. Ia merasa seperti mendengar suara Lucy-Ann menangis. Jack merasa kasihan pada adiknya. Lucy-Ann tidak segigih Dinah wataknya. Akan ada di manakah adiknya itu besok? Semua bergegas menuju ke pesawat terbang. Jack buru-buru meninggalkan tempat persembunyiannya, ia baru saja mendapat akal. Akan bisakah ia menyembunyikan diri dalam pesawat itu? Tadi ia menyelundup masuk ke dalam mobil, tanpa ketahuan. Di manakah tempat persembunyian yang paling aman dalam pesawat terbang? Dibayangkannya pesawat-pesawat yang pernah ditumpanginya. Ruang bagasi merupakan satu-satunya tempat yang paling aman untuk bersembunyi. Tapi para penculik itu kemungkinannya takkan banyak membawa bagasi. Kalau begitu, ia harus memberanikan diri menghadapi risiko ketahuan. Jika itu terjadi — Yah, setidak-tidaknya ia akan bergabung lagi dengan anak- anak yang lain! "Tapi aku tidak boleh sampai ketahuan!" pikir Jack. "Aku harus berusaha menyelidiki ke mana anak-anak dibawa, agar kemudian dapat memberi tahu Bill." Tanpa disangka-sangka, Jack mendapat bantuan dari Kiki. Burung iseng itu mengenali suara anak-anak, begitu mereka turun dari mobil, ia terbang mendatangi Lucy-Ann, sambil mengoceh. "Cul — si tuyul muncul!" ocehnya sambil terbang. "Hidup Raja! Panggil dokter!" Anak-anak yang sedang digiring menuju ke pesawat terbang kaget mendengar suara Kiki. Mereka berpaling. "Kiki! Kenapa kau tahu-tahu ada di sini?" seru mereka. Para penculik berhenti berjalan. Mereka sedikit pun tidak menduga bahwa suara yang tahu-tahu terdengar itu berasal dari seekor burung kakaktua. Mereka juga tidak melihatnya, karena tempat itu gelap. Mereka mengira ada orang datang menolong anak-anak, setelah selama itu mengikuti dengan diam-diam. Para penculik ribut. Lampu-lampu senter di nyalakan. Kiki ketakutan, lalu cepat-cepat terbang kembali pada Jack. "Bersihkan kakimu!" teriak burung itu. para penculik semakin bingung mendengarnya. Jack lari ke balik truk, karena sementara itu para penculik bergerak menuju ke tempatnya. Kemudian ia melihat peluang baik untuk menyusup masuk ke pesawat terbang. Seluruh perhatian saat itu terarah pada mereka yang mencari-cari dengan bantuan sorotan senter. Tidak ada yang memperhatikan pesawat terbang. Mujur bagi Jack, bahwa saat itu ada awan menutupi bulan. Dalam kegelapan, ia berlari mengendap-endap menuju ke pesawat. Beberapa kali ia tersandung. Mudah-mudahan saja ia sudah sampai, sebelum bulan muncul kembali dari balik awan. Jack bergegas menaiki tangga pesawat. Di dalam tidak ada orang. Jack bergerak sambil meraba- raba menuju ke belakang. Menurut dugaannya, di situlah tempat bagasi. Tangannya menyentuh sesuatu yang keras. Rasanya sebuah peti. Ya pasti di sinilah tempat menaruh barang, ia meraba-raba lagi. Kini terpegang olehnya sisi sebuah kotak. Kotak itu tutupnya bisa dibuka. Jack membukanya. Mudah-mudahan saja kotak ini kosong, harapnya. Tapi ternyata tidak! Kotak itu berisi kain-kain yang empuk. Mungkin pakaian! Dikeluarkannya sebagian besar dari bahan-bahan empuk itu, dan ditaruhnya di salah satu sudut di belakang peti besar. Setelah itu ia bergegas masuk ke dalam kocak, serta mengembalikan tutupnya ke tempat semula. Kiki yang selama itu ikut terus, sedikit pun tidak berbunyi. Rupanya burung itu heran, dan juga bingung. Beberapa saat kemudian terdengar suara bercakap-cakap, serta langkah orang-orang menaiki tangga pesawat. Jack mendengar suara berseru-seru, serta bunyi pintu pesawat ditutup. Baling- baling pesawat berputar semakin kencang. Tubuh pesawat terguncang-guncang. Pesawat itu mulai bergerak dengan lambat. Jack terantuk-antuk di dalam kotak. Tahu-tahu ia tidak merasakan guncangan lagi. "Pesawat sudah tinggal landas," kata Jack dalam hati. "Anak-anak tidak tahu bahwa aku ada di sini, bersama mereka. Akan bisakah aku sampai di tempat tujuan, tanpa ketahuan? Mudah-mudahan! Jika aku bisa mengetahui ke mana mereka akan disembunyikan, selanjutnya merupakan urusan gampang." Tempat persembunyiannya tidak bisa dibilang nyaman. Untung tidak semua bahan empuk tadi dikeluarkan olehnya. Dengan begitu ia bisa duduk beralaskan bahan yang tidak keras. Selama beberapa waktu Kiki mengomel-ngomel. Rupanya ia merasa sebal, karena terkurung di dalam tempat sesempit itu. Tahu-tahu burung konyol itu bersin. Bersinnya keras sekali — setidak-tidaknya menurut perasaan Jack. Anak itu mendekam tegang, ia cemas sekali. Sesaat lagi pasti akan ada yang datang memeriksa ke ruang bagasi. Tapi kekhawatirannya tidak menjadi kenyataan. Bunyi mesin pesawat sangat bising, mengalahkan suara bersin Kiki tadi. Burung itu memang benar-benar bersin. Kiki sendiri juga kaget. Keempat anak yang ditempatkan di bagian depan pesawat bercakap-cakap dengan suara lirih, sehingga tidak bisa didengar orang-orang yang menculik mereka. "Suara Kiki-kah yang kita dengar di lapangan tadi?" kata Lucy-Ann. "Mestinya begitu, karena dengan jelas kudengar ucapan. 'Cul—si tuyul muncul!'" "Ya, aku juga mendengarnya," kata Philip. “Siapa tahu, mungkin saja Jack berhasil menyusup ke tempat bagasi mobil kita. ia berada di bekas tambang batu ketika kita disergap para penculik. Mungkin ia melihat ketika kita dipaksa masuk ke dalam mobil, lalu ikut kemari secara sembunyi-sembunyi." "Coba ia ada bersama kita sekarang," desah Lucy-Ann. "Aku ingin tahu, kita ini akan dibawa ke mana? Ke sebuah benteng kuno yang menyeramkan — atau barangkali ke sebuah istana? Kau punya istana, Gus?" "Punya—tapi tidak besar," kata Gussy. “Menurutku, kita takkan diangkut ke sana, karena orang-orang di situ kenal semua padaku. Aku tadi sempat mendengarkan pembicaraan orang-orang yang menculik kita. Mereka hendak menyembunyikan aku dulu, sampai pamanku sudah mereka singkirkan. Mudah-mudahan saja ia tidak mereka bunuh. Pamanku itu orang baik." “Mudah-mudahan saja begitu," kata Philip. Sebab kalau pamanmu sampai terbunuh, kau terpaksa harus menjadi raja sebagai penggantinya, Gussy. Itu pasti tidak menyenangkan. Raja harus selalu bersikap pantas, tidak boleh marah-marah, tidak boleh melakukan tindakan keliru atau bersikap tidak sopan, harus selalu ramah — juga pada orang-orang yang tidak disukai, dan...." "Kenapa bukan ayahmu yang menjadi raja. Gus?" tanya Dinah. "Apa sebabnya kau yang menjadi putra mahkota?" "Ayahku sudah wafat," kata Gussy. "Yang tinggal hanya ibuku saja — sedang di negeriku wanita tidak biasa menduduki tahta kerajaan. Jadi akulah yang akan menggantikan jadi raja, apabila aku sudah besar nanti. Aku senang, akan menjadi raja!" "Itu bisa kubayangkan — kalau kuingat kebiasaanmu menyuruh-nyuruh dan berlagak,” kata Dinah mengejek. "Tapi menurutku, tingkah laku raja yang sejati bukan begitu! — Ah kenapa semuanya ini harus terjadi? Karena kau liburan kami berantakan!" Lucy-Ann berkeluh kesah, ia kedinginan, dan juga mengantuk. "Merapatlah padaku," kata Dinah. Dirangkulnya anak perempuan yang lebih kecil darinya itu. "Tidak aneh jika kau merasa mengantuk karena sekarang kan sudah tengah malam. Sebaiknya kita semua tidur saja sekarang. Dengan begitu waktu takkan terasa terlalu lama." "Pikiranku selalu kembali pada Bill, dan pada Bibi Allie," kata Lucy-Ann. ia merapatkan diri pada Dinah, lalu memejamkan mata. "Aku setiap kali teringat lagi pada...” Philip memandang Dinah sambil tersenyum. "ia sudah tertidur," katanya. Kasihan Lucy-Ann — ia yang tidak menyukai peristiwa-peristiwa menegangkan — selalu saja ikut terseret dalam berbagai petualangan! Sementara itu Jack juga sudah tertidur, di dalam kotak tempat persembunyiannya. Kiki menyusupkan kepalanya ke bawah sayap. Pesawat terbang mengarungi udara dengan kecepatan tetap. Anak-anak tidak melihat ketika pesawat melintasi laut. Permukaannya nampak kemilau keperak-perakan, karena sinar bulan. Mereka juga tidak melihat kota-kota yang dilewati nampak kecil sekali jauh di bawah. Mesin pesawat menderu dengan bunyi yang rata, membuai anak-anak yang tidur lelap. Akhirnya pesawat mulai menurun, lalu berputar-putar mengelilingi sebuah lapangan udara kecil. Saat itu fajar sudah menyingsing. Philip terbangun ketika pesawat mendarat, ia membangunkan Dinah dan Lucy-Ann. Gussy ikut terbangun, ia memandang ke luar. "Kita sudah sampai!" katanya. Terdengar nada bangga dalam suaranya. "Inilah negeriku. Tauri- Hessia!" Bab 14 PENGALAMAN JACK Matahari baru saja terbit ketika pesawat terbang yang mengangkut anak-anak mendarat. Langit kelihatan seperti disepuh emas. Di kejauhan nampak rumah-rumah bercat putih. Jack terbangun. Bunyi mesin sudah tidak terdengar lagi. Tutup kotak dibukanya sedikit Saat itu didengarnya suara Gussy yang mengatakan, "Tauri-Hessia!" "Ah — kita sudah sampai rupanya," kata Jack dalam hati. "Nah — apa lagi yang akan terjadi sekarang?" Keempat anak yang ada di depan digiring ke luar. Di lapangan terbang yang sunyi itu hanya ada beberapa orang. Mereka nampaknya tenaga teknik di situ. Anak-anak didorong masuk ke sebuah mobil besar yang sudah menunggu. Rupanya mereka akan cepat-cepat diangkut ke salah satu tempat yang dirahasiakan. Jack keluar dari dalam peti, lalu menyelinap* ke sebuah jendela, ia mengintip ke luar. ia melihat anak-anak dipaksa masuk ke sebuah mobil besar. Pria yang berkaca mata sebelah menghampiri kendaraan itu. Pengemudinya membukakan pintu untuknya, sambil memberi hormat. Orang yang dihormati itu mengatakan sesuatu dengan nada memerintah. Pengemudi mengulangi perintah itu. "Borken!" Setelah itu ia mengambil tempat di belakang setir. Mobil besar itu langsung bergerak, dengan cepat menuju ke sebuah pintu gerbang yang nampak di kejauhan. "Borken," gumam Jack. "Apakah itu nama salah satu tempat? Atau jangan-jangan Cuma kata 'terima kasih', atau 'salam', dalam bahasa Tauri-Hessia! Yah — pokoknya, mereka sekarang sudah pergi. Kiki, kita berdua saja kini, di negeri asing yang bahasanya tidak kita kenal. Dan di kantungku cuma ada sedikit uang kecil —itu pun uang Inggris? Apakah yang sebaiknya kita lakukan sekarang, Kiki?" "Panggil dokter," kata Kiki, sambil menegakkan jambulnya. "Panggil dokter! Jerangkan air!" Jack tersenyum geli mendengar jawaban itu. Ia memandang lagi lewat jendela. Di luar tidak kelihatan siapa-siapa lagi. Para pekerja teknik di situ rupanya sudah pergi semua ke sebuah bangunan kecil dari kayu, yang terdapat di ujung lapangan. Mungkin mereka sarapan pagi di situ, karena memang sudah waktunya untuk sarapan. Jack merasa lapar. Jack mengintip ke bagian depan pesawat. Di situ pun tidak ada orang lagi. "Kurasa kini sudah waktunya bagi kita untuk pergi dari sini, Kiki," kata Jack. "Kau siap untuk lari? Kurasa tidak mungkin kita meninggalkan tempat ini tanpa ketahuan. Tapi dengan berlari, ada harapan mereka nanti tidak bisa mengejar!" Jack menuruni tangga pesawat, sambil memandang ke kiri dan ke kanan. Kemudian ia lari secepat-cepatnya melintasi lapangan, menuju ke pintu gerbang. Mula-mula belum ada yang melihatnya. Tapi beberapa detik kemudian terdengar suara orang berteriak. Dua orang laki-laki muncul dari dalam bangunan kayu di ujung lapangan. Mereka berteriak, lalu mengejar Jack. Tapi Jack sudah jauh. Kedua orang tadi dengan segera menghentikan pengejaran. Mereka kembali ke bangunan kayu. "Ah — ia paling-paling menyelinap kemari tadi, karena ingin melihat pesawat terbang dari dekat," kata salah seorang dari mereka pada temannya. Setelah keluar lewat pintu gerbang, Jack sampai di jalan raya. Jalan itu lebar, tapi lengang. Tidak nampak siapa-siapa di situ. Jack juga tidak melihat rumah di sekitar situ. Lapangan terbang itu ternyata sangat terpencil letaknya. Jack mulai melangkah menyusur jalan, dengan Kiki yang bertengger di bahunya. Perutnya semakin terasa melilit-lilit, karena kosong. Ia merasa heran, karena belum juga melihat orang. Mobil pun belum ada yang lewat. Kemudian barulah ia sadar bahwa hari masih sangat pagi. Matahari baru saja terbit. Tidak lama sesudah itu dilihatnya seorang pengendara sepeda datang dari arah depan. Jack mengangkat tangannya, sambil berseru untuk meminta agar orang itu mau berhenti sebentar. Pengendara sepeda itu berhenti. "Eglinuta?" kata orang itu dengan nada bertanya. Begitulah kata yang diucapkannya, menurut pendengaran Jack. Orang itu memandang dengan sikap heran ke arah Kiki. "Saya anak Inggris," kata Jack. Ia mengucapkannya dengan jelas, dan lambat-lambat. Di manakah kantor polisi yang paling dekat?" "Eglinuta?" tanya orang itu sekali lagi. "Huta? Huta?" "Tut, tuut," teriak Kiki dengan tiba-tiba. Persis bunyi tuter mobil! Jack tertawa. "Kausangka orang itu membunyikan tuter, Kiki?" katanya. "Kau salah terka — tapi aku pun tidak mengerti, apa makna kata-katanya itu. Ah — coba aku tahu apa kata 'makan' dalam bahasa sini!" "Poukepotopin?" kata pengendara sepeda, sambil menuding Kiki. "Poukepotopin? Ai, ai?" Kemudian orang itu mengeluarkan sebuah buku catatan serta sebatang pensil dari kantungnya, lalu menggambar sesuatu. Jack menunggu dengan perasaan tegang. Setelah selesai menggambar orang tadi merobek halaman itu dan menyerahkannya pada Jack. Orang itu kelihatannya membuat sebuah gambar peta sederhana, yang menampakkan sejumlah jalan. Jack mengenali bentuk sebuah telaga — atau mungkin juga danau — serta atap gereja yang runcing. Di sisi bawah gambar peta itu nampak sesuatu, yang kelihatannya mirip tenda. Orang itu menunjuk-nunjuk tenda itu dengan pensilnya. "Poukepotopin," kata orang itu, dengan suara lantang. Mungkin ia mengira, dengan begitu Jack akan bisa lebih mengerti. Tapi Kiki yang menjawab. "Pingpong, pingpong," oceh burung itu, lalu terkekeh-kekeh. Orang Tauri-Hessia itu memandangnya dengan kagum, ia mengeluarkan sepotong kue dari sebuah kantung, lalu menyuguhkannya pada Kiki. Kiki menerima dengan kaki kanan, sambil berbunyi seperti ayam betina yang hendak bertelur. Jack memandang Kiki yang mendapat permen. Rupanya cara ia melihat menampakkan bahwa ia merasa lapar. Orang Tauri-Hessia itu melihatnya, ia merogoh kantungnya lagi, mengeluarkan roti sandwich yang tebal, berisi daging. Roti itu disodorkannya pada Jack. "Wah — terima kasih," kata Jack. "Terima kasih banyak!" "Cipalikel," jawab si pengendara sepeda. Setelah itu ia melanjutkan perjalanan, setelah melambaikan tangan. Jack juga meneruskan langkah, sambil mengunyah roti. Kiki mencotok sepotong kuenya. Rupanya ia tidak doyan, karena kemudian disodorkan pada Jack. Jack menerima pemberian itu. Sebagai imbalan, ia memberi beberapa butir biji bunga matahari, yang selalu ada di dalam kantungnya, itu termasuk makanan kegemaran Kiki. Jack mempelajari peta sederhana yang dibuatkan pengendara sepeda tadi. Apakah artinya? Kenapa orang tadi menggambarnya? Rupanya ia menduga bahwa Jack pasti hendak mendatangi suatu tempat tertentu. Tapi Jack sama sekali tidak mengetahui suatu tempat tertentu yang ingin didatanginya di Tauri-Hessia — kecuali tempat ke mana anak-anak tadi diangkut. Dan tempat itu mungkin bernama Borken. Tapi mungkin juga bukan. Dalam bahasa setempat, kata itu bisa berarti apa saja. Jack berjalan lagi. Setelah perutnya terisi sandwich, semangatnya timbul kembali, ia berniat akan langsung mendatangi kantor polisi, begitu sudah sampai di daerah pemukiman. Jalan yang dilalui rasanya seperti tidak berujung. Barangkali sengaja dibangun sebagai penghubung ke lapangan terbang. Sejak tadi, ia hanya berjumpa dengan satu orang — yaitu pengendara sepeda tadi. Akhirnya Jack melihat rumah-rumah di kejauhan. "Nah — sampai juga aku di sebuah desa," katanya dalam hati. Tapi setelah dekat, dilihatnya bahwa rumah-rumah itu merupakan bagian dari sebuah kota. "Alangkah baiknya, jika aku bisa menjumpai seseorang yang bisa berbahasa Inggris," pikirnya lagi. "Akan kutanyakan letak kantor polisi padanya. Di situ aku akan mengirim telegram pada Bill, agar ia segera ke mari. Apakah yang dilakukan para penculik terhadapnya? Mungkin mereka memukulnya, sehingga Bill pingsan. Jack memandang berkeliling dengan penuh minat di kota yang dimasukinya. Toko-toko di situ berukuran kecil dan nampak suram. Rumah-rumah dilabur dengan kapur berwarna putih atau merah muda, serta nampak semarak karena penuh dengan berbagai hiasan yang melingkar-lingkar. Kusen-kusen pun diukir. Di ambang jendela berjejer pot-pot bunga yang dilukis berwarna-warni. Penduduk kota itu berpenampilan seperti petani. Mereka mengenakan pakaian yang sederhana tapi meriah. Para wanitanya banyak yang memakai selendang yang diikat menutupi rambut. Sedang kaum prianya memakai celana berpotongan ketat. Ada pula yang memakai semacam sabuk, terbuat dari kain. Rompi mereka dihiasi sulaman yang serba meriah. Anak-anak nampak dekil. Pakaian mereka sembarangan. Begitu melihat Jack muncul, anak-anak itu berlari-lari menghampiri. Mereka rupanya tertarik melihat Kiki. "Pouke, pouke!" seru mereka, sambil menuding-nuding ke arah Kiki. Burung itu senang, karena merasa diperhatikan, ia menggerak-gerakkan jambulnya, sambil menandak-nandak di atas bahu Jack. "Pouke — itu rupanya berarti kakaktua dalam bahasa sini," pikir Jack. ia menyapa anak-anak yang berkerumun. "He — di manakah kantor polisi di sini?" Anak-anak yang diajak bicara tentu saja tidak mengerti. Mereka membuntuti Jack sambil tertawa-tawa. Mereka asyik melihat Kiki, yang memamerkan segala kebolehannya. Seorang anak laki-laki yang masih kecil datang menghampiri. Anak itu membawa senapan-senapanan dari kayu. Mainan itu diarahkannya pada Jack. "Dor! Dor!" serunya, seolah-olah menembak. Kiki jengkel, ia meluruskan tubuhnya, lalu menjerit sekuat-kuatnya. "Dor, dor! Pengpeng! Cul si tuyul muncul! Pouke, pouke!" Anak-anak yang berkerumun terdiam. Semuanya melongo, mendengar Kiki tahu-tahu berbicara. Kiki terkekeh-kekeh. Konyol sekali kedengarannya. Anak-anak tertawa geli. "Bersihkan kaki, buang ingusmu!" jerit Kiki, lalu menirukan bunyi kereta api cepat di dalam terowongan. Anak-anak mundur sedikit. Mereka kaget mendengar bunyi yang ditirukan Kiki. Tapi dengan segera mereka sudah berkerumun lagi sambil berteriak-teriak. "Pouke, pouke!" Kerumunan mereka bertambah besar. Jack merasa kikuk, karena dijadikan tontonan anak anak yang begitu banyak jumlahnya. Sampai di suatu persimpangan jalan, ia dicegat oleh seorang laki-laki. Penampilan orang itu aneh. Ia mengatakan sesuatu pada Jack dengan nada galak, sambil menuding kerumunan anak- anak yang mengelilingi. Tentu saja Jack tidak memahami maksud orang itu. "Saya orang Inggris," kata Jack. "Inggris. Anda bisa bahasa Inggris? Bisa? Tidak?" "Ah — Inglis!" kata orang yang mencegatnya, lalu mengeluarkan buku catatan bersampul hitam. Seketika itu juga Jack mengerti, siapa orang itu. ia seorang polisi. Polisi Tauri-Hessia! "Anda bisa berbahasa Inggris?" tanya Jack sekali lagi. Polisi itu mencerocos dalam bahasanya sendiri, sambil mengulurkan tangan. Buku catatan dipegang dengan tangannya yang satu lagi. Jack tidak mengerti, apa kemauan polisi itu. Ia menggelengkan kepala dengan sikap bingung. Polisi tadi mulai kesal. Ditepuknya buku catatan yang dipegang dengan tangannya yang satu lagi, sambil berteriak. Sekali lagi Jack menggeleng. Kiki menjerit, membalas teriakan polisi itu. "Cul si tuyul muncul, jerangkan air, DOR!" Anak-anak yang berkerumun tertawa. Sementara itu banyak pula orang dewasa yang ikut mengerubung. Tiba-tiba salah seorang dari mereka mengeluarkan selembar kartu dekil yang dilipat dua dari kantungnya. Ditunjukkannya kartu itu pada Jack. Rupanya ia menunjukkan, apa sebetulnya yang diminta oleh polisi itu. Kartu yang diperlihatkan itu kelihatannya merupakan semacam paspor. Atau mungkin juga kartu tanda penduduk. Lagi-lagi Jack menggeleng. Soalnya, ia tidak membawa surat keterangan apa pun juga yang menyatakan siapa dirinya. Anak-anak tertawa riuh, karena Kiki ikut menggeleng-geleng. Polisi tadi menutup buku catatan dengan gerakan ketus. Dijamahnya bahu Jack sambil mengucapkan sesuatu dalam bahasa setempat. Jack didorongnya maju, menduluinya. "Mau dibawa ke mana aku sekarang?" pikir Jack. "Aneh sekali penampilan polisi ini! Bercelana biru, kemeja merah, dengan sabuk kain berwarna biru, serta topi helm yang mirip pot bunga! Kocak!" Tapi kegelian Jack langsung lenyap, ketika menyadari ke mana ia digiring oleh polisi itu. Tidak ada keraguan lagi, mereka menuju ke kantor polisi. Kantor itu berupa sebuah bangunan kecil persegi empat yang dilabur dengan kapur putih. Di dalam bangunan itu ada beberapa orang polisi lagi, berpakaian seperti polisi yang menahan Jack. "He — Anda tidak berhak memasukkan saya ke dalam penjara!" seru Jack, sambil berusaha membebaskan diri. "Saya kan tidak berbuat apa-apa. Lepaskan saya!" Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 15 MANFAAT PETA Jack didorong masuk ke dalam sebuah ruangan sempit berbentuk persegi empat. Di situ ada sebuah bangku, yang diletakkan menempel ke dinding, ia disuruh duduk, sementara polisi yang menahannya pergi melapor pada atasannya, yang duduk menghadapi meja besar. Polisi itu berbicara cepat sekali. Jack hanya bisa melongo, karena sama sekali tidak mengerti. Kiki yang bertengger di bahu tuannya, mengoceh terus, ia menirukan cara polisi itu melapor. Polisi-polisi yang lain memandangnya dengan kagum. Jack memandang ke arah pintu. Tidak ada polisi yang berdiri menghalang-halangi di situ. Jack berpikir-pikir. Bagaimana jika mencoba minggat? Ia khawatir, jika ia menunggu terus di kantor polisi, jangan-jangan nanti ditahan selama berminggu-minggu. Mungkin ia dikira pengemis. Atau mungkin juga gelandangan. Mungkin di negeri itu merupakan pelanggaran berat, jika tidak membawa kartu tanda pengenal. Jack menunggu sampai tidak ada yang memperhatikan dirinya. Begitu peluang itu datang, ia pun langsung memanfaatkannya, ia lari ke pintu, dan langsung menuju ke jalan! Polisi tidak sempat menahannya. Jack mendengar suara mereka berteriak-teriak di belakangnya. Tapi ia tidak menoleh, ia lari terus sekuat tenaga, membelok di suatu sudut jalan, masuk ke sebuah gang sempit, dan akhirnya sampai di sebuah pintu besar. Tanpa berpikir lagi, Jack masuk — lalu memandang berkeliling. Tidak ada siapa-siapa di situ. Tahu-tahu terdengar bunyi jeritan parau. Jack menoleh dengan cepat. Dilihatnya seekor burung kakaktua dalam sebuah kandang. Kiki terbang menghampiri kandang itu, lalu hinggap diatasnya, ia menundukkan kepala, memandang ke dalam. Ada burung kakaktua di situ. Asyik! "Halo-halo-halo!" oceh Kiki. "Selamat pagi selamat malam! Cul si tuyul muncul!" Kakaktua yang di dalam kandang menjerit lagi. Bunyinya seperti agak takut-takut. Kemudian terdengar bunyi langkah orang datang. Sebelum Jack sempat menyembunyikan diri, ia sudah disapa oleh seseorang. Orang itu bersuara lembut, dan juga ramah. Jack melihat seorang anak perempuan, berumur sekitar dua belasan. Anak itu mengenakan pakaian indah, terbuat dari kain sutra berwarna meriah. Rambutnya yang hitam dan panjang dikepang, ditelusuri pita-pita berwarna cerah. Anak perempuan itu memandang Jack dengan heran. "Eglinuta?" tanya gadis cilik itu. "Huta?" Jack ingin sekali mengetahui arti kata yang terakhir itu. "Huta!" Apakah arti kata itu? Jack bingung, tidak tahu bagaimana ia harus menjawab. Kemudian ia menunjuk ke arah kedua burung kakaktua, sambil tersenyum riang. "Pouke, pouke!" katanya. Anak perempuan itu ikut memandang, lalu tertawa. Setelah itu ia berbicara lagi. Kali ini dalam bahasa Inggris, yang diucapkan lambat-lambat. "Kau — mau — mana?" tanya gadis cilik itu. "Kau — Inggris — ya?" Jack mengangguk dengan bersemangat. Dikeluarkannya peta yang dibuatkan pengendara sepeda untuknya, lalu ditunjukkannya pada gadis cilik itu. Padahal Jack sama sekali tidak tahu, apa sebetulnya yang tergambar pada peta itu. Gadis cilik itu mengamat-amati gambar peta sederhana itu, lalu mengangguk. "Ikut — aku," katanya, mengajak Jack ke pintu. “Di sini ada orang yang bisa berbicara bahasa Inggris dengan baik?" tanya Jack penuh harap, ia mengulangi pertanyaan itu beberapa kali. Tapi yang ditanya tetap saja belum mengerti. Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil-manggil di dalam rumah. Jack didorong oleh gadis cilik itu ke luar, yang melakukannya sambil menuding ke sebuah gang sempit, dan setelah itu ke kanan. Jack mengucapkan terima kasih, lalu pergi setelah memanggil Kiki. Ia lari memasuki gang sempit yang ditunjukkan. Sampai di ujungnya ia membelok ke kanan. Kini ia melewati sebuah jalan berdebu, yang diapit tembok tinggi. Sesampainya di ujung jalan itu, Jack berhenti. Dikeluarkannya gambar peta, lalu diamat-amati sebentar. Pengendara sepeda tadi pasti membuatnya dengan pertimbangan tertentu. Kalau begitu, tidak ada salahnya jika petunjuk yang tergambar di situ diikuti. Siapa tahu, mungkin ada gunanya! Di depannya terbentang semacam lapangan. Tapi lapangan itu gersang dan berdebu. Tiga ekor ayam yang kurus-kurus berkeliaran di situ, mengais-ngais tanah mencari makan. Pada satu sisi lapangan itu ada telaga besar, berbentuk bundar. Banyak anak-anak berenang-renang di dalamnya. Jack memperhatikan petanya lagi. "Ah — itu pasti telaga yang ini!" katanya. "Kalau begitu arahku sudah benar. Dan petunjuk berikutnya, kurasa gambar menara gereja ini!" Jack meneruskan langkah. Selama beberapa waktu ia berjalan, tanpa melihat sesuatu yang bentuknya seperti menara sebuah gereja. Akhirnya ia menghampiri seorang wanita tua yang kelihatannya ramah. Ditunjukkannya petanya pada wanita itu, sambil menuding gambar yang mestinya merupakan menara gereja. Wanita tua itu langsung mengangguk, tanda mengerti, ia memegang lengan Jack, lalu menuding ke seberang lapangan. Di situ ada jalan setapak. Jalan itu menuju ke sebuah bukit. Dan di atas bukit itu ada sebuah bangunan, dengan menara besar. Jack tidak bisa menebak, bangunan apa itu. Barangkali gereja! Setelah mengucapkan terima kasih, Jack melintasi lapangan, menyusur jalan setapak menuju menara yang nampak di atas bukit. Sampai di atas, dipelajarinya lagi petanya. Di situ nampak bahwa dari menara ada jalan berkelok-kelok, menuju sesuatu yang kelihatannya berbentuk tenda. Jack memandang berkeliling. Ya, itu dia jalan yang berkelok-kelok. Jalan itu menuruni bukit, tapi dengan arah berlawanan dari arah datangnya tadi. Lalu apakah benda yang bentuknya seperti tenda? Seorang laki-laki tua duduk tertidur di sebuah bangku. Jack menghampirinya, lalu duduk di samping orang itu. Laki-laki tua itu membuka sebelah matanya. Tapi begitu melihat Kiki, seketika itu juga kedua matanya terbuka lebar! Dengan segera Jack menyodorkan petanya ke depan laki-laki tua itu, sambil menuding-nuding gambar sesuatu yang bentuknya seperti tenda, ia berusaha menjelaskan pada laki-laki tua itu bahwa ia hendak pergi ke tempat itu. "Percuma saja kutanyakan," kata Jack dalam hati. Tapi sementara itu laki-laki tua tadi berdiri, lalu berjalan tertatih-tatih beberapa langkah, menuruni bukit. Kemudian ia menunjuk dengan tongkatnya. "Surkus," katanya. "Surkus ki taiar!" "Surkus," kata Jack, sambil memandang ke arah yang ditunjuk. Kemudian matanya membesar. Sekarang barulah ia mengerti, apa makna tenda yang digambar oleh pengendara sepeda tadi! Di bawah, di suatu lapangan luas, terhampar tenda-tenda, serta karavan-karavan tempat tinggal. "Surkus! Ya, tentu saja — itu bahasa sini, dan artinya 'sirkus'," kata Jack dalam hati. "Yang nampak di bawah itu sirkus! Aku disuruh ke sana oleh pengendara sepeda tadi, karena ia mengira aku termasuk rombongan mereka! Soalnya, aku membawa burung kakaktua yang bisa bicara. Wah — berhasil juga aku memecahkan teka-teki ini!" Ia mengucapkan terima kasih pada laki-laki tua itu, lalu meneruskan langkah, mungkin ada baiknya, jika ia pergi ke sirkus itu. Mungkin di sana ada orang yang bisa berbahasa Inggris. Orang sirkus, biasanya menguasai berbagai bahasa, karena sering mendatangi bermacam-macam negara. Di samping itu mereka biasanya ramah-ramah. Mungkin di samping memperoleh bantuan, ia juga akan diberi makan di situ. Sementara itu perutnya sudah terasa lapar lagi. Ia menuruni jalan yang berkelok-kelok menuju ke lapangan tempat sirkus. Sekitar setengah jam kemudian barulah ia sampai di tempat itu. Dilihatnya orang-orang di situ sibuk berkemas-kemas, seolah-olah hendak pergi. Tenda-tenda dibongkar, kuda-kuda dimasukkan ke dalam berbagai gerobak besar. Ramai sekali suasana di lapangan itu. Orang berteriak-teriak sambil bekerja. Jack memperhatikan kesibukan itu sambil tersandar ke pagar. Seorang anak laki-laki lewat di dekatnya, membawa beberapa buah kotak yang nampaknya sangat berat. Tiba-tiba anak itu tersandung. Kotak-kotak yang dibacanya berjatuhan ke tanah. Dengan cepat Jack meloncat ke seberang pagar, untuk menolong. Anak laki-laki itu kelihatannya sebaya dengan Jack. Kulitnya coklat, dan bola matanya berwarna hitam. Sambil nyengir, anak itu mengatakan sesuatu pada Jack. Melihat Jack tidak mengerti, ia mengatakannya lagi, dalam bahasa lain. Tapi Jack masih tetap tidak mengerti. "Mercibeaucoup," kata anak itu untuk ketiga Kalinya, kini dalam bahasa Prancis. Saat itu barulah Jack mengerti. "Ce n'est rien," balas Jack. Anak berkulit coklat itu memandang Kiki, lalu berbicara lagi dalam bahasa Prancis, ia ingin tahu apakah Jack juga orang sirkus, dan apakah ia datang untuk melamar pekerjaan. Jack menjawab sebisa-bisanya, karena ia belum begitu lancar berbahasa Prancis. "Aku ingin bekerja," katanya. "Tapi aku lebih ingin makan!" "Kalau begitu ikutlah," ajak anak itu dalam bahasa Prancis. Jack mengikutinya, pergi ke sebuah karavan. Dilihatnya ada seorang wanita duduk di situ. Wanita itu sedang mengupas kentang. "Bu!" kata anak itu, dalam bahasa Inggris. "Ini ada anak yang kelaparan. Kita punya makanan untuknya?" Jack melongo. Eh — tahu-tahu anak itu berbahasa Inggris! "He," katanya, "kenapa kau tadi tidak berbahasa Inggris? Aku ini anak Inggris!" "Ayahku orang Inggris," kata anak laki-laki itu sambil tertawa lebar. "Tapi ibuku dari Spanyol. Kami memang biasa berbicara campur aduk. Kami menguasai bermacam-macam bahasa, yang kami peroleh dalam pengembaraan kami ke mana-mana. Bu, berilah anak ini makan. Bisakah ia bekerja pada kita? Kau sebenarnya mau ke mana?" tanyanya pada Jack. "Anu — adakah di sini kota atau desa, yang bernama Borken?" tanya Jack dengan cepat. "Borken? Kami sekarang ini hendak berangkat ke sana," kata anak itu. Jack menarik napas lega, sementara teman barunya itu menambahkan. "Kotanya besar, dan di luar kota itu ada Puri Borken. Letaknya di atas sebuah bukit.” Puri? Mungkinkah anak-anak diangkut ke situ? Sekali ini ia bernasib mujur, setelah beberapa kali mengalami kesialan. Sudah jelas ia mau ikut dengan rombongan sirkus keliling itu, jika mereka mau menerimanya. Ibu kenalan baru Jack memberinya makan. Rasanya pedas dan berlemak. Tapi Jack makan dengan lahap. Kemudian wanita itu mengatakan sesuatu dalam bahasa Spanyol. Kenalan barunya mengangguk. "Kau harus kubawa menghadap Bos," katanya. "Kau punya surat pengantar? Ada orang yang bisa memberi jaminan tentang dirimu? Soalnya, jika kau ini anak yang minggat, Bos akan melaporkan dirimu pada polisi." "Aku tidak kenal siapa-siapa di sini, yang bisa menjamin diriku," kata Jack dengan cemas. “Aku hanya ingin pergi ke Borken. Di sana aku punya kawan." "Kalau begitu, kawanmu itu mungkin bisa dijadikan jaminan," kata anak itu. "Namaku Pedro. Siapa namamu?" "Jack," kata Jack. Diikutinya Pedro, yang mengajaknya ke sebuah karavan yang besar. Pedro mengetuk pintu. Dari dalam terdengar seseorang menjawab dengan suara berat. Kedua anak itu melangkah masuk. Jack melihat seorang laki-laki bertubuh gendut sekali. Orang tu duduk di kursi besar. Matanya biru jernih. Rambutnya yang ikal sudah beruban, sedang jenggotnya panjang, sampai ke perut. Penampilannya agak menakutkan. "Kau saja yang bicara untukku, Pedro," kata Jack. "Aku takut nanti tidak mengerti apa yang dikatakannya — kecuali jika ia berbahasa Inggris." "Aku bicara Inggris," kata laki-laki gendut itu dengan suarannya yang berat. "Anak Inggris baik- baik. Kau dari mana?" "Tidak dari mana-mana," kata Jack dengan agak kikuk. "Aku cuma berkeliaran saja tanpa tujuan, sejak aku tiba di sini. Tapi aku berharap akan bisa berjumpa dengan kawan-kawanku, di Borken." Laki-laki gendut itu menanyakan sesuatu pada Pedro, dalam bahasa yang tidak dikenal oleh Jack. Pedro menerjemahkan pertanyaan itu. "ia ingin tahu, pernahkah kau berurusan dengan polisi?" Wah, gawat kalau begini, kata Jack dalam hati. Pernahkah ia berurusan dengan polisi Tauri- Hessia? Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Jack menggeleng. Pedro melanjutkan terjemahannya. "ia juga ingin tahu, kau bisa apa? Kau nampaknya sudah biasa dengan kehidupan sirkus, karena kau membawa burung kakaktua yang bisa bicara. Katanya, nanti pada persinggahan-persinggahan kita dalam perjalanan ke Borken, kau bisa mengadakan pertunjukan dengan burung kakaktuamu itu. Katanya, kau harus menyuruh burungmu bicara sekarang." Jack mengelus-elus tengkuk Kiki. "Ayo bicara, Kiki," katanya. "Pamerkan kepintaranmu." Kiki tidak perlu disuruh dua kali. Burung itu menegakkan jambulnya, lalu mulai menyanyi dengan suara serak dan lantang. Tapi kata-katanya campur aduk. Pedro terpingkal-pingkal, ketika Kiki mengakhiri nyanyiannya dengan tiruan suara orang tercekik karena salah telan. Kiki pun ikut terkekeh-kekeh, lalu menirukan bunyi kereta api cepat di dalam terowongan. Orang-orang berdatangan mendengar suaranya. Laki-laki tua yang gendut itu tertawa. Perutnya terguncang-guncang. "Bagus, bagus sekali," katanya sambil tertawa terus. "Ya, kau boleh ikut dengan kami, Nak." "Kakaktuamu itu hebat," kata Pedro, waktu mereka kembali ke karavan orang tua anak itu. "Maukah kau tidur dengan aku di karavanku? Itu dia — yang kecil, di belakang karavan Ibu. Tapi tentu saja kita terpaksa bersesak-sesak sedikit." Itu bukan masalah bagi Jack. Pokoknya, ia bisa ikut ke Borken. Apakah ia nanti akan bisa menemukan anak-anak di Puri Borken? Mudah-mudahan saja — dan setelah itu ia akan cepat- cepat memberi tahu Bill. Bab 16, IKUT DENGAN SIRKUS Jack segera bersahabat dan senang sekali bergaul dengan Pedro. Kelakuan anak itu memang agak kasar, seperti biasanya orang sirkus, tapi ia juga perasa, ia langsung merasa bahwa Jack tidak suka berbicara tentang dirinya sendiri, atau tentang alasan kenapa ia berkeliaran seorang diri di Tauri-Hessia. Jack mengucap syukur, bahwa Pedro tidak banyak bertanya-tanya. Soalnya, ia tidak berani berterus terang pada anak itu. Tapi ia juga tidak ingin membohonginya. Nanti kalau sudah sampai di Borken, dan ia sudah lebih mengenal Pedro, mungkin akan diceritakannya rahasianya pada anak itu. Bukan itu saja — barangkali ia pun akan meminta bantuan Pedro. Malam itu juga rombongan sirkus berangkat. Gerobak-gerobak besar bergerak beriringan keluar dari lapangan, menuju ke jalan besar. Jalan yang dilalui tidak rata. Gerobak-gerobak terombang- ambing. Beberapa di antara gerobak-gerobak itu berisi binatang. Jack memperhatikan gerobak- gerobak itu dengan perasaan waswas. Bagaimana jika salah satu di antaranya terguling? Akan minggatkah binatang-binatang yang terkurung di dalamnya? Dengan cepat Kiki sudah menjadi kesayangan orang-orang sirkus itu. Di antara mereka banyak yang bisa berbahasa Inggris. Biarpun patah-patah, tapi setidak-tidaknya bisa ditangkap maksud mereka. Mereka selalu terpingkal-pingkal melihat Kiki beraksi. Ada-ada saja makanan yang diberikan padanya. Dan ketika orang-orang itu tahu bahwa Kiki gemar sekali makan nenas, setiap toko yang dilewati langsung diserbu untuk memborong nenas! Berbagai pertanyaan diajukan oleh Jack pada Pedro. Seberapa jauhkah letak Borken dari tempat mereka berada saat itu? Siapakah penguasa Puri Borken? Sudah tuakah puri itu? Bolehkah orang datang ke sana, untuk melihat-lihat? Pedro tertawa. "Puri Borken — kota Borken — serta daerah yang sedang kita lewati sekarang ini — semuanya merupakan milik Adipati Paritolen. Bangsawan itu tinggal di Puri Borken. Sedang mengenai pertanyaanmu, apakah orang boleh datang ke situ untuk melihat-lihat — wah, ku-nasihatkan saja, jangan berani terlalu dekat mendatangi tempat itu. Nanti tahu-tahu kau ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, karena dianggap mata-mata!" "Adipati Paritolen galak sekali rupanya, ya," kata Jack. ia merasa kecut membayangkan nasib Lucy-Ann serta anak-anak yang lain, jika mereka benar-benar ditawan di puri itu. "ia berwatak keras, dan ingin sekali berkuasa," kata Pedro. "ia ingin menggulingkan raja yang sekarang dan menggantikannya dengan Pangeran Aloysius. Pangeran itu masih anak-anak! Dengan begitu Adipati Paritolen akan bisa mendiktekan kemauannya — karena sebagai raja, Pangeran Aloysius pasti menurut saja." Hampir saja Jack patah semangat mendengar keterangan itu. Apalah yang bisa dilakukannya, jika harus menghadapi orang segalak Adipati Paritolen? "Apakah Adipati itu perdana menteri?" tanya Jack. Tiba-tiba ia teringat pada cerita Gussy mengenai negerinya. "Bukan! Yang menjadi perdana menteri iparnya. Namanya Adipati Hartius," kata Pedro. “Keduanya sama-sama benci pada raja yang sekarang. Tapi kalau Adipati Paritolen berwatak tegar, iparnya — Adipati Hartius — orangnya lemah, ia dikuasai oleh istrinya, Nyonya Tatiosa. Kata orang, wanita itu sangat licin dan pintar." Jack mendengarkan dengan penuh perhatian. Sekarang ia sudah mendapat gambaran yang agak lebih jelas. Aneh rasanya — dengan tiba-tiba saja terjerumus ke dalam petualangan seperti itu — berkenalan dengan putra mahkota Tauri-Hessia — dan sekarang berada di tanah milik Adipati Paritolen, yang berniat menggulingkan raja Tauri-Hessia dari tahta. Kedengarannya seperti dongeng, tapi yang secara tiba-tiba menjadi kenyataan. "Dari mana kau mengetahui segala hal itu, Pedro?" tanya Jack. "Setiap orang di Tauri-Hessia mengetahuinya," jawab Pedro. "Semua khawatir, jangan-jangan nanti pecah perang saudara. Jika raja yang sekarang digulingkan, dan pangeran muda itu dinobatkan sebagai penggantinya, di kalangan rakyat akan terjadi perpecahan. Dan kalau itu sampai terjadi, kami — orang sirkus — harus selekas-lekasnya lari meninggalkan negeri ini. Jadi kami selalu waspada. Kami perlu mengetahui perkembangan terbaru." Jack merasa pasti bahwa ia tahu lebih banyak, dibandingkan dengan penduduk Tauri-Hessia pada umumnya saat itu. ia yakin, orang-orang negeri itu belum tahu bahwa Pangeran Aloysius diculik dari Inggris, dan saat itu mungkin ditawan di Puri Borken. Tapi apakah yang akan terjadi selanjutnya? Apakah setelah itu akan ada pengumuman bahwa raja mati terbunuh — atau dimasukkan ke dalam penjara? Jack termenung. Tidak didengarnya suara ibu Pedro memanggil-manggil, mengajak makan. Tiba-tiba Jack merasa dirinya menjadi tokoh penting dalam kejadian itu. Untung para penculik tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Mereka tidak tahu bahwa ia bisa menggagalkan rencana jahat mereka, asal ia berhasil menyusup masuk ke dalam puri. Tapi bagaimana caranya? Jack terkejut, karena tahu-tahu ia disenggol oleh Pedro. "He, jangan melamun! Apakah yang sedang kaupikirkan?" Jack menggelengkan kepala, untuk menyingkirkan pikiran yang memenuhi otaknya, ia tersenyum. Sementara itu Kiki terbang menghampiri ibu Pedro, yang sedang mengambilkan makanan untuknya dari sebuah panci besar berwarna hitam. "Polly, jerangkan air," kata Kiki. ia menelengkan kepalanya, memandang ibu Pedro. “Bonitageluta!" Ibu Pedro — yang oleh orang-orang sirkus biasa disapa dengan sebutan Mak — tertawa geli, sambil menepuk-nepuk lutut, ia menuding Kiki. "ia bicara bahasa Hessia!" serunya. Jack tercengang. Kenapa Kiki tahu-tahu sudah bisa berbahasa itu? Burung itu benar-benar menakjubkan kepintarannya meniru-niru. "Bonitageluta? Apa artinya?" tanya Jack. "Selamat pagi," kata Pedro sambil nyengir. Rombongan sirkus itu mampir di sebuah desa besar. Mereka akan tinggal selama dua hari di situ. Jack sibuk sekali, karena harus membantu Pedro mengerjakan bermacam-macam tugas. Memasang tenda,menarik gerobak-gerobak ke tempat-tempat yang sudah ditentukan, mengatur letak bangku-bangku untuk para penonton, disuruh-suruh Bos. Jack tidak mampu menyebut nama sebenarnya dari laki-laki gendut itu. Jack disukai oleh orang-orang sirkus. Kecuali rajin dan cekatan, tingkah lakunya juga sopan. Jack menyukai sebagian besar dari orang-orang sirkus itu. Mereka ramah dan pemurah, selalu riang gembira. Walau penampilan mereka tidak bisa dibilang bersih, dan kecuali itu juga tidak selalu jujur, tapi mereka baik hati terhadap Jack. Anak itu dengan segera sudah dianggap salah seorang dari mereka. Fank dengan ketiga beruangnya merupakan salah satu daya tarik terbesar dalam pertunjukan sirkus itu. Beruang-beruang peliharaannya besar-besar, berbulu coklat tua. Pertunjukan mereka sangat kocak. Mereka bertinju, berjumpalitan, menari dengan gerak-gerik jenaka. Mereka sangat sayang pada Fank, pelatih mereka. "Tapi mereka jangan terlalu didekati, karena bisa berbahaya," kata Pedro memperingatkan Jack. "Hanya Fank saja yang bisa menangani mereka. Kita harus berhati-hati menghadapi beruang, karena mereka cepat sekali marah." Di samping itu ada pula dua ekor simpanse. Mereka juga sangat jenaka. Kalau akan mengadakan pertunjukan, mereka berjalan bergandengan tangan dengan pengasuh mereka, seorang wanita bertubuh mungil. Wanita itu bernama Madame Fifi. ia tidak lebih tinggi dari kedua simpanse asuhannya. Jack sangat menyukai kedua binatang kocak itu. Tapi dengan segera dialaminya bahwa mereka itu pencopet ulung! Tanpa disadari oleh Jack, mereka merogoh kantungnya, dan mencopet sapu tangan, buku catatan, serta dua batang pensil yang ada di situ. Sambil tertawa Madame Fifi mengembalikan barang-barang itu pada Jack. Wanita itu mengatakan sesuatu dalam bahasa Prancis. Atau mungkin juga bahasa Spanyol. Atau Italia? Madame Fifi berbicara dengan begitu cepat, sehingga Jack tidak sempat mengenali bahasa yang dipergunakan. Ketika Madame Fifi melihat bahwa Jack tidak mengerti, ia berbicara lagi. Sekali ini dalam bahasa Inggris. "Anak-anak bandel," katanya, sambil menuding dengan telunjuknya yang mungil ke arah kedua simpanse itu, yang masing-masing bernama Fifo dan Fum. "Perlu dipukul!" Lalu ada pula Toni dan Bingo, dua orang pemain akrobat. Kepandaian Toni berjalan di atas tali yang terentang. Para penonton selalu bersorak dan bertepuk tangan, apabila Toni mempertunjukkan kemahirannya di atas tali yang direntangkan tinggi sekali, di bawah langit- langit tenda sirkus. Macam-macam yang dipertunjukkan Toni di situ. Berlari, melompat menari — dan bahkan berjumpalitan. Jack sealu ngeri melihatnya, takut kalau Toni terjatuh. "Kenapa tidak dipasang jala pengaman di rawah?" tanya Jack pada Pedro. "Kalau jatuh dari tempat setinggi itu, Toni kan bisa mati!" "Tanya saja pada Toni!" kata Pedro sambil tertawa. Ketika pemain akrobat itu datang untuk berbicara dengan Mak, ibu Pedro, Jack menanyakan hal itu padanya. Toni orang Spanyol, tapi bisa berbahasa Inggris, walau tidak begitu baik. “Hahh! Jala pengaman," katanya sambil mencibir. "Cuma di Inggris dipasang jala untukku. Aku tidak bisa jatuh. Aku kan Toni — bukan sembarang pemain akrobat!" Tops, seorang badut, keistimewaannya berjalan dengan jangkungan. Para Penonton tercengang- cengang, jika Tops masuk ke arena dengan tongkat-tongkat pemanjang kaki itu Dengannya, Tops nampak seperti raksasa berkaki panjang, ia memakai sepatu besar yang dipasang ke ujung jangkungan. Anak-anak kecil di antara penonton menyangka Tops benar-benar raksasa. Apalagi karena suaranya juga besar. Tops mempunyai sebuah sepeda yang dibuatkan khusus untuk pertunjukannya. Sepeda itu sangat tinggi. Penonton selalu tertawa riuh, kalau ia mengendarainya. Yang lebih menggelikan lagi, jika ada badut lain ingin bicara dengan Tops. Badut itu mengambil tangga panjat yang tinggi, lalu menyandarkannya ke pinggang Tops. Setelah itu ia memanjatnya. Begitu baru ia dapat bercakap-cakap dengan Tops. Kalau tidak memakai jangkungan, Tops sesenarnya bertubuh kecil. Sama sekali tidak sepadan dengan suaranya yang besar. "Itulah sebabnya ia belajar berjalan dengan angkungan," kata Pedro. "ia ingin tinggi tubuhnya sebanding dengan suaranya yang besar. Itu katanya sendiri." Jack selalu bergidik, jika melihat Hola beraksi, memamerkan keterampilannya. Hola menelan pedang, ia mendongakkan kepalanya ke belakang, lalu dimasukkannya mata pedang ke salam mulutnya. Pedang itu masuk dengan pelan-pelan, sehingga akhirnya hanya gagangnya saja yang masih kelihatan. "Kalau yang ditelannya pisau atau keris,aku masih bisa mengerti," kata Jack. "ia kan bukan benar-benar menelan, tapi cuma memasukkan benda-benda tajam itu ke dalam kerongkongan. Tapi kalau pedang yang begitu panjang — bagaimana caranya melakukan hal itu, Pedro? Aku selalu ngeri melihatnya!" Pedro tertawa. "Nantilah — akan kuperkenalkan kau padanya," kata Pedro. "Siapa tahu — kalau nasibmu baik, mungkin ia mau mengatakan rahasianya." Pada suatu malam, Jack diajak oleh Pedro mendatangi Hola di karavannya, untuk diperkenalkan padanya. Hola bertubuh kurus tinggi, dengan tatapan mata sayu. Pedro berbicara dalam bahasa Jerman padanya. Hola mengangguk, sambil tersenyum kecil. Digamitnya Jack diajak masuk ke dalam karavannya. Di situ nampak berbagai jenis senjata tajam. Pisau belati, keris. Dan juga bermacam-macam pedang. Jack menunjuk ke sebilah pedang yang sangat panjang. Hola mengambil pedang itu, lalu mendongak. Ujung pedang dimasukkannya ke dalam mulut, lalu didorongnya pelan-pelan. Mata pedang masuk ke dalam tenggorokannya, makin? lama makin dalam. Akhirnya hanya gagangnya saja yang masih nampak mencuat. Jack melongo. Astaga — itu kan mustahil? Hola mengeluarkan mata pedang dengari pelan-pelan, lalu memandang Jack sambil tersenyum. Disodorkannya pedang itu padanya Kini barulah Jack mengerti, kenapa pedang sepanjang itu bisa seluruhnya masuk ke dalam kerongkongan Hola. Pedang itu bersendi-sendi yang bisa saling disusupkan, sehingga akhirnya tinggal sepanjang belati. Pada gagang pedangnya itu ia melihat betapa ujung mata pedang yang runcing melesak masuk ke dalam sendi berikutnya, dan begitu terus sampai akhirnya hanya sepanjang pisau yang panjang. Kehidupan bersama orang-orang sirkus sangat mengasyikkan. Tapi Jack juga selalu cemas, jika mengingat nasib Lucy-Ann serta anak-anak yang lain! ia tidak sabar lagi, ingin lekas-lekas berangkat ke Borken. ia takut terlambat datang, apabila rombongan sirkus terlalu sering mampir di tengah jalan. "Tapi aku harus ikut terus dengan mereka," pikirnya. "Di tengah mereka, aku aman. Jika aku meneruskan perjalanan seorang diri, lambat laun pasti akan ketahuan oleh polisi. Mudah-mudahan saja sirkus cepat sampai di Borken. Kalau kita sudah sampai di sana, aku ingin mencoba masuk ke Puri, untuk menyelidiki apakah anak-anak benar ditawan di situ!" Bab 17 TIBA DI BORKEN Bos menepati janjinya. Jack diizinkan ikut mengadakan pertunjukan, bersama Kiki. Pedro membantunya membuat tempat bertengger untuk Kiki, yang dipasang di atas peti yang ditulisi nama burung itu. Palang tenggeran itu dicat keemasan. Kiki bertengger di atas palangnya, sambil mengangguk-angguk dengan anggun. "Kau merasa seperti bertengger di singgasana, ya," kata Jack sambil nyengir. "Putri Kiki, kakaktua paling hebat di dunia. — Nah, bagaimana jika kau menyanyi saja sekarang, Kiki?" Kiki selalu mau disuruh melakukan apa saja, apabila itu disambut dengan tepuk tangan dan gelak tertawa. Fank, pelatih beruang, sampai merasa cemburu, karena lebih banyak yang menonton Kiki! Kiki menyanyi dengan gembira. Lagu dan kata-katanya selalu campur aduk. Tapi para penonton yang terdiri dari orang-orang Tauri-Hessia tidak mengetahuinya. Mereka mengira lagu yang dinyanyikan Kiki memang begitu bunyinya. Kiki selalu menjawab, jika ada yang mengajaknya berbicara. Para penonton yang tidak memahami bahasa Inggris, tentu saja tidak menangkap arti jawabannya. Tapi pokoknya Kiki selalu menjawab dengan segera, dan biasanya disusul dengan tertawa terkekeh-kekeh. Itu menyebabkan para penonton selalu tertawa ramai. Tapi penonton paling ramai tertawa, jika Kiki sudah mulai memamerkan kepandaiannya menirukan berbagai macam bunyi. Caranya bersin, batuk-batuk, dan tahu-tahu menirukan bunyi terceguk-ceguk, menyebabkan penduduk desa yang menonton tertawa sampai sakit perut. Jeritannya menirukan bunyi kereta api cepat yang lewat dalam terowongan agak mengagetkan mereka. Penonton hanya melongo jika mendengar Kiki menirukan bunyi mesin pemotong rumput, karena mereka belum pernah melihat mesin itu. Tapi mereka senang sekali jika burung kocak itu berkotek-kotek seperti ayam betina, mendengus seperti beruang-beruang asuhan Fank, dan menggonggong-gonggong seperti anjing. Pertunjukan Kiki sangat disukai penonton. Jack merasa bahwa burung itu menjadi agak besar kepala karenanya. Tapi di pihak lain, pertunjukannya menghasilkan uang. Dan Jack perlu uang, untuk membayar ongkos makan di tempat Mak, ibu Pedro. Sisanya disimpan baik-baik dalam sapu tangan. Siapa tahu, mungkin sesampainya di Borken nanti ia akan perlu uang, kata Jack dalam hati. ia selalu berjaga-jaga jika Fifo dan Fum ada di dekatnya, karena takut uangnya dicopet oleh kedua simpanse itu. "Besok kita sampai di Borken," kata Pedro pada suatu malam, ketika datang perintah untuk berkemas. "Bos sudah menyewa tempat yang bagus di sana — di kaki bukit Puri Borken." Jack senang sekali mendengar kabar itu. Nah — akhirnya ia akan sampai juga di Borken. Sementara itu waktu sudah berlalu satu minggu sejak ia tiba di Tauri-Hessia. ia selalu cemas, jika memikirkan nasib adiknya, serta anak-anak yang lain. Mudah-mudahan nanti ia akan bisa mendengar kabar tentang mereka. Keesokan harinya mereka sampai di Borken. Saat itu hari sudah petang. Dari kejauhan, Jack sudah bisa melihat Puri Borken. Bangunan kuno itu terletak di atas sebuah bukit. Bentuknya sangat kekar, dengan empat buah menara di sudut-sudutnya. "Puri Borken," kata Pedro, sambil menunjuk ke arah puncak bukit besar itu. "Sudah banyak orang ditawan di situ, tanpa pernah melihat alam bebas lagi. Mereka dikurung...." "Sudah, sudah — jangan kauceritakan hal-hal seperti itu padaku," kata Jack. ia merasa ngeri. Pedro memandangnya dengan heran. "Eh — kenapa kau begitu? Takut, ya?" "Tidak, bukan takut," jawab Jack. "Eh — di manakah para tawanan dikurung di sana? Dalam menara? Atau ada tempat khusus?" "Entah, aku tidak tahu," kata Pedro. "Kapan-kapan, kita bisa saja berjalan-jalan mengelilinginya dari luar. Tapi kita takkan diizinkan datang terlalu dekat." Rombongan sirkus menuju ke lapangan besar yang terhampar di kaki bukit, lalu mulai memasang tenda-tenda. Penduduk kota berdatangan untuk menonton kesibukan mereka. Rupanya tidak sering sirkus mampir di kota itu. Anak-anak berlari-lari, sambil berteriak dan tertawa-tawa. Seorang anak perempuan yang masih kecil menghampiri Pedro, sambil berseru-seru dengan gembira, ia berteriak-teriak senang, ketika Pedro menjunjungnya. "Pedro, Pedro, allapinotoliuta!" Pedro menjawab dalam bahasa yang sama. "Ini sepupuku, Hela," katanya pada Jack. "Ayahnya anggota tentara Tauri-Hessia. ia menikah dengan bibiku." Kemudian ia bertanya pada Hela. Jawaban anak itu diterjemahkannya untuk Jack. "Katanya, ayahnya ditugaskan di sini. Ibunya bekerja di puri, menjadi pelayan Nyonya Tatiosa, yang sekarang juga tinggal di situ. Hela juga tinggal di dalam puri." Wah, itu kabar yang sangat menarik, pikir Jack. Mungkin dengan begitu ia akan bisa memperoleh kabar tentang Lucy-Ann serta anak-anak yang lain. Tapi ia harus berhati-hati, jangan sampai rahasianya terbongkar, ia harus menyusun pertanyaan dengan cermat. Jack mengerutkan kening, memikirkan pertanyaan yang hendak diajukan. "Nyonya Tatiosa itu punya anak, Pedro?" tanyanya setelah beberapa saat berpikir. "Kalau punya, kaurasa mungkinkah ia mau mengizinkan kita mengadakan pertunjukan di dalam puri untuk mereka?" "Nyonya itu tidak punya anak," jawab Pedro. "Kalau punya, ia pasti akan mengusahakan agar salah seorang dari mereka yang diangkat menjadi raja! Wanita itu licin sekali. Sangat berbahaya!" Hela bertanya pada Pedro. Rupanya ia ingin tahu, apa yang ditanyakan oleh Jack. Pedro menerjemahkan pertanyaan itu. Kemudian Hela mendekatkan mulutnya ke telinga saudara sepupunya, ia membisikkan sesuatu, sementara matanya berkilat-kilat. Setelah berbisik, ia menempelkan telunjuk ke bibir, seolah-olah hendak mengatakan agar apa yang baru saja dikatakan olehnya jangan diteruskan pada orang lain. "Ah — mana mungkin?!" kata Pedro. "Kau pasti mimpi!" "Apa katanya?" tanya Jack. ia ingin sekali tahu, apa yang baru saja dikatakan oleh Hela. Bayangkan — anak itu tinggal di dalam puri. Siapa tahu, mungkin saja ia setiap hari bertemu dengan Lucy-Ann serta yang lain-lainnya! "Hela mengatakan bahwa Nyonya Tatiosa kelihatannya memungut beberapa orang anak," kata Pedro. "Soalnya, jika Hela ikut dengan ibunya mendatangi salah satu menara puri, ia mendengar suara anak-anak di situ." Pedro tertawa, "ia juga mengatakan, hanya Nyonya Tatiosa dan Adipati Paritolen saja yang boleh masuk ke dalam menara itu. Orang lain rupanya tidak boleh tahu bahwa di situ ada anak-anak. Ketika Hela bercerita tentang hal itu pada bunya, ia dimarahi!" Jack bersikap tenang, seolah-olah itu berita yang biasa saja. "Tahukah Hela, di mana letak menara itu?" tanya lagi, sambil lalu. "Bisakah ia menunjukkannya dari sini?" "Masa kau mau percaya pada ocehan anak kecil ini, Jack!" kata Pedro. "Anak ini suka mengada- ada!" "Coba tolong tanyakan," kata Jack. Pedro bertanya pada Hela. Anak itu memandang ke atas, ke arah puri besar yang mirip benteng itu, lalu menuding ke menara yang berada di sebelah selatan. "Itu dia," katanya setengah berbisik pada Pedro. Jack langsung mengerti, meski Hela berbicara dalam bahasa Tauri-Hessia. Sekali lagi Hela menempelkan telunjuknya ke bibir. Jack mengajak Hela, untuk dibelikan permen, ia ingin sekali bisa berbicara dalam bahasa daerah itu. Selama ikut dengan sirkus, sudah lumayan banyak kata-kata yang dipahaminya — walau masih kalah, kalau dibandingkan dengan Kiki. Tapi kata-kata itu belum mencukupi, untuk bisa bercakap-cakap dengan Hela. Anak kecil itu mengoceh terus, tanpa sedikit pun bisa dimengerti oleh Jack. Anak itu merangkulnya setelah dibelikan permen, lalu lari mendatangi teman-temannya untuk memamerkan hadiah itu pada mereka. Dengan segera perkemahan sudah siap dibangun. Menurut rencana, malam berikutnya sirkus akan mulai mengadakan pertunjukan. Jack sibuk sekali, membantu-bantu. ia capek sekali. Tapi ia bertekad, malam itu juga akan mengadakan penyelidikan di sekitar puri. ia agak bimbang, apakah Pedro perlu diajak. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak melakukannya. Jika ia nanti ternyata berhasil berhubungan dengan anak-anak, ada kemungkinan Pedro malah akan merepotkan saja. ia akan terpaksa menjelaskan segala-galanya pada anak itu. Sedang Jack belum tahu, bagaimana sikap Pedro jika sudah mengetahuinya. Seperti biasa, Jack ikut dengan Pedro, makan di tempat ibunya. Saat itu Mak mengatakan sesuatu pada anaknya. Pedro mendengarkan dengan wajah serius. "Ada apa?" tanya Jack ingin tahu. "Anu — Fank merasa tidak enak badan," kata Pedro. "Sekarang Bos bingung." "Kenapa harus bingung?" tanya Jack. "Itu kan hanya berarti bahwa tidak akan ada pertunjukan beruang? Lagi pula, besok Fank mungkin sudah merasa segar kembali." "Sirkus akan rugi besar, jika pertunjukan beruang terpaksa dibatalkan," kata Pedro menjelaskan. "Tapi soalnya bukan cuma itu saja. Hanya Fank yang sanggup menangani kawanan beruang asuhannya. Jika ia sampai jatuh sakit, binatang-binatang itu tidak bisa diatur lagi. Mereka tidak mau makan, berkelahi, menyerang siapa saja yang berani mendekati kandang. Sekali mereka bahkan berhasil meloloskan diri. Akhirnya Fank dalam keadaan sakit terpaksa turun tangan. Nyaris saja ia mati karenanya!" "Kasihan," kata Jack. "Yah — mudah-mudahan saja ia sudah sehat kembali besok. Terus terang saja, aku tidak ingin mengalami beruang-beruang itu keluar dari kandang mereka, lalu berkeliaran ke mana-mana. Fank hebat sekali kalau sedang beraksi bersama mereka. Beruang-beruang itu sangat penurut, kalau berhadapan dengan dia!" "Tidak banyak orang yang memiliki kemampuan seperti Fank," kata Pedro. "ia pernah mengasuh singa, serta dua ekor harimau, ia sendiri yang melatih mereka. Tapi kemudian dikatakannya bahwa binatang-binatang itu tidak cocok untuk ditampilkan dalam pertunjukan sirkus. Mereka dijualnya pada kebun binatang. Padahal belum pernah kulihat kawanan singa dan harimau yang begitu terlatih!" "Dan sekarang ia memelihara beruang," kata Jack. "Orang itu mestinya sangat sayang pada binatang, dan mereka juga sangat sayang padanya. Aku juga punya teman seperti dia. Binatang-binatang selalu langsung jinak, jika didekati temanku itu." "Pernahkah ia mencoba mendekati singa, atau harimau? Atau beruang?" tanya Pedro. "Pasti belum! Binatang buas takkan mau jinak, jika didekati olehnya. Kalau kucing, anjing, tikus, atau binatang-binatang lainnya seperti itu, memang gampang dijinakkan. Tapi binatang buas yang besar-besar, tidak segampang itu urusannya!" "Ya — mungkin juga," kata Jack. Philip memang belum pernah mendapat kesempatan untuk melakukannya. "Yah — mudah-mudahan saja besok malam Fank sudah sembuh. Aku tidak ingin disuruh membersihkan kandang beruang!" Malam itu Jack tidak tidur secepat biasanya, ia masih ingin mengadakan penyelidikan ke kaki Puri Borken. Siangnya ia sempat pergi ke kota, untuk membeli senter, ia tidak tahu apa yang diharapkannya dari penyelidikan itu. Tapi satu hal sudah jelas, ia harus berbuat sesuatu! Jack menunggu sampai Pedro sudah tidur. Kemudian ia menyelinap ke luar, dengan membawa pakaiannya, ia bergegas mengenakan pakaian itu di tempat gelap. Setelah itu dijemputnya Kiki, dan disuruhnya bertengger di bahunya. Kiki heran, tapi diam saja. Jack berangkat, menuju ke bukit puri. Mudah-mudahan saja anak-anak memang ada di sana! Bab 18 MASUK KE PURI Jack berjalan mengendap-endap. Keadaan di sekelilingnya sunyi senyap. Tidak ada lagi lampu yang masih menyala di perkemahan itu. Orang-orang sirkus sudah tidur semua. Mereka capek, setelah bekerja keras mempersiapkan kemah-kemah, agar malam berikutnya sudah bisa mengadakan pertunjukan. Malam itu tidak ada bulan di langit. Tapi Jack tidak perlu menyalakan senter, karena sekelilingnya tidak terlalu gelap. Didakinya lereng bukit puri. Beberapa saat kemudian ia sampai di suatu tembok yang tidak begitu tinggi. Disorotkannya senternya ke sana dan kemari, mencari-cari tempat yang kelihatannya bisa dipanjat. Akhirnya ia berhasil menemukan tempat itu. Batu-batu di situ tidak licin, dan bertonjolan di sana-sini. Untung Jack memakai sepatu bersol karet. Lebih baik lagi jika ia memakai sarung tangan dari karet kasar pula, sehingga jari-jarinya setiap kali tidak terpeleset, saat ia mencoba berpegangan pada batu tembok. Akhirnya Jack berhasil sampai di atas tembok, lalu meloncat turun ke seberang, ia memandang berkeliling dengan waspada, ia tidak berani menyalakan senter. Nampaknya saat itu ia berada di suatu pelataran sempit. Jack memicingkan mata. Di depannya nampak bentuk puri yang besar. Bangunan itu menjulang tinggi. Kelihatan kekar dan menyeramkan. Jack merasa putus asa. Takkan mungkin ia bisa memasuki benteng setegar itu. Apalagi berusaha menghubungi Philip serta anak-anak yang lain! Sambil merunduk. Jack melintasi pelataran itu. Beberapa kali ia tersandung, ia kaget sekali, ketika tiba-tiba menyentuh sesuatu yang terasa lembut. Benda itu menyelubungi kepalanya. Jack membebaskan diri, lalu lari maju. Tapi dengan segera ada lagi sesuatu yang menutupi mukanya. Jack mulai panik. Dinyatakannya senternya sebentar, untuk melihat. ia tertawa lega, begitu melihat benda yang mengejutkannya, ia malu pada dirinya sendiri. Ternyata ia menubruk pakaian yang sedang dijemur! Pertama-tama menubruk seprai. Sedang yang menutupi mukanya, ternyata baju hangat. Baju hangat? Orang di Tauri-Hessia tidak biasa memakai baju seperti itu. Dinyatakannya senternya lagi, dan disorotkannya ke baju itu. ia tidak mungkin keliru — baju hangat itu pasti milik Dinah, atau Lucy-Ann! Kalau begitu, anak-anak pasti ada di dalam puri. Syukurlah! Sekarang ia tinggal menyelidiki, di mana mereka berada. Jack berpikir sebentar. Jika tempat anak-anak itu dirahasiakan, kenapa pakaian mereka dijemur secara terang-terangan di luar? Orang yang melihat, pasti akan merasa heran. Jadi kemungkinannya pelataran itu terletak di tempat yang tidak didatangi orang lain, kecuali mungkin hanya Nyonya Tatiosa saja. Tapi masa dia yang mencuci pakaian itu! Mungkin saja jika ia tidak ingin orang lain tahu tentang anak-anak. Tapi bisa juga ibu Hela disertakan dalam rahasia itu. Mungkin wanita itu yang mencuci pakaian Lucy-Ann dan yang lain-lainnya, serta memasakkan makanan untuk mereka. Pasti ada yang harus melakukan tugas-tugas itu. Dari pelataran, pasti ada jalan masuk ke puri. Kemungkinannya jalan itu menuju ke dapur, atau ruang cuci. Jack menghampiri dinding puri, lalu menyorotkan senternya ke atas dan ke bawah. Apa boleh buat — ia harus mengambil risiko dilihat orang. Tanpa menyalakan senter sekali- sekali, ia takkan mungkin bisa mengenali apa-apa. Dekat dinding puri ada sebuah bangunan kecil. Bangunan itu ternyata tempat mencuci, persis seperti yang diduga Jack. ia berusaha membuka pintu bangunan itu. Dikunci! ia menyorotkan senter ke dalam, lewat jendela, ia melihat sejumlah ember di dalam. Jack memperhatikan bangunan kecil itu. Kemudian disorotkannya senter ke bagian atap. ia melihat sebuah jendela di situ. Letaknya tidak begitu jauh di atas atap rumah cuci. Dan dilihat dari bawah, jendela itu nampaknya tidak berkaca. Jendela sempit. Tapi tidak berkaca! "Jika aku bisa memanjat ke atas atap, aku akan bisa naik ke atas jendela itu," kata Jack dalam hati. "Dengan begitu aku akan sampai di dalam puri, lalu bisa mencari anak-anak! Tapi bagaimana caraku naik ke atas atap? Walau tidak begitu tinggi, tapi kurasa aku takkan mampu mencapainya." Ternyata memang tidak bisa! Berulang kali Jack meloncat, berusaha meraih talang yang terpasang di tepi atap. Tapi gagal terus. "Aku harus mencari tangga," kata Jack dalam hati. ia mulai mencari, tapi tanpa semangat. Kiki bertengger tanpa bergerak-gerak di bahu tuannya. Burung itu merasa bingung, ia tahu bahwa ia tidak boleh bersuara. Tapi sebetulnya ia ingin melakukannya. Apalagi ketika ada seekor kelelawar terbang menyambar di dekatnya. Setelah beberapa lama mencari-cari di sekitar pelataran yang tidak begitu luas itu, Jack menjumpai sebuah gudang kecil. Pintunya tidak dikunci, melainkan hanya digerendel saja. Jack membukanya dengan hati-hati. ia terkesiap, ketika terdengar bunyi berdecit. Tapi tidak ada orang di situ. Jack menyorotkan senternya ke dalam. Nasibnya mujur. Di dalam gudang itu ada tangga. Jack menghampirinya. Tangga itu sudah tua. Beberapa palang pijakannya sudah patah. Tapi mungkin masih bisa dipakai, kata Jack dalam hati. Harus bisa! Ketika ia menyeret tangga itu ke luar, tersenggol olehnya sebuah kaleng. Menurut perasaannya, bunyi yang terjadi karenanya nyaring sekali. Jack tertegun, sambil menahan napas. Sebentar lagi pasti akan ada orang datang untuk memeriksa. Tapi tidak ada yang datang. Keadaan di situ tetap gelap dan sunyi. Jack menghela napas lega. Mungkin memang tidak ada yang mendengar bunyi berisik itu. Atau mungkin juga tidak ada orang di sebelah situ. Dibawanya tangga ke rumah cuci. Tangga itu bisa dibawanya dengan mudah, karena tidak begitu panjang. Tapi ia yakin, dengannya ia akan bisa mencapai atap. Tangga disandarkannya ke dinding rumah cuci. Ujungnya mencapai atap. Jack menyorotkan senternya sebentar, untuk memeriksa anak tangga mana saja yang sudah tidak ada lagi. Setelah mengantungi senternya kembali, ia mulai memanjat. Sementara itu Kiki terbang menggelepar, mengelilingi kepala Jack. Tangga itu ternyata memang sudah sangat tua! Salah satu palang yang dipijaknya, langsung patah dua. Jack buru-buru memindahkan kakinya ke palang yang berikut, ia mengucap syukur dalam hati, ketika akhirnya sampai di ujung atas. Sekarang ia harus menarik tubuhnya ke atas atap. Itu berhasil dilakukannya tapi lututnya lecet. Jack duduk di atap, dengan napas tersengal-sengal. Sekarang langkah selanjutnya — naik ke jendela yang ada di sebelah atas, dan dari situ masuk ke dalam puri. Atap rumah cuci itu tidak curam, sehingga Jack bisa mencapai tepi dinding puri dengan jalan merangkak. Kemudian ia berdiri, meraba-raba dinding. Setelah itu diambilnya senternya lagi, lalu disorotkan sebentar ke atas. "Sialan — jendela itu terlalu tinggi letaknya, takkan bisa aku memanjat ke situ," pikir Jack. ia merasa kecewa. "Ambangnya masih bisa kuraih, tapi aku takkan bisa menarik tubuhku ke atas." ia memutuskan untuk mempergunakan tangga tua tadi. ia merangkak kembali ke tepi atap. Setelah meraba-raba sebentar, tersentuh olehnya ujung atas tangga, segera ditariknya ke atas. Ia harus mengerahkan seluruh tenaganya, karena menarik tangga itu ke atas jauh lebih berat daripada menyeretnya di pelataran. Tapi akhirnya ia berhasil juga mengangkat tangga itu ke atas atap. Selama beberapa saat ia harus menunggu sambil memegang tangga, sampai napasnya sudah biasa lagi. Jack puas. Kini tinggal menyandarkan tangga di bawah jendela! Masuk ke dalam puri sesudah itu merupakan soal gampang! Tangga berhasil dibawanya ke dekat dinding puri, walau itu merupakan pekerjaan berbahaya. Dua kali Jack nyaris jatuh. Tapi akhirnya ia sampai juga di dinding, lalu diangkatnya tangga dengan hati-hati. Agak sulit juga menemukan tempat yang aman untuk menegakkannya. Akhirnya Jack merasa, tangga sudah cukup aman terpasang di atas atap. Kini ia harus memanjat. Jantungnya berdebar keras. Mudah-mudahan saja tangganya nanti tidak tiba-tiba terpeleset saat ia sedang memanjat ke atas! Kalau itu terjadi, bisa gawat. Jack memanjat secepat-cepatnya. Akan kuatkah tangga itu? ia sampai di ujungnya. Ketika kakinya diangkat untuk dipijakkan ke ambang jendela, tahu-tahu tangga terpeleset. Tangga itu jatuh ke atap, lalu ke pelataran. Aduh! Sekarang pasti akan ada orang datang, untuk memeriksa keributan itu! Jack menjunjung tubuhnya, naik ke ambang jendela, lalu meloncat ke dalam, ia merunduk di lantai, dengan sikap menunggu. Jack menunggu selama beberapa menit. Kiki rupanya merasakan ketegangan tuannya. Sejak tadi ia sama sekali tidak bersuara. Kini Jack berdiri, lalu memandang ke luar. Tidak ada orang muncul di pelataran, ia tidak melihat sinar senter atau lentera di situ. Juga tidak terdengar suara orang. Rupanya memang tidak ada yang mendiami bagian puri di sebelah sini. Karena kalau ada, orang itu pasti sudah keluar untuk memeriksa penyebab bunyi keras yang tadi terdengar. ia masih menunggu beberapa saat lagi, untuk memastikan bahwa benar-benar tidak ada orang di situ. Kemudian dinyalakannya senter, sebentar saja. Tapi sudah cukup banyak yang dilihatnya dalam waktu sesingkat itu ia berada di dalam sebuah ruangan kecil, ia melihat kursi dan bangku bertumpuk-tumpuk rapi. Kecuali itu, tidak ada apa-apa lagi di tempat itu. "Rupanya ini gudang tempat menyimpan perabot," kata Jack dalam hati. "Yuk, Kiki! Kita harus mencari jalan lain untuk keluar nanti. Kita tidak bisa lagi lewat jendela, karena tangga sudah jatuh ke pelataran!" Jack membuka pintu, lalu mengintip ke luar. Nampaknya yang ada di depan itu sebuah gang ia tidak mendengar apa-apa di situ. Tempat itu gelap gulita. Jack menyalakan senternya lagi sebentar. Ya, betul — di luar pintu terdapat sebuah lorong panjang berlantai batu. Tidak ada alas menutupi lantai. Tidak ada lukisan terpajang di dinding. Kursi-kursi juga tidak ada. Rupanya bagian puri ini memang tidak didiami. Jack menyusur lorong yang panjang. Langkahnya tidak kedengaran, karena sepatunya bersol karet, ia sampai di ujung lorong. Di situ ada jendela berbentuk bundar dan berkaca. Pada suatu sudut ia membelok. Di depannya ada sebuah lorong lagi yang juga panjang. Langit-langitnya tinggi. Ukurannya agak lebih lebar dari lorong pertama, tapi juga tanpa perabot sama sekali. Kemudian Jack sampai ke bagian lorong yang lantainya beralaskan permadani indah, terpasang hampir dari tepi ke tepi lainnya. Pada satu sisi ada sebuah sofa besar, berlapis kain damas berwarna keemasan. Di dinding terpajang lukisan-lukisan. "Mulai sekarang aku harus sangat berhati-hati," kata Jack dalam hati. Tidak jauh di depannya ada sebuah meja bundar. Ada lampu di atas meja itu. Nyalanya hanya remang-remang. Tapi kalau ada orang kebetulan muncul, ia pasti akan melihat Jack. Anak itu meneruskan penyelidikannya, ia melewati sebuah pintu yang terbuka, ia mengintip dengan hati-hati ke dalam. Diterangi sinar samar sebuah lampu yang ada di luar, ia melihat bahwa yang ada di balik pintu itu sebuah ruang duduk yang indah, dengan permadani dinding menutupi keempat temboknya. Di situ juga terdapat sejumlah cermin. Di tengah ruangan ada sebuah meja besar yang dihiasi ukiran. Permukaan daunnya mengkilat, memantulkan sinar senter yang dinyalakan sebentar oleh Jack. Anak itu berdiri sebentar di situ, sambil berpikir-pikir. Di manakah letak menara di mana Hela mengatakan mendengar suara anak-anak? ia harus berusaha menemukan jalan ke situ, dan menemukan tangga yang menuju ke sana. Akhirnya Jack memutuskan untuk meneruskan langkah, menyusur lorong. Mungkin sebentar lagi ia akan menjumpai tangga — dan mungkin tangga itu akan membawanya ke sebuah menara! Jack sampai di depan sebuah pintu lagi, yang juga terpentang lebar, ia mengintip ke dalam. Ruangan yang ada di belakang pintu kelihatannya sebuah perpustakaan — karena banyak sekali buku-buku di situ. Tidak mungkin ada orang yang pernah membaca semua buku itu. Seperseratusnya saja, sudah hebat! Tiba-tiba Jack tertegun, ia mendengar sesuatu. Bunyi itu datang dari ruangan di mana ia saat itu berada. Bunyi mendesir dan menggeretak. Kiki terpekik pelan, ia pun ikut kaget. Bunyi apakah itu? Bab 19, JACK MENEMUKAN JEJAK Bunyi desir dan gemeretak itu disusul suara genta. Bunyinya bertalu-talu. Jack terduduk lemas di sebuah kursi. Ternyata yang didengarnya tadi jam besar yang hendak berdentang. Tapi ia sempat setengah mati ketakutan karenanya, ia menghitung pukulan yang terdengar. Dua belas kali berturut-turut. Jadi saat itu pukul dua belas tengah malam. Nah, orang-orang di puri pasti sudah tidur nyenyak semuanya. Syukurlah! Jack pergi ke pintu, lalu meneruskan langkah menyusur lorong. Setelah membelok di sudut berikutnya, ia melihat bahwa di depan ada tangga lebar yang terbuat dari batu pualam. Tangga itu mengarah ke bawah, dan dilapisi dengan permadani tebal berpola indah. "Kurasa lewat situ aku akan sampai ke ruang masuk yang ada di bawah." ia menimbang-nimbang. Jika ruang masuk ada di bawah, maka menara yang dicari tentunya terletak lebih jauh di depannya. "Yuk, Kiki," bisiknya, "kita terus menyusur lorong ini saja!" Ia meneruskan langkah, menyusur lorong yang kini diterangi lampu-lampu. Jack agak cemas, karena tempat yang dilaluinya kini dianggapnya terlalu terang. Pintu-pintu yang dilewati, semuanya tertutup. Mungkin kamar-kamar tidur yang ada di balik pintu-pintu tertutup itu. Tapi ia tidak berani menjenguk ke dalam! Kemudian ia sampai di depan sebuah pintu yang kelihatannya kokoh, terbuat dari kayu ek. ia berhenti di situ. Letak menara mestinya di sekitar situ. Mungkin di balik pintu itu terdapat jalan menuju ke situ, karena kelihatannya berbeda dari pintu-pintu lain yang tadi dilewati. Dicobanya membuka pintu besar itu dengan hati-hati. Diputarnya gelang besi yang merupakan pegangan. Pintu ternyata bisa dibuka. Jack membukanya lebar-lebar. Di depannya nampak jenjang yang menuju ke atas, diterangi sebuah lampu bersinar remang-remang. Bagaimana — apakah sebaiknya ia memberanikan diri naik ke atas? Jack ragu-ragu. Tapi kemudian ia membulatkan tekad. Ya — pasti itu jalan menuju ke menara yang dicari. Jack berjingkat-jingkat mendaki tangga. Sampai di atas, ia memandang berkeliling dengan perasaan heran. Ternyata ia sampai di sebuah bangsal besar, yang dinding-dindingnya ditutupi tirai-tirai tebal yang nampak mewah Sebuah serambi menaungi salah satu ujungnya Sedang di ujung yang satu lagi ada semacam pentas kecil. Di atas pentas itu nampak sejumlah rak tempat menaruh kertas catatan musik. Lantai bangsal itu mengkilat licin. "Ah — ini pasti ruang dansa," kata Jack dalam hati. "Bukan main luasnya! — Tapi kalau begitu aku salah jalan tadi. Mungkin di sekitar sini ada tangga lain yang menuju ke menara!" Jack memeriksa ke sekeliling ruangan luas itu. Pada satu sisinya ia menemukan pintu, tertutup di balik tirai, ia membukanya. Ternyata di belakang pintu itu ada semacam ruang samping. Dan di ujung ruang itu ada tangga pilin berjenjang batu. Tangga itu menuju ke atas. "Pasti inilah tangga yang kucari, yang menuju ke menara!" pikir Jack. Tiba-tiba ia terkejut. Bunyi apa itu?" ia mendengar bunyi derap sepatu, ia buru-buru menyembunyikan diri di balik tirai yang ada di dekatnya. Langkah yang didengarnya semakin mendekat, menghentak-hentak beberapa kali, menjauh — lalu datang mendekat lagi. Aneh! Jack mengintip dari balik tirai, ia melihat sebuah lorong panjang, berlantai batu. Seorang prajurit mondar-mandir di situ, menyandang senapan. Prajurit itu kelihatannya sedang bertugas jaga. Pasti ia menjaga menara! Prajurit itu menjauh, menyusur lorong. Makin lama makin jauh, sampai Jack tidak bisa mendengar derap langkahnya lagi. Tapi kemudian muncul kembali, datang mendekat, lalu berhenti dan berbaris di tempat, di kaki tangga. Duk-duk-duk! Prajurit itu berbalik, lalu menjauh lagi memasuki lorong yang panjang. Jack memperhatikannya dari belakang. Prajurit itu memakai seragam tentara Tauri-Hessia yang meriah. Mungkinkah prajurit itu ayah Hela? ia menunggu sampai derap langkah prajurit itu tidak terdengar, lalu dengan cepat ia melesat ke depan, mendaki tangga pilin, ia tahu bahwa ia harus bergegas, karena setengah menit lagi prajurit tadi akan muncul kembali di situ. Tangga yang didakinya berputar-putar, dan makin lama makin bertambah curam. Akhirnya Jack tidak mampu lagi lari, melainkan harus memanjat dengan hati-hati! Kini ia sampai di semacam langkan. Di situ ada sebuah jendela berbentuk bundar. Di bawahnya ada peti, dengan sebuah kursi usang di sisinya. Sedang di depan Jack nampak sebuah pintu besar dan kokoh, juga terbuat dari Kayu ek berwarna coklat tua. Pintu itu diperkuat dengan paku-paku besar. Jack memandang dengan bimbang. Mungkinkah Lucy-Ann ada di dalam ruangan di balik pintu itu? Bagaimana jika ia memanggil-manggil namanya? Jack berjingkat-jingkat menghampiri pintu, lalu mencoba mendorongnya. Tidak bisa! Dicobanya memutar pegangan yang terpasang di situ. Tapi juga tidak bisa dibuka. Pintu itu dikunci, sedang anak kunci tidak ada di lubangnya, ia berusaha mengintip ke dalam lewat lubang kunci. Tapi ia tidak bisa melihat apa-apa. ia juga tidak mendengar apa pun di balik pintu. Jack bingung sesaat. Jika ia mengetuk pintu sambil memanggil-manggil, bagaimana jika kemudian ternyata bahwa yang ada di situ bukan anak-anak, tapi orang lain? Orang yang tidak senang melihat Jack tiba-tiba muncul di situ? Lagi pula, suaranya bisa terdengar oleh prajurit yang menjaga di lantai bawah. Bagaimana jika prajurit itu nanti memburu ke atas? Jack pasti tertangkap, karena dari langkan itu tidak ada jalan lari kecuali lewat tangga pilin. Ketika ia sedang berpikir-pikir, tiba-tiba dilihatnya sesuatu menyusup ke luar lewat celah sempit di bawah pintu. Jack menyalakan senternya. Diterangi sinar senter itu ia melihat seekor makhluk kecil, yang memandang ke arahnya dengan matanya yang besar dan hitam. "Itu kan tikus pohon peliharaan Philip," kata Jack. ia berlutut dengan hati-hati, di dekat binatang itu. "Penidur," katanya lirih, "kau Penidur, kan? Kalau begitu, Philip ada di dalam!" Tikus pohon itu sudah sangat jinak, karena selama berhari-hari dimanjakan oleh anak-anak. Bahkan Dinah pun sementara itu sudah sayang padanya. Tapi ia tidak mau jika binatang itu berkeliaran di atas tubuhnya. Dan kini Penidur duduk di atas telapak tangan Jack. Sementara kumisnya yang panjang bergerak-gerak, tikus itu memandang Jack dan Kiki. Kiki memperhatikannya dengan heran. Tapi tanpa melakukan apa-apa. "Kau tadi mendengar aku di sini, ya?" bisik Jack. "Lalu kautinggalkan Philip, karena ingin melihat siapa yang datang. Apa yang harus kulakukan, agar tuanmu itu terbangun? Kau tahu cara yang baik, barangkali?" Saat itu terdengar jeritan burung hantu di luar. Penidur ketakutan mendengarnya, ia cepat-cepat meloncat turun dari telapak tangan Jack, lalu menyusup masuk lagi ke balik pintu. Tapi Jack mendapat akal, setelah mendengar suara burung hantu itu. Jika ia menirukan suara tadi dengan mendekatkan mulutnya ke celah di bawah pintu, ada kemungkinan Philip bisa terbangun mendengarnya. Sedang prajurit yang menjaga di bawah pasti akan mengira bahwa yang berbunyi burung hantu yang tadi juga! Siasat itu jauh lebih baik daripada jika Jack menggedor-gedor pintu, karenanya bunyinya pasti akan terdengar di bawah. Jack berbaring menelungkup. Didekatkannya mukanya ke celah di bawah pintu. Kedua belah tangannya ditangkupkan, dengan telapak agak cembung. Kemudian ia meniup lewat celah yang terdapat di antara kedua ibu jari. Terdengarlah suara burung hantu. Begitu mirip bunyinya, sehingga burung hantu pun mungkin tidak bisa membedakan dari teriakannya sendiri! Setelah itu Jack mendekatkan telinganya ke celah. Ia mendengar bunyi berderik di balik pintu. Bunyi tempat tidurkah itu? Kemudian terdengar suara seseorang. Suara Philip! "He, Gussy! Kaudengar suara burung hantu itu? Bunyinya begitu dekat — seakan-akan burung itu ada di dalam ruangan ini!" Tapi tidak terdengar suara Gussy menjawab. Anak itu rupanya tidur pulas. "Philip! Philip!" Jack memanggil dengan suara lirih, sambil mendekatkan mulutnya ke pintu. Di dalam terdengar suara seruan tertahan, disusul pertanyaan Philip yang kedengarannya heran. "Siapa itu?" "Aku — Jack! Datanglah ke pintu!" Terdengar langkah orang mendekat. Setelah itu Jack mendengar napas mendesah dekat lubang kunci. "Jack! Bagaimana kau bisa sampai ada di situ? Aduh, senangnya hatiku mendengar suaramu, Jack!" "Bagaimana keadaan kalian?" bisik Jack. "Bagaimana Lucy-Ann?" "Kami semua baik-baik saja," balas Philip sambil berbisik pula. "Kami kemari diangkut dengan pesawat terbang...." "Ya, aku tahu," kata Jack. "Lalu — apa yang terjadi setelah itu?" "Lalu kami diangkut kemari dengan mobil," Kata Philip. "Di tengah jalan Gussy mabuk lagi, seperti biasa. Nyonya Tatiosa, yang menjemput kami dengan mobil itu, marah-marah padanya. Sekarang wanita itu ada di puri sini — bersama abangnya, Adipati Paritolen. Selain itu kami tidak tahu apa-apa lagi. Kau mungkin mendengar kabar baru? Gussy sangat cemas, memikirkan nasib pamannya." "Sepanjang pengetahuanku, pamannya itu untuk sementara waktu masih tetap raja," kata Jack. "Tapi kurasa sebentar lagi akan terjadi penggulingan kekuasaan, seperti yang direncanakan komplotan Adipati Paritolen. Orang di sini sudah tahu semua. Dan kalau itu terjadi, Gussy akan menjadi orang penting!" "He, Jack! Kaurasa, bisakah kau membebaskan kami dari tempat ini? Bagaimana kau bisa sampai kemari? Selama ini kusangka kau jauh sekali dari sini, masih tetap berada di Pondok Batu! Padahal kenyataannya kau sekarang ada di balik pintu. Sayang pintu terkunci!" "Ya, memang." jawab Jack. "Coba aku tahu di mana anak kuncinya disimpan, dengan mudah aku akan bisa membukanya. Ngomong-ngomong, jendela di dalam menghadap ke mana? Ke timur, atau ke utara?" "Utara," jawab Philip. "Letaknya berhadapan dengan sebuah menara yang berdiri sendiri. Di menara itu ada lonceng. Kata Gussy, zaman dulu lonceng itu dibunyikan jika ada musuh datang. Jendela kamar kami berhadapan letaknya dengan menara itu." "Lucy-Ann ada bersamamu, Philip?" tanya Jack. "Tidak! ia dan Dinah ditempatkan di kamar sebelah," kata Philip. "Mereka pasti senang, jika tahu kau ada di sini. Sebentar, akan kubangunkan mereka." "Baiklah." Tiba-tiba Jack kaget, ia mendengar langkah orang datang. Dari bunyinya, orang itu masih ada di kaki tangga pilin. "Ada orang datang!" bisiknya cepat-cepat. "Aku harus pergi dari sini. Nanti kucoba datang lagi, lalu kita mengatur rencana." Jack berdiri, lalu memasang telinga. Ya — prajurit yang tadi menjaga di bawah, kini sedang mendaki tangga pilin ke atas. Mungkinkah ia mendengar apa-apa? Jack memandang berkeliling dengan bingung. Di mana ia bisa bersembunyi di langkan sesempit itu? Tapi nanti dulu — itu, peti yang di bawah jendela! Jack bergegas ke tempat itu, lalu mengangkat tutup peti. Disorotkannya senternya ke dalam. Hanya selembar selimut tua saja yang terdapat di situ. Jack melangkah masuk ke dalam peti bersama Kiki, lalu ditutupnya lagi. ia masih sempat melihat sinar senter disorotkan ke atas di tangga, disusul kemudian oleh prajurit yang muncul di langkan. Prajurit itu menerangi tempat itu dengan senternya, sambil memandang berkeliling. Beberapa saat kemudian ia berpaling, lalu turun lagi. Sepatunya yang berat berdentam-dentam mengenai anak tangga yang terbuat dari batu. Jack menghembuskan napas lega. ia buru-buru keluar dari dalam peti, lalu memasang telinga, ia dikagetkan oleh suara Philip, yang berbisik-bisik dekat lubang kunci. "ia sudah pergi lagi. Prajurit yang menjaga, memang biasa datang satu jam sekali kemari untuk memeriksa. Aku tadi lupa menanyakan, Jack — Kiki ada juga di situ?" "Jelas, dong! Selama ini ia ikut terus dengan aku." Philip tidak tahu bahwa Kiki kini terkenal sebagai bintang sirkus, ia bahkan juga tidak tahu, bagaimana caranya Jack bisa sampai di Tauri- Hessia. Wah — banyak sekali yang bisa diceritakannya pada anak-anak yang lain, jika mereka sudah bebas kembali! Kiki sudah tidak tahan lagi, setelah begitu lama disuruh membisu terus. Ia berbisik-bisik. "Bersihkan hidung, tutup pintu, dingdongbel, Polly pilek, hidup Raja!" Philip tertawa pelan. "Senang rasanya bisa mendengar ocehan Kiki lagi. Bagaimana — kubangunkan anak-anak perempuan sekarang?" "Jangan," kata Jack. "Lebih baik aku pergi saja, selama masih bisa. Sampai ketemu, Philip." ia menuruni tangga pilin dengan hati-hati. Sesampainya di bawah ia berhenti, lalu memasang telinga. Di manakah prajurit tadi? Jack mengintip. Rupanya sedang patroli ke ujung lorong sebelah sana. Jack bergegas menyelinap ke ruang samping, dan dari situ ke ruang dansa yang lapang. Sampai di situ ia memandang berkeliling sejenak. Diperhatikannya ruangan yang hanya remang-remang penerangannya itu. Tiba-tiba ia kaget. Di ujung seberang ruangan ada sebuah lukisan berukuran besar. Ketika Jack sedang memandang ke arah situ, tiba-tiba lukisan itu bergerak menyamping, menampakkan lubang gelap yang ternyata ada di belakangnya. Astaga! Apa lagi yang akan terjadi sekarang? Bab 20, JALAN KELUAR Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dari dalam lubang gelap itu. Jack mengenalinya, karena orang itu memakai kaca mata berlensa tunggal. "Itu pasti Adipati," kata Jack dalam hati. "Apakah yang dilakukannya malam-malam di sini? Dan kenapa lewat jalan rahasia?" Orang yang muncul itu melompat turun ke lantai. Saat itu sebuah pintu yang ada di dekatnya terbuka. Seorang wanita melangkah ke luar. Jack juga langsung mengenalinya. Itu pasti Nyonya Tatiosa! Wanita itulah yang pura-pura pusing, lalu mampir di Pondok Batu! Nyonya Tatiosa, istri Perdana Menteri! Rupanya ia hendak mengadakan pertemuan rahasia di situ, dengan abangnya. Dari manakah Adipati tadi? Kenapa kelihatannya begitu gelisah? Kedua orang itu bercakap-cakap. Kelihatan bahwa Nyonya Tatiosa merasa senang, karena ia mencium kedua belah pipi abangnya, serta menepuk-nepuk punggungnya. "Rencananya berjalan lancar rupanya," pikir Jack. "Dan pasti itu ada hubungannya dengan Raja. Mungkin mereka sudah mengatur penangkapannya. Itu berarti Gussy akan dikeluarkan dari ruangan yang di atas tadi, lalu dinobatkan menjadi raja yang baru." Sementara itu kedua orang yang diintai oleh Jack masuk ke ruangan dari mana Nyonya Tatiosa tadi muncul, sambil meneruskan percakapan mereka. Pintu ruangan mereka tutup kembali. Jack mendengar dentingan gelas-gelas. Rupanya mereka berdua sedang merayakan sesuatu. Jack ingin sekali Bill ada di sampingnya saat itu. Tapi mungkin Bill sama sekali tidak menduga bahwa anak-anak ada di Tauri-Hessia. Mungkin saat itu ia sedang mencari-cari mereka ke segala penjuru di Inggris. Jack memandang lubang di dinding, yang semula tersembunyi di balik lukisan. Bagaimana jika ia memasukinya, untuk melihat apa yang ada di dalam? Dentingan gelas serta suara Nyonya Tatiosa yang bercakap-cakap dengan abangnya masih terdengar di ruangan dekat lubang itu. Jack bergegas lari menghampiri lubang gelap yang menganga. Dipanjatnya sebuah kursi, lalu ia memandang ke dalam lubang, ia tidak bisa melihat apa-apa, karena tempat itu gelap. Ketika sedang merogoh senter yang ada di dalam kantungnya, tahu-tahu dilihatnya pintu ruangan yang dimasuki Adipati Paritolen bersama adiknya tadi terbuka kembali. Tidak ada kemungkinan lain bagi Jack saat itu, kecuali cepat-cepat menyusup masuk ke dalam lubang! Jack begitu terburu-buru masuk, sehingga nyaris saja tersungkur. Ternyata di dalam lubang ada tangga yang menuju ke bawah. Jack bergegas menuruninya. ia terpeleset, dan jatuh berdebam di dasar tangga. Selama beberapa detik ia terduduk saja di situ, mendengarkan dengan perasaan cemas. Tapi Adipati Paritolen dan Nyonya Tatiosa rupanya tidak mendengar apa-apa, karena mereka masih terus bercakap-cakap. Jack mendengar suara mereka samar-samar. Kemudian ia mendengar bunyi lain. Bunyi benda bergeser! Tiba-tiba rongga tempat Jack berada menjadi gelap gulita. "Wah, aku terjebak sekarang! Lukisan besar itu sudah dikembalikan ke tempatnya semula," pikir Jack ketakutan, ia naik lagi ke atas, lalu meraba-raba sisi belakang lukisan. Bagian itu rasanya terbuat dari kayu tebal, yang terpasang rapi menutup seluruh lubang, ia berusaha mendorong tutup itu. Tapi sedikit pun tidak bisa digerakkan. Dan Jack juga tidak berani terlalu keras mendorong, karena takut kalau terdengar oleh kedua orang yang mungkin masih di luar. Jack menyalakan senternya, lalu disorotkan ke kaki tangga. Ternyata ada lorong yang berpangkal di situ. Lorong itu pasti menuju ke salah satu tempat. Bahkan mungkin lewat situ, ia akan bisa keluar dari puri. Jack memutuskan untuk mencobanya. Ia menuruni tangga lagi, lalu dimasukinya lorong sempit yang ada di bawah. Jack berkesimpulan bahwa lorong itu mestinya terdapat di dalam tembok, dan letaknya sedikit lebih rendah dari lantai ruangan yang di luar. Setelah beberapa saat, lorong itu tiba-tiba menikung tajam. Kemudian ada lagi tangga menurun. Tangga itu sangat curam. Jack menuruninya. ia mengucap syukur dalam hati, karena membawa senter. Lorong yang dilewatinya berbau pengap. Akhirnya ia tiba di suatu tempat. Di tempat itu ada seberkas sinar memancar ke dalam. Datangnya dari dinding sebelah kiri. Ternyata di situ ada lubang kecil, yang dibuat pada dinding pelapis dari kayu. Jack mengintip ke luar lewat lubang itu. ia melihat sebuah ruangan dengan penerangan remang-remang. Ruangan itu nampaknya di pakai untuk perundingan, karena ia melihat sebuah meja bundar dengan kursi-kursi mengelilinginya. Di atas meja diatur kertas-kertas, persis di depan kursi-kursi yang melingkar. "Hm — lewat lubang ini orang bisa mengintip dengan baik ke dalam," kata Jack pada dirinya sendiri. "Tapi aku harus terus. Ke manakah arah lorong ini, Kiki?" Kiki tidak tahu. Burung kakaktua itu sudah bosan, diajak berjalan di dalam lorong gelap itu. ia menggerutu, sambil bertengger di bahu Jack. Lorong yang dilalui menurun lagi. Tapi kali ini bukan lewat tangga, tapi lorong itu sendiri yang menurun arahnya. Jack harus berjalan sambil menunduk, karena jalan tersembunyi itu Kini semakin sempit dan rendah. Dua orang pasti akan mengalami kesulitan, jika harus berpapasan di situ. Kiki mengomel, karena kepalanya setiap kali membentur langit-langit. "Coba aku bisa mengetahui, ke mana tujuan lorong ini, Kiki," kata Jack. "Aku pun tidak senang, harus lewat sini! — He, di depan ada ruangan!" Ruangan yang dimasuki berbentuk bulat. Nampaknya merupakan gudang, karena di situ banyak barang-barang usang. Jalan masuk ke situ hanya sebuah lubang yang berbentuk bulat pula. Jack memasuki lubang itu. ia mengucap syukur, bahwa badannya tidak segendut Bos di sirkus. "Ke mana kita sekarang?" katanya dalam hati. Disorotkannya senternya, memperhatikan sekelilingnya. Hanya barang-barang usang saja yang nampak di situ. Kemudian diarahkannya sinar senter ke langit-langit, yang ternyata tingginya hanya sekitar lima sentimeter saja di atas kepala Jack. "Wah — ada tingkap di situ! Mudah-mudahan saja aku bisa membukanya!" Jack mendorong sekuat tenaga — dan pintu tingkap terbuka ke atas, lalu jatuh dengan bunyi keras! Jack kaget setengah mati, sedang Kiki menjerit seperti burung hantu! Tapi tidak ada yang datang memeriksa. Jack menunggu selama semenit. Setelah itu ia memanjat ke luar. Di manakah ia sekarang? Anak itu mulai merasa seolah-olah sedang bermimpi buruk, karena ia masih saja belum sampai ke mana pun juga. ia masih harus meneruskan langkah, melewati tangga, lorong, lubang, gudang, pintu tingkap — dan sekarang, apa lagi? ia menyalakan senternya lagi. Ternyata ia berada dalam sebuah ruangan berdinding batu. Ruangan itu sempit, serta berlangit-langit tinggi. Di sekelilingnya bergantungan tali temali. Ketika senter disorotkan ke atas, Jack langsung sadar di mana ia berada saat itu! "Aku berada dalam menara lonceng! Menara lonceng yang berseberangan letaknya dengan kamar Philip! Lorong yang kulewati tadi rupanya jalan rahasia untuk masuk ke dalam puri! Wah, bukan main!" Jack menghampiri pintu ruang di dasar menara lonceng itu. Tapi yang ada hanya ambang saja, tanpa daun pintu. Menara itu rupanya khusus dibangun sebagai tempat lonceng saja. Dari ambang pintu, Jack melihat bahwa menara itu di bangun di sebelah luar tembok puri, dan bukan di dalam! Ia menarik napas lega. ia berhasil keluar! Kini ia tinggal lari menuruni lereng, menuju ke perkemahan sirkus. Tidak ada lagi penghalang di depannya. Tidak ada tembok yang harus dipanjat, atau jendela dari mana ia harus meloncat ke bawah, ia sudah sampai di luar puri. "Yuk, Kiki — kita sudah ada di luar sekarang," kata Jack dengan suara pelan. "Kita kembali ke sirkus. Aku sudah sangat mengantuk!" Tidak lama kemudian Jack menyusup masuk ke dalam karavan Pedro. Lantai berderak-derik ketika ia masuk. Tapi Pedro tidak terbangun. Sambil membuka pakaian, Jack mengenang pengalamannya tadi. ia merasa lega, karena anak-anak ternyata selamat. Mereka masih tetap aman, selama Gussy belum diangkat menjadi raja. Tapi jika itu sampai menjadi kenyataan, dan pemerintah Inggris memihak pada raja yang digulingkan, keadaan mereka bisa menjadi gawat. "Mereka harus cepat-cepat diselamatkan, sebelum paman Gussy ditawan dan Gussy dinobatkan sebagai penggantinya," kata Jack dalam hati. "Aku harus berusaha menghubungi Bill. Tapi itu pasti sulit, karena penduduk daerah itu mungkin memihak Adipati Paritolen. Jika aku mencoba mengirim kabar pada Bill, ada kemungkinan aku sendiri juga akan tertangkap! Jack tertidur, karena capek setelah mengalami berbagai kejadian menegangkan malam itu. ia bahkan tidak terbangun keesokan paginya, ketika beruang-beruang asuhan Fank menimbulkan kegemparan, karena berusaha mendobrak kandang. Pedro bercerita mengenai hal itu, ketika mereka sedang sarapan pagi. "Tidak ada yang berani mendekati kandang beruang-beruang itu," katanya. "Sampai saat ini mereka belum berkelahi — tapi itu nanti pasti terjadi. Dan kalau mereka sampai berkelahi, mereka takkan bisa lagi ditampilkan untuk mengadakan pertunjukan." "Fank belum sembuh juga?" tanya Jack. "Belum—sakitnya malah bertambah parah," kata Pedro. "Bos sudah benar-benar bingung sekarang. Sayang teman yang kau ceritakan itu tidak ada di sini. Jika ia benar-benar sehebat ceritamu, ada kemungkinan ia bisa menenangkan beruang-beruang itu." Pedro hanya berkelakar saja. Tapi Jack menanggapinya dengan serius, ia merasa yakin, Philip pasti mampu menangani beruang-beruang itu. Bagaimana jika ia mengatakan pada Pedro di mana Philip saat itu berada — dan jika Pedro mau membantunya membebaskan anak-anak, setelah itu Philip pasti mau berusaha menenangkan beruang-beruang? "Apa yang sedang kaupikirkan?" tanya Pedro, sambil memandang Jack dengan heran. "Kelihatannya begitu serius!" "Begini - aku mungkin bisa mendatangkan teman yang kuceritakan itu. Tapi aku memerlukan bantuan," kata Jack. "ia — sebenarnya ia tidak jauh dari sini." "O ya? Kenapa selama ini tidak kaukatakan?" kata Pedro. "Di mana ia sekarang?" Jack ragu-ragu. Bisakah Pedro dipercaya? Untuk mengetahuinya ia bertanya pada anak itu. "Katakan terus terang Pedro - apakah kau pengikut salah satu pihak dalam urusan Raja dan Adipati Paritolen? Maksudku, bagaimana pendapatmu tentang urusan itu?" "Aku tidak punya pendapat," kata Pedro dengan segera. "Bagiku masa bodoh, siapa yang menjadi raja! Itu urusan mereka sendiri. Aku cuma tidak ingin di sini pecah perang saudara — karena kalau itu terjadi, kami harus cepat-cepat meninggalkan negeri ini. Sirkus selalu menjadi korban, kalau ada peperangan. — Tapi kenapa kau bertanya?" "Lain kali sajalah kujelaskan." Tiba-tiba Jack merasa bahwa ia sudah terlalu banyak berbicara. "Pokoknya begini saja — jika temanku itu bisa kudatangkan kemari — dan bersamanya, juga teman-temannya — kita akan bisa mencegah pecahnya perang saudara — sedang beruang- beruang asuhan Fank akan bisa ditenangkan, dan...." "Dan apa lagi?" kata Pedro sambil tertawa. "Kau hendak mempermainkan aku, ya? Jangan suka membual, ah!" Jack tidak mengatakan apa-apa lagi. Tapi ketika kemudian ternyata bahwa Fank makin parah sakitnya, sedang beruang-beruangnya semakin gelisah, timbul lagi keinginan Jack untuk lebih banyak bercerita pada Pedro. Alangkah baiknya jika Philip dan anak-anak yang lain bisa diselundupkan ke sirkus — karena mereka akan bisa bersembunyi dengan aman di situ. Tapi Gussy agak sulit, karena anak itu gampang sekali dikenali. Bagaimana enaknya menyamarkannya? Kemudian Jack mendapat akal. "Ah, tentu saja! Dengan rambutnya yang panjang, matanya yang besar, dan bulu matanya yang lentik tebal seperti bulu mata anak perempuan, Gussy bisa didandani seperti anak gala-galanya pada Pedro." Malam itu sirkus membuka pertunjukannya di kota Borken. Pembukaan berlangsung dengan tiupan terompet meriah yang diiringi pukulan genderang. Penduduk kota yang mendengar keramaian itu langsung berdatangan. Pertunjukan beruang tentu saja terpaksa dibatalkan. Tapi yang lain-lainnya berjalan dengan lancar. Para penonton banyak yang mengomel, karena tidak jadi menyaksikan pertunjukan beruang yang sebelumnya sudah diumumkan. Ada di antara mereka yang menuntut agar uang karcis dikembalikan. "Fank harus tampil, tidak peduli sedang sakit atau tidak. Pertunjukan beruang harus dilangsungkan," kata Bos mengomel-ngomel. "Kita harus mencari pengganti Fank. Ah, tidak — mana Fank? Beruang-beruang itu semakin gawat saja, tidak lama lagi mereka pasti sudah saling bercakaran!" Sehabis makan malam, Jack mendatangi Pedro. "Banyak yang ingin kuceritakan padamu," katanya. "Aku memerlukan bantuanmu, Pedro. Kau punya waktu? Urusannya penting sekali! Maukah kau mendengarkan?" Pedro agak heran menghadapi sikap Jack yang tidak seperti biasanya. Begitu serius! "Ya, tentu saja aku mau," kata Pedro. "Katakanlah apa yang hendak kauceritakan. Aku berjanji, aku pasti mau membantumu." Bab 21, RENCANA YANG BERANI "Di manakah kita sebaiknya berbicara?" kata Jack. "Bagaimana kalau di dalam karavanmu saja — karena di situ kurasa takkan ada yang bisa ikut mendengarkan." Kedua anak itu masuk ke dalam karavan yang sempit. Pedro semakin heran, melihat Jack menutup pintu. Apa-apaan ini? Kemudian ia mengerti, setelah Jack mulai bercerita. Tentang Gussy yang dititipkan dan ikut berlibur di Pondok Batu, dan kemudian ternyata bahwa ia seorang pangeran. Pedro sangat terkejut ketika mendengarnya. Apalagi ketika Jack menuturkan tentang peristiwa penculikan, lalu bagaimana Jack dengan sembunyi-sembunyi mengikuti mereka — mula-mula menyelundup ke dalam tempat bagasi mobil, kemudian menyusup masuk ke tempat barang di pesawat terbang. "Wah, kau benar-benar berani," kata Pedro. ia memandang Jack dengan kagum. "Kau..." Tapi Jack langsung memotong, ia melanjutkan ceritanya, sampai ke petualangan yang dialaminya ketika menyusup masuk ke Puri Borken. "Baru sekali ini aku mendengar pengalaman seperti itu," kata Pedro dengan kagum. "Tapi kenapa kau kemarin tidak mengajak aku? Kau kan tahu, aku pasti mau jika diajak. Menyusup seorang diri ke sana - itu kan perbuatan berbahaya!" "Ah — aku sudah biasa bertualang," kata Jack. "Aku sebelumnya ingin tahu, apakah adikku serta anak-anak yang lain memang ada di tempat itu. Tapi sekarang aku memerlukan bantuanmu. Pedro. Aku harus membebaskan mereka sebelum Raja ditawan atau dibunuh, dan Gussy dinobatkan sebagai penggantinya. Soalnya begini! Jika Gussy tidak ada di tangan mereka, maka takkan ada gunanya jika raja yang sekarang disingkirkan. Para penculik memerlukan Gussy agar bisa dinobatkan mengganti pamannya. Mereka ingin menobatkannya menjadi raja, supaya setelah itu mereka bisa berbuat semau-mau mereka lewat Gussy. Yang sebenarnya berkuasa nanti Adipati Paritolen dan adiknya, Nyonya Tatiosa, serta Perdana Menteri. Kau mengerti?" "Ya, aku mengerti," kata Pedro. "Tapi aku tidak biasa langsung tersangkut dengan urusan begini. Rasanya seperti tidak benar-benar terjadi." "Tapi ini merupakan kenyataan, Pedro," kata Jack. "Ingatlah — jika Philip bisa kita bawa kemari, ia nanti pasti akan mampu menangani beruang-beruang itu, menggantikan Fank. Sungguh — anak itu hebat sekali kalau disuruh menghadapi binatang - tidak peduli binatang apa! Kami pernah mengalami dikejar-kejar kawanan anjing herder, yang mulanya kami sangka serigala. Tapi begitu mereka sudah dekat, Philip berhasil menjinakkan mereka, sehingga anjing-anjing bersahabat dengan kami!" Pedro nampak terkesan. Dari semula ia sudah merasa bahwa Jack bukan seperti anak yang lain- lainnya. Tapi kisah yang dituturkannya begitu luar biasa, sehingga sulit baginya untuk bisa percaya. Tapi Pedro percaya, karena ia yakin Jack takkan mungkin berbohong. "Lalu apa yang harus kulakukan?" tanyanya setelah beberapa saat membisu. "Aku tentu saja mau melakukan apa saja yang kausuruh. Tapi terus terang saja ya, kurasa mustahil kita bisa membebaskan keempat anak itu, yang terkurung di ruang menara Puri Borken, dijaga prajurit yang mondar-mandir di kaki tangga. Tidak mungkin!" Jack duduk sambil mengerutkan kening, ia sendiri juga mulai sangsi, apakah niatnya mungkin dilaksanakan. Selama itu sudah banyak rencana yang dipikirkannya — tapi tidak satu pun rasanya bisa dijalankan dengan berhasil. ia tidak bisa masuk lagi lewat jendela yang letaknya di atas rumah cuci. Itu sudah pasti! Sementara itu orang di sana tentunya sudah menemukan tangga panjat yang tergeletak di pelataran. Lagi pula, katakanlah ia bisa masuk lewat situ, lalu setelah itu bagaimana caranya mengeluarkan Philip serta yang lain-lainnya dari dalam ruang yang terkunci di atas menara? ia kan tidak tahu, di mana anak kunci pintu ruangan itu disimpan! "Masuk lewat jalan yang satu lagi, juga tidak ada gunanya," katanya dalam hati. "Kalau sudah berhasil menyusup masuk lewat lorong-lorong itu, kemudian aku akan sampai di belakang lukisan besar. Dan aku tidak tahu bagaimana cara menggeser lukisan itu ke samping! Tapi katakanlah aku berhasil melakukannya — aku masih saja tidak tahu di mana anak kunci ruang menara disimpan." Pedro ikut duduk, sambil berpikir-pikir. Benar-benar menjengkelkan — bersama Jack, ia memiliki kemungkinan untuk mencegah pecahnya perang saudara di Tauri-Hessia, tapi kedua-duanya tidak tahu apa yang harus dilakukan! "He, Jack," katanya setelah beberapa lama berpikir. "Bagaimana jika soal ini kita ceritakan pada Toni dan Bingo? Kedua pemain akrobat itu sahabat karibku. Mungkin mereka nanti bisa mengatur rencana. Mereka sudah biasa mencari akal yang bagus-bagus!" "Tapi bagaimana jika mereka kemudian membocorkan rahasia?" tanya Jack. Ia tidak begitu setuju dengan niat Pedro. "Orang lain tidak boleh sampai mengetahuinya. Soalnya, begitu Adipati sedikit saja merasa curiga bahwa ada orang hendak mencoba membebaskan tawanannya, anak- anak pasti dengan cepat akan dipindahkannya ke tempat lain. Bukan itu saja — ia pun mungkin lantas mempercepat pelaksanaan rencananya, sehingga kita tidak mungkin lagi bisa mencegah." "Kalau tentang Toni dan Bingo, kau tidak perlu khawatir," kata Pedro. "Mereka benar-benar sahabat karibku! Dan kalau disuruh melakukan tugas macam begini, mereka sudah pasti langsung mau membantu. Sebentar — akan kujemput mereka." Pedro pergi ke luar, meninggalkan Jack seorang diri. Jack merasa gelisah. Perasaannya tidak enak, jika terlalu banyak yang tahu tentang urusan itu. Tidak lama kemudian Pedro sudah kembali, bersama Toni dan Bingo. Dalam pakaian sehari-hari, penampilan mereka sedikit pun tidak seperti pemain akrobat. Mereka nampak seperti pemuda biasa. Bertubuh langsing dan cekatan, dengan rambut lebat, serta wajah yang riang. "Untuk apa kalian memerlukan kami?" tanya Toni. Bahasa Inggris pemain akrobat yang jago berjalan di atas tali itu tidak sempurna, tapi bisa dipahami. "Ada kesulitan dengan Bos?" "Bukan, bukan begitu," kata Pedro. "Bagaimana, Jack — bolehkah aku bercerita pada mereka? Kalau boleh, lebih baik aku menceritakannya dalam bahasa Italia saja. Dengan begitu bisa lebih cepat, karena bahasa itulah yang paling mereka pahami." "Baiklah," kata Jack. ia agak iri pada Pedro. Anak sirkus yang sudah sering mengembara ke mana-mana itu menguasai berbagai bahasa. Mungkin ada setengah lusin bahasa asing yang dikuasainya! Percakapan yang menyusul, sama sekali tidak bisa diikuti oleh Jack. Pedro berbicara dengan cepat sekali, sambil menggerak-gerakkan tangan seperti kebiasaan para artis sirkus yang terdiri dari bangsa Spanyol, Prancis, dan Italia. Bingo dan Toni mendengarkan dengan mulut ternganga. Mereka rupanya juga sangat heran, seperti Pedro tadi. Kemudian mereka yang berbicara. Mereka sangat bersemangat. Jack sudah tidak sabar lagi, ingin mengetahui apa yang mereka katakan. Akhirnya Pedro menoleh padanya, sambil tertawa lebar. "Aku sudah menceritakan segala-galanya,” katanya. "Dan mereka langsung menemukan akal, bagaimana anak-anak itu bisa dikeluarkan dari ruang menara. Rencana mereka benar-benar luar biasa — tapi bagus sekali!" "Apa?" kata Jack dengan gembira, lalu menambahkan, "Tapi mudah-mudahan tidak mustahil dilaksanakan, Pedro!" "Bagaimana — kuceritakan saja rencana kalian padanya?" tanya Pedro pada Toni. "Kalau aku yang bercerita, bisa lebih cepat." "Ya, ceritakanlah," kata Toni sambil mengangguk. "Nah — rencana mereka begini," kata Pedro memulai penjelasannya. "Ketika aku tadi bercerita bagaimana kau bisa keluar lewat tingkap di dasar menara lonceng yang tinggi, mereka langsung mendapat akal. Tadi kukatakan, letak menara itu berseberangan dengan jendela menara tempat keempat anak itu ditawan. Lalu mereka mengatakan, bagi mereka mudah saja untuk melemparkan tali dari puncak menara lonceng, ke jendela kamar mereka!" "Aku mau saja percaya, tapi lalu apa gunanya?" tanya Jack. "Maksudku — anak-anak mana mungkin bisa menyeberang lewat tali! Mereka pasti jatuh!" "Coba dengar dulu," kata Pedro. "Kau kan sudah pernah melihat ayunan yang dipakai oleh Toni dan Bingo dalam pertunjukan mereka. Nah — ayunan itu bisa dipasang ke tali dengan perantaraan roda-roda kerekan. Dengan tali lain, ayunan itu bisa digerakkan maju-mundur. Jika anak-anak mau disuruh duduk bergantian di atas ayunan, mereka kemudian akan bisa ditarik ke seberang. Ya, kan? Itu urusan gampang!" "Astaga!" Jack benar-benar tercengang. "Gagasan apa itu? Mana mungkin bisa?" "Bisa saja," kata Toni bersemangat. "Mula-mula kita naik - ke menara lonceng. Lalu tali diseberangkan ke tempat teman-temanmu. Kalau sudah, aku berjalan ke sana. Itu gampang! Ayunan kubawa serta, kutarik dengan tali. Lalu anak-anak secara bergantian kusuruh duduk di atas ayunan — lalu aku berjalan lagi di atas tali sambil menarik ayunan — satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali — semuanya selamat! Bagus kan, ideku itu?" "Tapi apakah benar-benar bisa dilakukan? Kedengarannya sangat berbahaya," kata Jack yang masih tetap merasa sangsi. "Tidak — dengan cara begini malah gampang," kata Toni. "Aku yang akan melakukan semuanya. Aku, Toni!" Bingo hanya mengangguk-angguk saja. Rupanya ia sependapat dengan Toni bahwa gagasan itu bagus, dan juga bisa dilaksanakan. Yang jelas, gagasan begitu hanya mungkin timbul dalam benak pemain akrobat seperti kedua pemuda itu. Itu sudah pasti, kata Jack dalam hati. "Dan sesudah itu, kawanmu — siapa namanya, katamu? - Filip? — nah, anak itu kemudian akan membuat beruang Fank menjadi jinak kembali!" kata Toni. "Semua akan senang kalau begitu!" "Ya, semua akan senang," kata Jack, ikut-ikutan bersemangat. Bagaimanapun juga, kedua pemain akrobat itu memang sudah biasa melakukan hal-hal seperti itu. Bagi mereka, itu biasa saja — walau menurut orang biasa mungkin sangat berbahaya, bahkan mustahil bisa dilakukan. "Kita melakukannya besok malam, sesudah pertunjukan," kata Toni lagi. "Sementara itu kami akan menyiapkan segala-galanya. Bos kita beri tahu atau tidak?" "Jangan dulu," kata Pedro, setelah menimbang-nimbang sebentar. "Dan kalau nanti kita ceritakan, lebih baik seperlunya saja. Tentang Pangeran dan yang lain-lainnya, tidak usah! Kita hanya mengatakan bahwa kita akan menjemput seorang teman Jack yang bisa membantu menangani beruang-beruang. Tentang ketiga anak lainnya, nantilah kucari akal apa yang harus kita katakan. Tapi itu soal nanti!" Toni dan Bingo kembali ke tempat mereka, sambil berembuk dengan bersemangat. Rupanya mereka sangat asyik, akan melakukan sesuatu yang mereka gemari! Keesokan harinya Jack tidak bisa tenang. Pikirannya selalu kembali pada rencana Toni. Akan berhasilkah rencana itu? Bagaimana jika Lucy-Ann nanti tidak berani duduk di atas ayunan yang akan diluncurkan lewat tali? Dan bagaimana dengan Gussy? Anak itu pasti akan setengah mati ketakutan! Tapi tidak ada jalan lain yang lebih baik, untuk bisa lari dari ruangan menara yang terkunci itu! Bahkan hanya itulah jalan satu-satunya! Pertunjukan sirkus dimulai seperti biasa Para penonton kembali mengomel, karena tidak ada pertunjukan dengan beruang. Fank sebenarnya mau mengadakan pertunjukan, tapi ia tidak mampu. Bahkan berdiri saja tidak kuat. Beruang-beruang nampak gelisah, begitu mendengar bunyi ramai tanda pertunjukan sudah dimulai. Tidak ada yang berani mendekati kandang mereka sehari itu. Makanan mereka dimasukkan secara buru-buru, dengan bantuan tongkat panjang. Tapi makanan itu tidak disentuh beruang-beruang itu. Mereka mondar-mandir di dalam kandang sambil menggeram-geram. Akhirnya pertunjukan usai. Para penonton kembali ke kota, sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Jack membantu Pedro membersihkan tempat pertunjukan. "Kau memikirkan nanti malam?" bisik Pedro padanya. "Aku tadi melihat Toni membawa ayunan. Mestinya ia hendak memendekkan tali-talinya, supaya tidak terlalu terayun-ayun nanti." Sehabis makan malam, ibu Pedro langsung masuk ke karavannya, ia sudah mengantuk. Jack ikut dengan Pedro ke tempat tinggalnya. Mereka duduk di situ, menunggu Toni dan Bingo datang untuk mengatakan bahwa mereka sudah siap. Beberapa waktu kemudian pintu karavan diketuk dengan hati-hati dari luar. Pedro membukakan. "Yuk!" kata Toni. Dengan cepat kedua anak itu menyelinap ke luar. Mereka ikut dengan Toni dan Bingo mendaki lereng bukit puri. Puri Borken menjulang tinggi di atas. Begitu besar kelihatannya, suram dan misterius. Mereka sampai di menara lonceng. Siangnya Toni dan Bingo sudah datang ke situ, untuk meneliti. "Kita masuk," kata Pedro dengan suara pelan. Begitu semua sudah berada di dalam, ia menyalakan senter yang dibawa. Sinarnya menerangi tali kokoh yang dibawa Bingo, serta ayunan yang dipegang oleh Toni. Semua mendongak, memandang ke arah langit-langit menara. Bagaimana caranya naik ke sana? "Di dinding sebelah situ ada tangga besi," kata Toni. "Aku dulu yang naik. Kalian menyusul." Bab 22 MELARIKAN DIRI Tidak sukar memanjat tangga besi itu. Dengan cepat Toni sudah sampai di puncak menara. Tapi Kiki lebih cepat lagi. Ia terbang membubung, lalu hinggap di atas lonceng. Burung iseng itu kaget mendengar lonceng itu berbunyi sedikit, ketika ia hinggap di situ. Lonceng itu tergantung pada sebatang balok besar. Di atasnya ada semacam langkan dari batu yang sisinya berlubang, tempat tangga besi lewat. Toni naik sampai ke langkan, disusul oleh Jack dan Pedro. Bingo naik paling belakang. Di keempat sisi langkan ada lubang besar berbentuk jendela melengkung. Keempat lubang itu masing-masing menghadap ke utara, selatan, timur, dan barat. Toni mengintip lewat lubang yang berhadapan dengan jendela menara puri di seberang. ia menaksir jarak yang memisahkan. Jack ikut memandang ke seberang. Dalam gelap, jarak yang terbentang rasanya jauh sekali! ia bergidik. Ingin rasanya membatalkan rencana itu, setelah melihat betapa tingginya mereka dari tanah. Tapi Toni dan Bingo bersikap santai-santai saja. Keduanya berunding sebentar. Terasa sekali bahwa mereka yakin sekali akan mampu melakukan tugas itu. Kemudian Toni mengatakan sesuatu pada Pedro, yang langsung menerjemahkannya untuk Jack. "Kata Toni, ia sudah siap. ia bertanya, bagaimana kita bisa menarik perhatian kawan-kawanmu yang ada di seberang? Kita memerlu kan bantuan mereka, menangkap lalu mengikat tali yang akan dilemparkan ke sana!" "Kita bisa mencoba dengan menyalakan senter beberapa kali. Atau dengan menirukan suara burung hantu," kata Jack. "Philip pasti akan memandang ke luar." "Kita coba saja dengan suara burung hantu," kata Toni. Jack menangkupkan kedua tangannya, lalu menirukan suara itu — dua kali berturut-turut. Setelah itu mereka menunggu, sambil memandang ke arah jendela yang gelap di seberang. Sesaat kemudian nampak sinar memancar sebentar-sebentar di situ. "Itu pasti Philip," kata Jack dengan gembira, lalu membalas isyarat tadi dengan senternya. "Philip!" panggilnya dengan suarah lirih. "Kaukah itu?" "Ya! Itu kau, Jack? Kau di mana? Kau naik ke menara lonceng?" "Bilang padanya, Toni akan menyeberang lewat tali," kata Pedro. "Tapi sebelumnya tali itu harus kita rentangkan dulu ke sana. Toni akan melemparkan tali itu dengan dibanduli batu. Katakan pada temanmu agar bersiap untuk menangkapnya!" "Aku tahu jalan yang lebih baik!" kata Jack bersemangat. "Biar Kiki saja yang menyeberangkannya! Tentu saja bukan tali yang besar — tapi yang lebih tipis, yang terikat padanya. Kiki bisa menggondolnya, lalu terbang ke seberang." "Ya — itu bagus!" kata Toni. "Dengan begitu, kita menghemat waktu!" "He, Philip," seru Jack dengan suara lirih. Kiki akan terbang ke tempatmu sekarang, dengan membawa tali. Kalau ia sudah sampai di situ, kau ambil tali itu lalu kau tarik. Pada tali itu terikat tali lain, yang lebih besar. Tali itu nanti kauikatkan pada sesuatu, supaya bisa terentang. Jangan sampai kendur!" "Baiklah! Tapi — aku tidak mengerti..." "Sudahlah, sekarang kau panggil saja Kiki," kata Jack. Ujung tali yang kecil sudah diberikan pada Kiki. Burung itu menarik-nariknya. "Bawa ke tempat Philip, Kiki," kata Jack. Sementara tu Philip mulai memanggil-manggil. "Kiki! Kiki!" Kiki langsung terbang ke seberang, dengan membawa ujung tali. Burung cerdik itu mengerti, bahwa tali itu harus dibawa ke tempat Philip. Tapi ia tidak tahu bahwa di belakangnya ada tali yang panjang, yang dengan cepat diulur oleh Toni! Kiki hinggap di bahu Philip. Ujung tali dilepaskannya, karena ia hendak mencubit telinga anak itu. Untung saja Philip sigap. Dengan cepat disambarnya ujung tali, lalu ditariknya. Dengan segera tali yang lebih besar sudah sampai di seberang. Philip menarik terus, sampai terasa sentakan untuk memberi isyarat bahwa ia harus berhenti. Kini tinggal mengikatkan tali itu pada sesuatu. Tapi apa? Dalam kamar Philip ada lentera. Ia menyalakannya, supaya bisa lebih jelas melihat ke mana tali bisa diikatkan. Di ujung tali itu ada gelang dari besi. Jadi ia tinggal memasukkan gelang itu pada suatu benda yang tidak bisa tergeser. Nah kaki tempat tidurnya terbuat dari besi! Philip menariknya ke jendela, lalu diselipkannya gelang besi di ujung tali ke salah satu kaki tempat tidur. Dengan begitu tali itu takkan mungkin tergeser, karena kaki tempat tidur sudah menempel ke tembok. Bunyi tempat tidur yang diseret oleh Philip menyebabkan Gussy terbangun. "Ada apa?" tanya anak itu. Ia duduk di tempat tidur, ia tidak bisa melihat dengan jelas, karena Philip sengaja mengecilkan nyala lentera. "Sst, jangan berisik," desis Philip. "Jack ada di luar Bangunkan anak-anak perempuan. Tapi jangan keras-keras, nanti terdengar oleh penjaga!" Di atas menara lonceng, Toni mengencangkan bentangan tali, dibantu oleh Bingo. Mereka merasa bahwa ujung yang di seberang sudah terpasang kokoh. "Cukup kokoh!" kata Bingo pada Toni dalam bahasa mereka. "Kau bisa berjalan di atasnya dengan aman!" Toni tidak membuang-buang waktu lagi. Ia melangkah ke luar, lalu berdiri di ambang jendela yang sempit. Bingo mengarahkan sinar senter untuk menerangi tali yang terentang ke seberang. Toni memijakkan kakinya ke atas tali untuk menguji. Jack melongo, ketika tahu-tahu pemuda itu sudah berlari dengan cepat ke seberang! Kelihatannya dengan enak saja ia melakukannya.! Sesampainya di seberang. Toni berhenti sejenak sambil berdiri di ambang jendela. Setelah itu ia menyusup masuk ke dalam kamar. Philip cepat-cepat datang memegang. Mukanya pucat pasi. "Aduh, Anda kan bisa jatuh tadi?" katanya dengan gugup. Sementara itu Dinah dan Lucy-Ann sudah dibangunkan oleh Gussy. Kini mereka ada di kamar itu. Kiki juga ada di situ. Burung itu sangat gembira melihat mereka. "Siapa dia?" tanya Lucy-Ann. ia kaget melihat Toni. "Apakah yang terjadi di sini, Philip?" "Sekarang tidak ada waktu untuk memberi penjelasan," kata Philip, ia sendiri sebenarnya juga masih agak bingung. "Pokoknya, kita akan dibebaskan!" Sementara itu Toni sibuk menarik tali besar yang dibawanya menyeberang. Anak-anak memperhatikannya dengan perasaan ingin tahu. Setelah beberapa saat menarik, terdengar bunyi sesuatu menyentuh dinding menara sebelah luar. Toni menoleh ke arah Philip. "Kau duduk di situ," katanya, sambil menunjuk ayunan yang tergantung di bawah tali. "Tapi jangan bergerak-gerak! Nanti kau akan kuhela ke seberang." Philip kaget. Dipandangnya ayunan yang tergantung di bawah tali. Di ujung atas ayunan itu terpasang roda kerekan. Ah — itu rupanya rencana mereka, kata Philip dalam hati. ia dan anak- anak yang lain harus bergantian duduk di ayunan, yang kemudian dihela ke seberang, ke menara lonceng. Wah! "Ayo cepat!" kata Toni dengan nada tidak sabar. "Kau paling dulu!" "Baik," kata Philip, ia memantapkan hati. Jika anak-anak yang lain melihat bahwa ia bisa sampai dengan aman ke seberang, mereka takkan begitu merasa takut. "Aku dulu yang menyeberang," katanya pada Gussy dan kedua anak perempuan yang nampak kaget. "Setelah itu menyusul Lucy-Ann, lalu kau, Gussy — dan yang paling akhir kau, Dinah." Philip naik ke tempat tidur, dan dari situ ke ambang jendela, ia berpegangan ke tali yang terentang di luar. Tahu-tahu ia dijunjung oleh Toni, dan didudukkan di atas ayunan "Aku menyeberang sekarang," kata Toni pada mereka yang memandang dengan gelisah dari menara lonceng. Setelah itu ia berlari lagi di atas tali, sambil menarik ayunan yang diduduki Philip. Tahu-tahu mereka sudah sampai di seberang. Philip dijunjung lagi, lalu ditarik ke dalam, ke langkan di atas menara lonceng. Jack menyalaminya. Kedua anak itu tidak mampu mengatakan apa-apa, karena terharu. Sementara itu Toni sudah lari ke seberang lagi, sambil menarik ayunan. Lucy-Ann sebenarnya sangat takut. Tapi ia menabahkan hati. Dibantu oleh Toni, ia duduk di atas ayunan. Napas Lucy- Ann tersentak, ketika terlintas dalam ingatannya bahwa saat itu ia berada di tempat yang sangat jauh dari tanah. Namun dalam beberapa detik saja, ia pun sudah sampai di seberang dengan selamat. Dengan segera Toni kembali lagi, untuk menjemput Gussy. Anak itu gemetar ketakutan, Toni sampai khawatir kalau-kalau anak itu terjatuh di tengah jalan. Tapi Gussy berpegang erar-erat ke tali samping dari ayunan yang diduduki. Hampir saja ia menangis karena lega, ketika sampai di seberang dengan selamat. Menyeberangkan Dinah tidak menimbulkan kesulitan. Anak itu tidak takut. Atau kalau pun takut, ia tidak menampakkannya, ia duduk dengan tenang di ayunan, sementara Toni menghela dengan langkah pasti. Semua bergembira. Lucy-Ann tidak henti-hentinya merangkul Jack. Langkan sempit di puncak menara penuh sesak, sehingga hampir tidak ada tempat lagi untuk Toni. "Bagaimana dengan tali ini?" tanya Pedro. "Bagaimana cara kita mengembalikannya kemari?" "Biar saja tergantung di situ," kata Toni. "Aku punya tali lain, sebagai cadangan." "Yuk, kita turun saja sekarang," kata Jack. ia agak khawatir, jangan-jangan kemudian terjadi sesuatu yang menggagalkan usaha pembebasan itu. "Aku dulu." Tidak lama kemudian semua sudah sampai di kaki menara. "Sekarang kita harus sangat berhati-hati," bisik Jack, lalu menuruni lereng, menuju ke perkemahan sirkus, ia menggandeng adiknya. Lega perasaannya sekarang, karena Lucy-Ann sudah berhasil diselamatkan. Gussy ikut saja, tanpa mengerti apa sebenarnya yang terjadi. "Anak-anak perempuan bisa tidur di dalam karavanku," kata Pedro pada Jack. "Sedang kita bisa di kolongnya." Tapi sebelum mereka sampai di perkemahan sirkus, tahu-tahu terdengar bunyi yang sangat nyaring. Mereka tertegun, karena kaget dan takut. Bunyi apakah itu? "Itu bunyi lonceng!" seru Jack, sambil menutupi telinga, "Lonceng yang di menara, lalu lonceng di gereja dan masih ada satu lonceng lain. Apakah yang terjadi? Apakah sudah ketahuan bahwa Gussy tidak ada lagi di dalam menara?" Orang-orang sirkus terbangun, lalu bergegas keluar dari karavan masing-masing. Semua bingung mendengar bunyi lonceng-lonceng yang tidak henti-hentinya berdentang. Kemudian terdengar suara orang ramai berteriak-teriak di dalam kota. Lampu-lampu dinyalakan di mana-mana. Sementara itu lonceng-lonceng masih terus berdentang dentang. "Lonceng-lonceng di desa-desa sekeliling juga dibunyikan," kata Jack dengan heran. "Rupanya bunyi itu untuk memberi tahu penduduk! Tapi memberi tahu tentang apa? Mereka tidak mungkin sudah tahu semua bahwa Gussy melarikan diri. Kecuali Adipati Paritolen dan adiknya, tidak ada yang tahu bahwa ia ditawan di atas menara." Tidak — lonceng-lonceng itu tidak berdentangan karena Gussy, melainkan untuk menyampaikan kabar lain. Kabar yang serius. "Raja hilang! Raja tidak bisa ditemukan! Raja hilang!" Penduduk kota berseru-seru, saling menyampaikan berita itu dengan perasaan risau. Apakah yang terjadi dengan raja mereka? Jangan-jangan tewas dibunuh orang! Raja diculik musuh. Tapi siapakah mereka? "Wah — untung kita cepat-cepat membebaskan Gussy," kata Jack. "Coba tadi menunggu setengah jam lagi, kini pasti sudah terlambat!" "Ya," kata Philip. "Aku ingin bisa melihat tampang Adipati Paritolen saat ia masuk ke dalam kamar di atas menara untuk menjemput Gussy dan menobatkannya menjadi raja yang baru — dan melihat bahwa Gussy sudah tidak ada lagi di situ! Raja lenyap — dan tidak ada yang bisa dinobatkan sebagai penggantinya!" Tahu-tahu Gussy menangis. "Apakah yang terjadi dengan pamanku?" keluhnya. "Di mana dia sekarang? Aku tidak mau dijadikan raja!" "Diam!" bentak Jack. "Kau ingin semua orang di sini tahu bahwa kau Pangeran Aloysius? Jika ada yang membocorkan rahasia itu, kau pasti akan dengan segera ditawan lagi oleh Adipati! Ayo masuk di dalam karavan itu, dan jangan menangis terus!" Bab 23 AWAS BERUANG! Jack mendorong-dorong Gussy. Dinah, dan Lucy-Ann, menyuruh mereka lekas-lekas masuk ke karavan Pedro. ia sama sekali tidak menduga akan kembali ke sirkus bersama mereka, di tengah keributan seperti itu! Orang orang sirkus bermunculan dari karavan-karavan mereka. Orang- orang itu berpakaian sekenanya saja. Mereka bergerombol-gerombol, bercakap-cakap dengan sikap cemas. Itu benar-benar merupakan saat yang paling tidak cocok untuk membawa Gussy ke perkemahan. Bagaimana jika ada orang yang mengenalinya? Hal itu juga disadari oleh Pedro. ia jauh lebih tahu daripada Jack, kesulitan mana yang akan menimpa sirkus jika sampai ketahuan bahwa Pangeran Aloysius disembunyikan di situ! Seluruh awak sirkus pasti akan langsung dijebloskan ke dalam penjara. Pedro sangat cemas membayangkan kemungkinan itu. "Aku harus memberi tahu Mak, Jack," bisiknya dengan gugup. "Tidak ada jalan lain! Ia pasti mau menolong kita." Jack tidak melihat kemungkinan lain, kecuali menyetujui. Dilihatnya Pedro menghampiri ibunya, dan berbicara padanya dengar sikap mendesak. Setelah itu Pedro ikut dengar ibunya masuk ke karavan. Mak menutup pintu tempat tinggalnya. Jack memandang Philip yang merasa bingung menghadapi keributan yang terjadi dengan begitu tiba-tiba. Gussy mengintip ke luar dari jendela karavan Pedro, bersama Dinah dan Lucy-Ann. Ia ingin melihat apa yang terjadi di luar. Lucy-Ann merasa cemas dan bingung, ia merasa lebih aman ketika masih terkurung dalam kamar menara Mana Jack? Kenapa ia tidak muncul, dan menjelaskan apa sebetulnya yang sedang terjadi? Pedro keluar dari karavan ibunya, ia langsung mendatangi Jack. "Beres!" katanya. "Urusan kita diambil alih oleh Mak. ia mau menyembunyikan Gussy. Ia sama sekali tidak merasa ngeri—malah bisa dibilang senang! Gussy akan didandaninya menjadi anak perempuan. Dengan gaun, serta pita yang akan diikatkan ke rambut Gussy yanc panjang. Pada orang-orang akan dikatakannya bahwa Gussy itu cucu perempuannya, yang datang berkunjung untuk beberapa hari di sini.' Jack terkikik, membayangkan Gussy menjadi anak perempuan. "Gussy pasti akan marah-marah, jika didandani seperti anak perempuan," katanya. "Mak takkan peduli," kata Pedro sambil nyengir. "Paling-paling Gussy nanti akan ditamparnya beberapa kali dan tangan Mak keras sekali! Akan kujemput Gussy sekarang, kuantar ke tempat Mak. Jika ia sudah didandani nanti, takkan ada orang yang tahu bahwa ia sebenarnya Pangeran Aloysius." Jack memandang Philip, sementara Pedro pergi menjemput Gussy. "Kasihan Gussy," kata Philip sambil nyengir. "Tapi itu gagasan yang hebat — Gussy pasti akan cantik, jika sudah didandani sebagai anak perempuan!" Tiba-tiba terdengar teriakan ramai, disusul pekik jerit. Datangnya dari seberang perkemahan. Orang lari berpencaran, sambil berteriak-teriak ketakutan. "Beruang! Beruang! Mereka lepas!" Toni berlari-lari mendatangi Jack. "Mana temanmu, yang katamu bisa menjinakkan binatang?" katanya dengan gugup. "Ah — itu dia! Beruang-beruang lepas! Mereka menjebol tiga batang terali kandang mereka. Kawanmu harus membantu — karena Fank tidak mampu bangun dari tempat tidurnya!" Philip belum tahu apa-apa tentang beruang-beruang itu. Dengan cepat Jack menceritakan persoalannya pada anak itu, sementara mereka berlari ke ujung seberang lapangan. "Mudah-mudahan kau bisa berbuat sesuatu, Philip. Toni tadi membantuku mengeluarkan kalian, dengan harapan kau akan bisa menolong. Sirkus akan rugi besar, jika beruang-beruang itu nanti terpaksa ditembak." Seekor beruang masih tertinggal di dalam kandang. Binatang itu tidak berani keluar, mendengar suara orang ribut-ribut. Beruang itu bingung, ia menggeram-geram. Tidak ada yang berani datang mendekat. Fifo dan Fum berteriak-teriak dalam kandang mereka yang ada di dekat situ. Kedua simpanse itu ikut ketakutan. Madame Fifi, pengasuh mereka bergegas memeriksa keteguhan gembok kandang mereka. Setelah itu ia berlari-lari mendatangi Jack. "Jangan kalian dekati beruang itu, Anak-anak! ia berbahaya. Dan hati-hati terhadap yang dua lagi!" "Lubang di kandang mereka harus cepat-cepat ditutup," kata Philip. "Kalau tidak, beruang yang masih di dalam bisa keluar nanti!" "Tidak ada yang berani melakukannya," kata Toni. Tapi Madame Fifi ternyata berani! Diambilnya sebuah obor yang menyala di dekatnya. Setelah itu ia menuju ke kandang beruang. Gagang obor ditancapkannya ke tanah, di depan kandang. Beruang yang ada di dalam cepat-cepat mundur, lalu meringkuk di sudut, ia takut melihat nyala api yang berkobar. "Untuk sementara aman," kata Philip, "ia takkan berani keluar, selama obor itu masih menyala di depan lubang. Nah — di mana kedua beruang yang lepas?" "Di sana — sedang mengendus-endus di sekeliling karavan Bos," kata Jack. ia menuding kedua sosok gelap yang nampak tidak jauh dari tempat mereka. "Bos pasti sedang gemetar ketakutan, di dalam!" "Aku perlu daging," kata Philip, sementara ia mendului lari menuju ke arah kedua beruang itu. "Atau lebih baik madu — atau sirup." "Ibu Pedro punya sirup sebotol besar," kata Jack. "Tunggu sebentar — kuambilkan sekarang." ia cepat-cepat lari ke karavan Mak, lalu membuka pintu dengan buru-buru. Gussy berdiri di balik pintu, hanya dengan pakaian dalam. Anak itu marah-marah, ia tidak mau didandani oleh Mak. Ibu Pedro sedikit pun tidak menampakkan rasa heran, ketika Jack tahu-tahu masuk dan meminta sirup. "Itu, di atas rak," katanya, sambil terus menyikat rambut Gussy yang panjang. Jack mengambil botol sirup dari atas rak, lalu bergegas kembali ke tempat Philip. Sementara itu Philip sudah menghampiri kedua beruang, yang menoleh ke arahnya dengan sikap curiga. "Hati-hati, Philip," kata Jack dengan suara pelan. "Mereka sudah melukai satu orang." "Aku takkan mereka apa-apakan," kata Philip dengan tenang. "Tapi kau jangan menampakkan diri dulu, Jack." Philip mencelupkan tangannya ke dalam botol sirup. Setelah itu ia mendatangi kedua beruang, sambil menuangkan sedikit sirup ke tanah. Kedua beruang menggeram-geram. Philip kembali ke tempat semula, lalu duduk sambil meletakkan botol sirup di dekatnya. Orang-orang sirkus berkerumun menonton, agak jauh dari tempat Philip duduk. Siapakah anak laki-laki itu? Apakah yang hendak dilakukannya dengan beruang-beruang berbahaya itu? Mereka memandang dengan perasaan ingin tahu bercampur takut, siap untuk lari begitu kelihatan akan ada bahaya. Jack tidak menampakkan diri. Tapi ia tidak jauh dari Philip, siap untuk cepat-cepat membantu jika ternyata perlu. Tapi ia merasa bahwa ia takkan perlu membantu, ia yakin Philip pasti mampu menjinakkan kedua beruang itu. Sementara itu kedua beruang sudah mencium bau sirup yang ditumpahkan Philip di atas rumput. Binatang-binatang besar itu sangat menyukai makanan yang manis-manis. Fank kadang-kadang memberi mereka sirup, sebagai upah. Mereka mengendus-endus, lalu mendatangi tumpahan sirup di tanah. Satu di antaranya menjilati tumpahan itu. Temannya menggeram-geram, sambil berusaha mendesaknya ke samping. Tapi kemudian tercium olehnya bau sirup yang ditumpahkan di dekat situ. Tumpahan itu didatangi, lalu dijilat-jilat. Kedua beruang itu mendengus-dengus dengan senang. Rupanya di sekitar situ banyak sirup tumpah! Mereka sudah dua hari tidak mau makan. Jadi tidak mengherankan, jika kini mereka lapar. Orang-orang yang menonton menahan napas, ketika melihat kedua binatang buas itu semakin dekat menghampiri anak laki-laki yang duduk di tanah. "Siapakah anak itu? ia harus diperingatkan,! bahwa kedua binatang itu sangat berbahaya." kata mereka. Tapi Bingo dan Toni menyuruh mereka diam. "Tenang sajalah! Anak itu teman Jack — dan kabarnya pandai menjinakkan binatang. Berilah kesempatan padanya! ia masih bisa lari, jika kedua beruang itu ternyata menyerangnya!" Beruang yang paling depan sudah sangat dekat ke tempat Philip duduk, ia masih mengendus-endus terus, dengan kepala dekat ke tanah. Philip mencelupkan tangannya lagi ke dalam botol sirup, lalu melambai-lambaikannya dengan gerakan lambat, supaya tercium oleh kedua beruang itu. Beruang yang di depan mengangkat kepalanya. Begitu melihat Philip, binatang itu mundur sedikit, ia mendengus marah. Siapakah itu yang duduk di tanah? Mata beruang itu nampak berkilat marah, memantulkan sinar lentera yang ada di dekat situ. Orang-orang yang menonton mendesah, karena ngeri. Kemudian Philip berbicara, ia berbicara dengan suara yang agak lain — yang selalu dipakainya jika berbicara dengan binatang. Madanya rendah dan datar, lembut — tapi berwibawa. Seperti menyihir! Beruang yang paling depan mendengarkan, ia mendengus lagi, lalu mundur sedikit — membentur temannya yang ada di belakangnya. Philip berbicara terus. Apakah yang dikatakan olehnya? Jack tidak bisa menangkap kata-katanya, ia merasa heran, walau sudah sering melihat Philip beraksi seperti itu. Dari mana Philip tahu, bahwa berbicara dengan binatang harus dengan cara begitu? Dan apa sebabnya binatang yang diajak Philip berbicara, selalu mau mendengarkan? Orang-orang sirkus tahu bahwa kebanyakan pelatih binatang biasa berbicara dengan suara khusus jika berhadapan dengan binatang-binatang asuhan mereka. Tapi ini — seorang anak laki-laki yang tidak dikenal, berbicara dengan tenang pada dua ekor beruang yang sedang bingung dan curiga. Dan kedua beruang itu mendengarkan! Sementara itu beruang yang satu lagi ikut mendekat, dengan telinga diruncingkan ke depan, ia mengendus-endus. Bukan hanya bau sirup saja yang tercium olehnya, tapi juga bau badan Philip, ia menyukainya. Philip berbau ramah! Bagi beruang, manusia terdiri dari dua golongan — yang berbau ramah, dan yang tidak. Beruang itu menghampiri Philip, lalu mengendusnya. Di antara orang-orang sirkus yang berkerumun menonton, terdengar seseorang berteriak tertahan. Rupanya orang itu takut kalau Philip tahu-tahu diserang oleh beruang itu. Tapi beruang itu tetap mengendus-endus tanpa mengacuhkan pekik tertahan tadi. Philip berbicara terus. Suaranya begitu lembut dan memukau, sehingga orang banyak yang berkerumun mulai ikut merasa tertarik. Beruang yang ada di depannya menjilat tangannya yang berlumuran sirup. Beruang yang satu lagi menyusul. Ketika melihat bahwa saudaranya tidak takut, ia pun ikut-ikutan menjilati tangan Philip yang satu lagi. Sekejap kemudian kedua binatang buas itu sudah mendengus-dengus dengan nikmat. Anak itu baik! Baru sekali ini mereka berjumpa dengannya, tapi mereka merasa pasti bahwa Philip sahabat mereka. Sementara itu Philip berbicara terus, dengan suara datar dan ramah. Kini ia merasa sudah aman untuk bergerak, ia menggeser tangannya lambat-lambat, mencelupkannya ke dalam botol yang berisi sirup. Tangan itu kemudian disodorkannya lagi ke arah beruang. Seekor beruang merebahkan diri di sisinya, supaya bisa menjilat-jilat dengan santai. Orang-orang yang melihat mendesah lagi. Philip menyodorkan botol sirup pada beruang yang satu lagi. Kemudian dielus-elusnya beruang yang berbaring di sampingnya. Beruang itu mendengus nikmat. Kedua beruang itu sudah tenang. Mereka merasa senang, karena sudah menemukan seseorang yang mereka sukai, dan bisa dipercaya. Philip tahu bahwa ia sudah berhasil menguasai mereka. Mudah-mudahan saja orang-orang yang menonton tidak melakukan sesuatu yang konyol — seperti dengan tiba-tiba ribut, atau bergegas mendatangi. Tapi orang-orang sirkus sudah berpengalaman menghadapi binatang buas. Itu takkan mereka lakukan! Philip berdiri. Segala gerakannya dilakukan dengan lambat, tidak mengejutkan. Diambilnya botol sirup, lalu ia berjalan menuju ke kandang beruang sambil memegang tengkuk beruang yang tadi berbaring di sampingnya. Beruang-beruang itu mengikutinya dengan tenang, sambil menjilat-jilat bibir. Sampai di depan kandang, Philip membuka pintunya lalu membiarkan kedua beruang itu masuk. Botol berisi sirup diletakkannya di dalam kandang. Setelah itu ia keluar lagi. Pintu kandang ditutupnya baik-baik. Saat itu barulah orang-orang yang menonton bersorak-sorai! "Anak itu benar-benar ajaib! Siapakah dia? Katakan pada Fank, beruang-beruangnya sudah aman. Siapakah anak laki-laki itu?" Bab 24, ANNA MARIA Philip memanggil Jack. "Coba carikan daging! Yang banyak, lalu bawa kemari!" "Sebentar — kuambilkan," kata Toni, lalu bergegas pergi. Tidak lama kemudian ia sudah kembali, dengan sebuah keranjang berisi daging kuda. Philip membuka pintu kandang beruang, lalu mencampakkan bongkah-bongkah daging itu ke dalam, sambil berbicara dengan riang pada beruang-beruang yang sudah sangat kelaparan itu. Dan kini mereka sudah mau makan. Mereka tidak lagi takut, atau marah. Ketiga beruang itu melahap daging yang diberikan. "Biarkan mereka makan sampai sekenyang-kenyangnya," kata Philip. "Sesudah itu mereka pasti tidur. Saat itu terali-terali kandang bisa dibetulkan. Biarkan obor yang menyala tertancap di depan lubang tempat mereka tadi keluar. Mereka takkan berani keluar, selama di situ ada api." Orang-orang mengerumuni Philip, "ia teman Jack." Demikianlah pembicaraan yang terdengar di antara mereka. "Jack mendatangkannya kemari, karena ia tahu bagaimana caranya menangani beruang. Pasti ia datang dari sirkus lain. Lihatlah — Bos memanggilnya!" Bos yang sejak awal memperhatikan segala kejadian itu dari balik jendela karavannya, sangat terkesan melihat kemampuan Philip, ia juga sangat berterima kasih. Pedro memberi tahu Philip bahwa Bos memanggilnya. Bersama Jack, diantarnya anak itu ke tempat pemimpin sirkus. Dalam bahasa campur aduk, Bos memuji-muji sambil mengucapkan terima kasih. Pedro menerjemahkannya sambil nyengir. "Bos mengatakan, kau menyelamatkan beruang dari kemungkinan ditembak mati. Sebagai imbalannya, jika ada sesuatu yang kau ingini, kau tinggal mengatakannya saja!" Dengan cepat, Jack mendului menjawab, "Cuma satu saja keinginan kami. Bolehkah kami tinggal bersama kalian? Philip akan mengurus kawanan beruang, selama Fank masih sakit. Tapi di samping dia, masih ada pula beberapa anak perempuan, adik-adik kami. Bolehkah mereka juga ikut bersama sirkus? Kami tidak ingin membiarkan mereka mengembara sendiri, jika nanti benar-benar pecah perang saudara di Tauri- Hessia." Pedro menerjemahkan permintaan itu. Bos langsung mengangguk. Rupanya ia mengira anak-anak perempuan itu juga artis-artis sirkus. "Ya, mereka boleh ikut tinggal bersama kita," katanya. "Jika mereka punya keahlian tertentu, nanti mereka akan diberi kesempatan tampil. Tapi besok pagi kita harus pergi dari sini. Kota Borken sudah terlalu berbahaya bagi kita. Daerah sekitar sini merupakan tanah milik Adipati Paritolen, yang mungkin ikut terlibat dalam peristiwa lenyapnya Raja. Karenanya lebih baik kita cepat-cepat saja menyingkir, sebelum terjadi keributan di sini." "Apa katanya?" tanya Jack dengan tegang. Pedro menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Jack dan Philip menarik napas lega. Syukurlah! Jadi mereka bisa ikut dengan sirkus, yang keesokan paginya akan pergi meninggalkan daerah itu! Dengan begitu mereka akan menyingkir dari daerah yang berbahaya. Dan mungkin pula mereka kemudian akan bisa mengirim kabar pada Bill. Setelah itu anak-anak kembali ke karavan yang ditempati Pedro. Mereka ingin berunding di situ. Saat itu sudah pukul dua dinihari. Tapi mereka tidak merasa mengantuk, karena masih terpengaruh oleh berbagai kejadian yang dialami malam itu. Orang-orang sirkus yang berpapasan dengan mereka, menepuk-nepuk punggung Philip, yang membalas dengan senyuman serta anggukan kepala. Akhirnya mereka sampai di karavan, di mana Dinah dan Lucy-Ann menunggu bersama Kiki. "Tutup pintu!" oceh Kiki dengan segera. "Bersihkan kaki. Jemput Raja!" "Alangkah baiknya jika itu bisa kami lakukan, Kiki," kata Jack sambil tertawa, sementara burung kakaktua itu terbang lalu hinggap di bahunya. "Tapi janganlah kau terlalu banyak mengoceh tentang Raja. — Aduh, Lucy-Ann, bisa remuk tulang rusukku nanti, jika sekeras itu kau merangkulku! Kau ini seperti beruang saja!" "Habis — aku tadi begitu cemas memikirkan kalian berhadapan dengan beruang-beruang itu," kata Lucy-Ann, lalu merangkul Philip. "Kejadiannya begitu seram, sehingga aku merasa seperti sedang bermimpi buruk. Kami berdua kesepian di sini, karena Gussy juga pergi. Betulkah ia akan didandani seperti anak perempuan?" "Ya, betul," kata Jack. ia duduk di atas kasur. "Sekarang kita harus berunding, mengatur rencana. Kita izinkan Bos tinggal bersama sirkus ini, berkat kehebatan Philip tadi dalam menjinakkan kedua beruang itu. Tidak ada tempat persembunyian lain yang lebih baik selain di sini!" "Ya, memang," kata Dinah. "Tapi bagaimana jika Adipati menyuruh orang-orangnya mencari kita di sini, di samping ke tempat-tempat lain? Gussy takkan bisa dikenali jika sudah didandani seperti anak perempuan. Tapi bagaimana dengan aku, Lucy-Ann, dan Philip? Kami pasti akan langsung ketahuan, dengan pakaian kami seperti ini!" "Ya — betul juga katamu itu," kata Jack. "Penampilanku juga masih terlalu nampak asing. He, Pedro — uang tabunganku kan sudah lumayan, hasil pertunjukan Kiki selama ini. Bisakah kau membelikan pakaian daerah sini untuk kami?" "Serahkan saja urusan itu pada Mak," kata Pedro. "Ibuku sangat cekatan dalam soal jahit- menjahit. Nanti ia akan meminta kain pada Lucia, wanita tua yang mengurus pakaian para artis sirkus. Kita juga bisa meminta bahan perias muka sedikit pada Toni, agar kulit muka kalian dipoles menjadi coklat. Tapi kalian jangan bicara dalam bahasa Inggris terus, dong!" "Betul — mulai sekarang kita berbicara dalam bahasa karangan kita sendiri!" kata Philip sambil tertawa. "Kita orang Ngocehlandia, dan kita berbicara dalam bahasa sana! Bunyinya begini — gunalilipundipundi tapularkawunati!" Semua tertawa mendengar ocehan Philip. "Bagus!" kata Pedro. "Kalau orang-orang suruhan Adipati datang mencari kemari, akan kukatakan pada mereka bahwa kalian berasal dari negara Ngocehlandia. Lalu jika kalian mereka tanyai, kalian jawab seperti tadi." Tahu-tahu Kiki mengoceh, ia menirukan kata-kata yang tadi diucapkan oleh Philip. Anak-anak mendengarkan dengan geli. "Hebat," kata Jack, sambil mengelus-elus burung itu. "Kau ternyata burung asli Ngocehlandia!" Dinah menguap. Dengan segera Kiki menirukannya. Tahu-tahu semua merasa mengantuk sekali. "Yuk, kita tidur saja sebentar," kata Pedro sambil bangkit. "Nanti, pagi-pagi benar kita sudah harus berangkat. Kita bertiga yang laki-laki tidur di kolong, dengan alas selimut tebal. Sedang Gussy, kurasa ia sudah mendengkur di pembaringan satu lagi yang ada di dalam karavan Mak — dengan wajah cantik seperti anak perempuan!" Tapi Gussy tidak tidur, ia berbaring sambil mendengarkan bunyi napas Mak yang tenang, sekali- sekali diselingi dengkuran pendek. Anak itu sangat jengkel, dan juga tersinggung oleh perbuatan Mak terhadap dirinya! Ketika didandani tadi, ibu Pedro itu menyisir rambutnya dengan berbagai macam gaya. Akhirnya diputuskan bahwa Gussy paling mirip anak perempuan jika diberi pita kecil pada kedua sisi kepalanya, dan tidak hanya dengan satu pita di ubun-ubun. Setelah itu ia didandani dengan gaun panjang yang agak dekil dan berwarna norak, serta blus sempit berwarna merah. Di pinggangnya dibelitkan selendang berwarna merah. Gussy nyaris menangis saat itu, karena malu. Tapi Mak tidak peduli. Waktu Gussy tidak mau berdiri diam ketika pita sedang diikatkan ke rambutnya, Mak memukul pantatnya. Gussy begitu kaget diperlakukan sekasar itu, sehingga lupa berteriak. "Anda kan tahu, aku ini pangeran," desis Gussy. "Ah, apa! Kau ini cuma anak laki-laki biasa saja. Aku tidak punya waktu untuk pangeran- pangeranan." Gussy mendesah, ketika teringat lagi pada kejadian itu. ia mencoba tidur, dengan pita masih terikat ke rambut, serta dengan pakaian aneh yang kelihatannya setengah baju tidur, dan setengah mantel panjang. Gussy bergidik, membayangkan bagaimana ia tadi dibebaskan dari ruang di atas menara. Tidak — lebih baik ia jangan berpikir-pikir lagi tentang ayunan yang didudukinya tadi sewaktu ditarik menyeberang, jauh di atas tanah! Gussy bergidik lagi, kini karena teringat pada pamannya. Jangan-jangan ia mati terbunuh! Tahu-tahu hari sudah pagi. Saat itu cepat sekali datang, menurut perasaan anak-anak. Philip langsung pergi ke kandang beruang, untuk memeriksa. Terali-terali yang didobrak ternyata sudah dipasang kembali dan diperkokoh. Beruang-beruang yang sudah kenyang makan sedang tidur-tiduran. Tapi begitu melihat Philip datang, mereka segera menyongsongnya, sambil mendengus-dengus ramah. Seekor di antaranya berusaha meraih anak itu. Philip berbicara sebentar dengan mereka. Ketiga beruang itu mendengarkan dengan penuh minat, seolah-olah mereka mengerti. Fank sudah agak lebih baik keadaannya. Tapi ia belum bisa bangun. Ketika Philip datang menjenguk, laki-laki bertubuh kecil itu memegang tangannya, lalu berbicara dalam bahasa asing. Tapi Philip bisa menangkap maksudnya. Orang itu mengucapkan terima kasih padanya. Fank sangat menyayangi beruang-beruangnya, seolah-olah mereka itu saudaranya. Malam sebelumnya ia sangat cemas, ketika mendengar mereka terlepas dari kandang. "Akan kuurus mereka sampai Anda sudah sembuh kembali," kata,Philip. Rupanya Fank mengerti, karena ia menyalami Philip dengan sikap berterima kasih. Kini tinggal urusan pakaian untuk Jack serta anak-anak yang lain. Tiga jam lagi rombongan sirkus akan meninggalkan tempat itu. Jadi Mak harus bergegas-gegas mengusahakan pakaian untuk mereka, agar tidak ketahuan bahwa mereka orang Inggris. Mak mendatangi Lucia, wanita tua yang mengurus pakaian para artis. Bukan pakaian mereka yang sehari-hari, melainkan yang gemerlapan, yang dipakai kalau mengadakan pertunjukan. Pakaian itu sangat penting artinya bagi para artis. Karenanya Lucia selalu sibuk. Menjahit, dan juga menyetrika. Dalam pekerjaan itu, tidak ada yang bisa menandingi kerapian kerja Lucia. Ketika rombongan sirkus sudah siap untuk berangkat, takkan ada lagi yang bisa mengetahui bahwa Jack, Philip, Dinah, dan Lucy-Ann sebenarnya anak-anak Inggris! Tampang mereka sudah berubah. Warna kulit mereka sudah secoklat orang Tauri-Hessia, dengan bantuan bahan perias yang dipinjam dari Toni. Bukan hanya muka mereka saja, tapi juga leher lengan, dan juga kaki. Dinah dan Lucy-Ann memakai pakaian anak perempuan Tauri-Hessia, yang terdiri dari gaun panjang dan selendang, serta pita berwarna-warni yang menghiasi rambut mereka. Sedang Philip dan Jack tidak ada bedanya lagi dengan anak-anak daerah situ. Tahu-tahu mereka kelihatan lebih dewasa dari umur mereka yang sebenarnya. Lucy-Ann tercengang ketika melihat abangnya, ia nyaris tidak mengenali Jack, yang rona mukanya menjadi sangat coklat. Mak merasa puas melihat hasil kerjanya sendiri. Tapi ia paling senang melihat Gussy. Takkan mungkin ada yang menyangka bahwa Gussy sebenarnya anak laki-laki. Begitu cantik kelihatannya sekarang! Anak-anak tertawa geli ketika Gussy muncul di ambang pintu karavan, lalu menuruni tangga. Wajah anak malang itu merah padam karena marah, tapi juga karena malu. "Ini cucuku, Anna Maria!" kata Mak, sambil tersenyum lebar. "Kalian jangan nakal-nakal terhadapnya, ya!" Bibir Gussy bergerak-gerak, seperti menahan. "Cuma anak perempuan cengeng saja yang suka begitu," katanya. "Aduh — cantiknya Gussy — eh, maksudku Anna Maria!" "Ya, secantik putri dalam lukisan," kata Jack menimpali. "Untung rambutnya panjang — sehingga ia semakin mirip anak perempuan!” "Sebentar lagi akan kupotong pendek. Pendek, pendek sekali," kata Gussy dengan jengkel. "Cak- cak, biar habis!" "Tapi itu kan tidak bisa," kata Dinah. "Kau sendiri mengatakan, para pangeran di negerimu ini harus panjang rambut mereka, seperti rambutmu sekarang ini." "Kalau begitu aku tidak mau jadi pangeran!” kata Gussy. Tampangnya begitu memelas saat itu. ia memandang Lucy-Ann dengan sedih, ia merasa bahwa anak itulah yang paling baik hati, dibandingkan dengan yang lain-lain. "Janganlah aku diganggu terus," katanya. "Aku merasa malu." "Baiklah, Gus — eh, Anna Maria — kami tidak mengganggumu lagi. Sungguh! Sudahlah, jangan bersedih hati — tidak lama lagi kau pasti akan menjadi pangeran kembali. Aku yakin!" "Ya, memang begitu —jika pamanku masih hidup," kata Gussy dengan serius. "Tapi jika ia tewas — aku harus menjadi raja!" "Hidup Raja!" oceh Kiki, sambil menegakkan jambul tinggi-tinggi. "Panggil dokter, dan selamatkan Raja!" Bab 25 SIRKUS DIGELEDAH Tidak lama kemudian nampak iring-iringan karavan bergerak di jalan yang berliku-liku, pergi meninggalkan Borken. Dinah, Lucy-Ann, dan juga Gussy duduk dalam karavan kecil yang dikemudikan oleh Pedro. Karavan itu ditarik seekor kuda belang yang kecil. Jack mengemudikan karavan Mak. Wanita tua itu nampak sangat senang. Setiap kali melihat Gussy yang kini sudah dijelmakannya menjadi anak perempuan, Mak tertawa terbahak-bahak. Philip mengendalikan gerobak tempat kandang beruang. Sedang Toni mengemudikan karavan kecil tempat tinggal Fank, sambil bersiul-siul dengan riang. Fank berbaring di dalam. Pengasuh beruang itu sudah semakin sembuh, ia merasa lega, karena ada Philip yang mengurus beruang-beruangnya. Fank merasa berterima kasih pada Philip — dan juga pada Toni, yang dengan gembira mau mengemudikan karavannya. Orang-orang sirkus memang selalu siap untuk saling menolong. Itulah salah satu tabiat mereka yang baik. Iring-iringan panjang itu bergerak dengan sangat lambat, karena tidak mau menggelisahkan binatang-binatang yang dibawa. Fifo dan Fum ribut berceloteh, sambil memandang ke luar. "Akan ke manakah kita?" tanya Dinah pada Pedro, sambil memandang ke luar lewat jendela yang terbuka. Pedro mengangkat bahu. ia juga tidak tahu. "Pokoknya kita harus cepat-cepat pergi dari Borken, karena di situ sebentar lagi pasti akan terjadi keributan," kata Pedro. "Kita pergi ke tempat lain, yang lebih tenang. Mungkin kita akan melewati jalan-jalan desa. Soalnya, begitu keributan pecah, jalan-jalan raya pasti akan penuh dengan tentara yang lalu lalang." Dinah menarik kepalanya ke dalam, ia cocok sekali memakai pakaian gadis Tauri-Hessia. "Kita akan mengambil jalan-jalan desa," katanya pada Lucy-Ann. "Sayang kita belum bisa menghubungi Ibu, atau Bill. Mereka pasti sudah cemas sekali memikirkan keadaan kita!" “Polisi tentunya sudah mereka beri tahu bahwa kita hilang," kata Lucy-Ann. "Lalu polisi mencari- cari — tapi di Inggris, dan bukan di sini. — Yah, pokoknya kita selamat sekarang, sudah berhasil lari dari menara! Aku sudah bosan terkurung terus di sana! Tidak ada yang bisa kita lakukan sepanjang hari, selain bermain kartu dengan kartu-kartu aneh yang mereka berikan pada kita!" Sekitar pukul satu siang rombongan berhenti, untuk makan siang. Karavan-karavan ditaruh di sisi jalan, dan orang-orang sirkus makan sambil duduk di samping kendaraan masing-masing. Hawa saat itu seperti musim panas. Padahal saat itu baru bulan April. Jadi masih musim semi. Matahari bersinar terik, dan di mana-mana nampak bunga-bunga yang mekar. Tikus pohon peliharaan Philip ikut makan dengan tuannya. Selama itu Penidur selalu ikut dengan Philip. Penidur takut mendengar keberisikan orang-orang sirkus yang asyik mengobrol, ia baru berani muncul, jika suasana tenang, ia duduk di telapak tangan Philip, sambil mengerat biji-bijian yang dipegang dengan kedua kaki depannya. Sekali-sekali ia memandang ke arah Philip. "Kau selalu menghibur kami dengan kekocakanmu selama kami terkurung di menara itu," kata Philip dengan suara lirih pada Penidur. "Dan kau yang menyebabkan Jack tahu di mana kami berada, ketika kau lari mendatanginya lewat celah di bawah pintu! Kau benar-benar berjasa, Penidur!" Sehabis makan siang, perjalanan diteruskan. Beruang-beruang tidur dengan perasaan tenang, karena tahu bahwa Philip yang menjalankan karavan tempat kandang mereka. Sewaktu berhenti tadi Philip memberi mereka makan lagi. Fank merasa berbahagia, ketika mendengar beruang- beruangnya mendengus-dengus senang. Iring-iringan sirkus sampai di jalan besar. Mereka harus lewat situ, sebelum memasuki jalan desa yang sekitar tiga kilometer lebih jauh. Tapi baru separuh jalan yang ditempuh ke arah itu, tiba-tiba terjadi sesuatu. Tiga buah kendaraan militer yang besar-besar menyusul iring-iringan itu, lalu mencegatnya di depan. Prajurit-prajurit berloncatan turun, dipimpin seorang kapten. "Berhenti!" seru kapten itu pada pengemudi karavan yang paling depan. Seluruh iring-iringan berhenti. Orang-orang sirkus berpandang-pandangan dengan cemas. Kenapa mereka disuruh berhenti? Mereka kan tidak berbuat apa-apa! Mereka meloncat turun dari karavan masing-masing, lalu menunggu dalam beberapa gerombolan. Jack menjenguk ke dalam karavan yang dikemudikannya. "Kelihatannya karavan-karavan akan digeledah, Mak," katanya. "Suruh Gussy melakukan sesuatu, dan omeli dia seolah-olah anak itu cucu Anda. Dan kau, Gussy, ingat bahwa kau anak perempuan! Jadi jangan membalas jika diomeli. Jangan bicara apa pun juga, jika prajurit-prajurit itu nanti datang menggeledah. Tunjukkan sikap malu-malu, sebisa-bisamu." Pedro juga langsung tahu, apa yang akan terjadi. "Kalian cepat keluar, lalu membaur dengan orang sirkus," katanya pada Dinah dan Lucy-Ann. "Pergilah ke tempat Toni dan Bingo. Aku juga akan ke sana. Kalian akan kurangkul, sehingga kalian akan disangka adik-adikku." Philip tetap berada di tempatnya, ia merasa aman, mengemudikan karavan beruang! Ketiga binatang itu nanti pasti ribut jika didekati para prajurit, lalu ia harus menenangkan mereka lagi. Dengan begitu ia akan disangka pengasuh beruang! Sementara itu kapten tadi mendatangi Bos, alu berbicara padanya dengan nada memerintah. "Iring-iringan Anda ini harus kami geledah," kata perwira tentara Tauri-Hessia itu. "Anda dicurigai menyembunyikan seseorang yang kami cari. Lebih baik Anda serahkan saja orang itu sekarang juga — karena jika nanti ketahuan Anda sembunyikan, Anda akan dijatuhi hukuman berat." Bos yang saat itu sedang duduk di kursi besarnya di dalam karavan, memandang kapten itu dengan heran. "Saya tidak mengerti maksud Anda," katanya. "Jika dirasa perlu, silakan geledah karavan-karavan kami. Saya tidak keberatan!" Bos menyangka para prajurit itu mencari seorang pemuda, yang mungkin melarikan diri. ia sama sekali tidak menduga bahwa yang cari itu seorang anak laki-laki. Apalagi bahwa anak laki- laki itu Pangeran Aloysius! Kapten memberi komando. Para prajurit lalu bergerak menelusuri iring-iringan karavan sambil mengamat-amati dengan waspada kala ada yang bersembunyi di dalam semak-semak di pinggir jalan. Setelah itu mereka mulai menggeledah. Setiap karavan diperiksa dengan cermat. Selimut- selimut dan pakaian yang bertumpuk diangkat, untuk memeriksa apakah ada orang bersembunyi di bawah. Ketika melihat Philip yang duduk di tempa kusir gerobak beruang, para prajurit berhenti Mereka diperintahkan untuk mencari Gussy sampai dapat. Tapi di samping Gussy, mereka juga harus mencari tiga anak lagi. Dan jika mereka ada dalam rombongan sirkus, maka itu berarti Pangeran juga tidak jauh dari situ. Para prajurit itu menghampiri kandang beruang, dengan langkah berderap-derap. Suara mereka yang lantang menyebabkan beruang-beruang merasa terganggu. Ketiga binatang buas itu menggeram-geram, serta berulang kali menubruk terali kandang mereka. Toni mendatangi para prajurit itu, lalu meminta mereka agar menjauh dari kandang beruang. "Hati-hati, jangan terlalu dekat," katanya. "Mereka berbahaya! Kemarin kami mengalam kerepotan dengan beruang-beruang itu. Mereka lepas, setelah mendobrak terali. Ini bekas- bekasnya! Untung ada anak laki-laki itu, pembantu pengasuh beruang, ia yang menenangkan mereka kembali." Philip bisa menduga, apa yang dikatakan Toni pada para prajurit. Dengan segera ia masuk ke kandang beruang, untuk menghindari kemungkinan ditanyai, ia berpura-pura menenangkan ketiga beruang itu. Para prajurit memperhatikan dari jarak agak jauh. Kapten mereka nampak puas. Anak laki-laki itu jelas termasuk orang sirkus, sebagai pembantu pengasuh beruang. Tidak mungkin dia salah seorang anak yang dicari-cari. Para prajurit mendatangi karavan yang berikut. Toni memandang Philip, lalu mengedipkan mata. "Bagus!" bisiknya. "Kau tetap saja di dalam. Di tengah ketiga beruang itu kau lebih aman. dibandingkan dengan di tempat lain!" Satu demi satu, karavan yang berderet-deret itu didatangi. Dinah dan Lucy-Ann hanya dipandang sekilas saja. Kedua anak itu pura-pura sedang memperhatikan kedua simpanse yang dikeluarkan dari kandang mereka oleh Madame Fifi, pengasuh mereka. Pedro juga ada di situ, menggandeng Dinah dan Lucy-Ann. Pemimpin pasukan tentara yang menggeledah memandang Pedro dengan sikap curiga. Mungkinkah ia salah seorang anak yang dicari? Kapten itu menggamit, memanggil Pedro. Anak itu datang dengan segera, sambil menggandeng kedua anak perempuan. Sikapnya santai-santai saja. Kapten mengatakan sesuatu padanya, dalam bahasa Tauri-Hessia. Pedro menjawab dengan lancar, sambil menuding ke arah karavan ibunya. Rupanya ia mengatakan bahwa ia ikut dengan ibunya, serta seorang saudara sepupunya, Anna-Maria. "Dan siapa kedua anak perempuan ini?" tanya Kapten dengan nada menyelidik. "Mereka juga orang sirkus," jawab Pedro. "Mereka ikut dengan anak laki-laki yang ada di gerobak beruang — yang sudah Anda lihat tadi. Mereka orang Ngocehlandia. Mereka tidak begitu bisa berbahasa Tauri-Hessia. Tapi mereka bisa berbahasa Prancis, jika Anda ingin menanyakan sesuatu pada mereka." Dinah mendengar Pedro menyebutkan kata 'Ngocehlandia'. ia langsung menebak bahwa Pedro mengatakan ia dan Lucy-Ann berasal dari Ngocehlandia. Dengan segera Dinah mulai berbicara asal jadi, pokoknya cepat! ia mengatakannya pada Kapten, sambil tersenyum lebar serta menggerak-gerakkan tangan. Sedang Lucy-Ann mengangguk-angguk, mengiakan kata-kata Dinah. "Ya, ya, baiklah," kata Kapten, dalam bahasa Tauri-Hessia. "Sepatah kata pun tak kumengerti. Apa katanya?" Dalam hati Pedro tertawa. Pada Kapten dikatakannya bahwa Dinah kagum melihat Kapten, yang dikatakannya jauh lebih gagah jika dibandingkan dengan kapten-kapten di negaranya, di Ngocehlandia. Kapten merasa bangga, ia memberi hormat pada Dinah dan Lucy-Ann, lalu melangkah pergi, ia merasa pasti, kedua anak perempuan itu tidak mungkin orang Inggris. Tapi di manakah letak negara yang bernama Ngocehlandia itu? ia belum pernah mendengar nama itu. Aneh-aneh saja negeri asal orang-orang sirkus ini! Kini para prajurit menghampiri karavan Mak. Jack masih duduk di tempat pengemudi, dengan Kiki di bahunya, ia sudah melarang burung itu supaya tidak mengoceh, karena khawatir rahasia mereka terbongkar oleh kata-kata Inggris yang terdengar. "Tapi kalau berbagai bunyi, itu boleh kautirukan," katanya. Kiki mengerti. Ketika para prajurit mendekat, Kiki menegakkan jambulnya, lalu terbatuk-batuk. Para prajurit memandangnya dengan heran. "Powke," kata Jack, sambil menepuk-nepuk Kiki. "Powke, arka powke." ia tahu, dalam bahasa setempat itu berarti "Kakaktua pintar", ia mendengarnya dari para penonton yang mengagumi Kiki. Mereka sering menyebut-nyebut kedua kata itu. "Arka powke!" Kakaktua pintar! Kiki bersendawa dengan keras, dua kali berturut-turut. Para prajurit geli mendengarnya Sesudah itu Kiki berkotek-kotek seperti ayam betina yang bertelur. Para prajurit semakin geli. Mereka tertawa. Dan itulah yang ditunggu-tunggu oleh Kiki. Burung itu memandang para prajurit dengan kepala tertunduk, lalu menirukan bunyi pesawat terbang yang sedang mengalami kerusakan mesin. Para prajurit yang berkerumun kaget mendengar bunyi itu, lalu cepat-cepat mundur. Kiki terkekeh-kekeh, ia tertawa terus dengan suaranya yang konyol, sampai akhirnya para prajurit — dan juga Jack — ikut tertawa pula. Mereka dikejutkan oleh suara membentak dari arah belakang mereka. "Mengapa kalian membuang-buang waktu dengan anak ini?" tukas Kapten. "Kalian kan bisa melihat bahwa ia anak sirkus, dengan burung kakaktua seperti itu. Ayo, geledah karavan!" Jack sudah cukup banyak memahami kata-kata Tauri-Hessia. ia menangkap makna perintah Kapten. Jadi ia tidak dicurigai. Begitu pula halnya Philip, maupun kedua anak perempuan adik mereka. Sekarang tinggal Gussy. Akan cukup tenangkah anak itu, sehingga mampu memainkan peranannya secara meyakinkan? Dua orang prajurit menghampiri karavan Mak. Mereka melihat Gussy, yang duduk di samping wanita itu. "Siapa anak ini?" tanya seorang dari mereka. "Siapa namanya?" Bab 26, PEDAGANG KELILING Gussy memandang kedua prajurit itu dengan sikap malu-malu, lalu menyembunyikan muka ke dalam pangkuan Mak. ia berbuat seakan-akan takut melihat kedua prajurit itu. Mak yang menyuruhnya bersikap begitu. "Nah, nah," kata Mak dalam bahasa Tauri-Hessia, sambil menepuk-nepuk Gussy. "Ayo, duduklah — dan jawab pertanyaan tuan-tuan ini, Anna Maria!" Setelah itu ia menoleh ke arah kedua prajurit. "Anda harus memaafkan anak ini," katanya, "ia sangat pemalu — tidak berani membuka mulut. Ayo duduk dong, dan tunjukkan apa yang sedang kaubuat pada tuan-tuan yang baik hati ini." Gussy meluruskan sikap duduknya, lalu menunjukkan sepotong kain sulaman pada kedua prajurit yang menanyainya. Tapi Gussy tetap menunduk, seolah-olah sangat malu. Jack yang memandang dari balik jendela, terheran-heran melihat kepandaian Gussy berpura-pura. Dan Mak juga sangat cerdik, menyuruh Gussy memamerkan kain yang sedang disulam pada kedua prajurit itu. Padahal Mak yang membuatnya. Jack melihat wanita itu menyulam, setiap malam. "ia cucuku yang paling kusayangi," kata Mak. ia menyerocos terus. "Anak ini manis sekali, dan sangat penurut. Ayo, bicara dong, Anna Maria! Ucapkan salam pada tuan-tuan ini." "Malu," kata Gussy, lalu menyembunyikan mukanya lagi ke dalam pangkuan Mak. "Sudah — janganlah anak itu diganggu terus," kata salah seorang prajurit. "Aku juga punya anak di rumah, yang pemalunya seperti cucu Anda ini. Tapi lebih baik pemalu, daripada kurang ajar. Indah sekali rambutnya! Anda pasti bangga, punya cucu secantik dia." "Dan ia juga sangat pandai menjahit," kata Mak, sambil menepuk-nepuk kepala Gussy. “Ayo, duduk yang baik, Sayang — tuan-tuan ini takkan menggigitmu!" "Kami masih harus meneruskan penggeledahan," kata prajurit yang pertama. "Ini, hadiah untuk cucu Anda. Melihat dia, aku langsung teringat pada anakku yang di rumah." Keping uang yang dilemparkan oleh prajurit itu ditangkap dengan cekatan oleh Mak, dan langsung dikantungi. Jack menghembuskan napas panjang, ia merasa lega, melihat kedua prajurit itu pergi, ia menjenguk ke dalam, lewat jendela. "Mereka sudah pergi," katanya. "Wah,Gus — hebat- sekali pertunjukanmu itu! Kau benar-benar berbakat sebagai aktor! Tingkah-lakumu persis anak perempuan yang malu-malu." Gussy mengangkat kepalanya, yang selama itu masih disembunyikan dalam pangkuan Mak. Mukanya merah, tapi matanya bersinar-sinar. Gussy tertawa. "Mak yang menyuruhku berkelakuan begitu," katanya. "Aku dilarangnya menampakkan muka. Aku harus malu-malu, dan menyembunyikan muka dalam pangkuannya." "Itu ide yang bagus sekali," kata Jack. Sambil nyengir, ditatapnya Mak yang tersenyum "Sungguh, Gussy, kau pantas diberi ucapan selamat! Tidak kusangka kau bisa berperan seperti tadi." "Aku memang suka memainkan peranan," kata Gussy. "Tapi tidak dalam pakaian anak perempuan. Aku merasa konyol dengan pakaian begini. — Tapi ide ini memang bagus sekali. Aku sudah aman sekarang, kan?" "Kurasa sudah," kata Jack, sambil memandang ke arah depan. "Para prajurit sudah kembali ke mobil-mobil mereka. Dan sekarang mereka naik. Ya — mobil pertama berangkat. Uhh — aku tadi sudah cemas sekali, ketika kedua prajurit itu masuk ke dalam karavan." Begitu ketiga mobil tentara sudah pergi, Philip bergegas meninggalkan gerobak beruang, ia cepat-cepat mendatangi anak-anak yang lain, sambil tertawa lebar. Mereka berkumpul di dekat karavan Mak, untuk mendengar cerita Jack tentang pertunjukan Gussy yang hebat. Gussy merasa senang. Enak rasanya dikagumi anak-anak yang lain. Tapi kemudian air mukanya suram kembali, begitu melihat bayangannya dalam cermin. "Aku tidak suka melihat tampangku seperti sekarang ini," katanya, sambil menatap bayangannya dalam cermin itu. "Sekarang aku hendak berganti pakaian, mengenakan pakaianku yang biasa." "Jangan—jangan dulu!" kata Jack cepat-cepat. "Kau masih harus terus menyamar menjadi anak perempuan, sampai kita sudah berada di tempat yang benar-benar aman. Ayolah, Gussy — katamu tadi, kau suka memainkan peranan!" Iring-iringan sirkus melanjutkan perjalanan. Dengan segera suasana sudah tenang kembali. Tidak ada lagi yang bercakap-cakap. Semua masih capek karena kurang tidur malam sebelumnya. Sekitar pukul enam sore mereka berhenti sebentar untuk makan. Setelah itu perjalanan diteruskan. Iring-iringan sudah memasuki jalan desa yang sepi. Keadaan jalan itu buruk, sehingga mereka terpaksa semakin memperlambat gerak. Tapi tidak ada yang memprotes. Orang sirkus tidak pernah bergegas-gegas — kecuali menjelang pertunjukan akan dimulai. Pada saat-saat itu, semua sibuk sekali mengurus macam-macam. Malamnya mereka berhenti untuk tidur di daerah yang berbukit-bukit. Semua tidur pulas. Dan keesokan harinya perjalanan diteruskan lagi, tanpa tujuan yang pasti. Tiba-tiba Bos mengatakan bahwa rombongan salah memilih jalan. Seharusnya memasuki jalan lain pada persimpangan yang sementara itu sudah agak jauh di belakang mereka. Orang-orang sirkus memutar karavan-karavan mereka, sambil mengomel-ngomel. Mereka memang tidak sering berpapasan orang di jalan ini. Daerah itu sangat sunyi. "Aku perlu berbelanja — karena perbekalan sudah hampir habis," kata Mak menggerutu "Akan kukatakan pada Bos, bahwa kita harus pergi ke tempat di mana ada toko-toko." Tapi Mak tidak benar-benar mengatakannya, karena takut pada Bos. ia hanya mengomel terus, ia perlu membeli benang, ia ingin membeli buah-buahan dalam kaleng, ia memerlukan jepitan rambut. Akhirnya Pedro bosan mendengarnya. "Sudahlah, Mak," katanya. "Mungkin nanti kita berjumpa dengan pedagang keliling!" "Apa itu?" tanya Jack. "Itu orang yang berkeliling mendatangi desa-desa terpencil dengan gerobak yang berisi segala macam barang jualan," kata Pedro menjelaskan. "Kurasa kita takkan berpapasan dengan pedagang begitu dalam keadaan kacau seperti sekarang ini. Aku cuma mengatakannya, supaya Mak tidak terus mengomel!" Petang itu Bos menyuruh rombongan berhenti agak lebih cepat dari biasanya. Tidak lama kemudian sudah nampak api unggun dinyalakan di tepi jalan. Dari segala arah menghambur bau masakan yang sedap. Ketika hari sudah hampir gelap, nampak sebuah gerobak kecil mendaki bukit tempat rombongan sirkus berkemah. Madame Fifi yang paling dulu melihatnya, ia berseru, memberi tahu yang lain-lainnya. Semua menoleh ke arah kendaraan yang datang itu. "Kau mujur, Mak!" seru Pedro pada ibunya. "Itu ada pedagang keliling, menuju kemari!" Gerobak pedagang keliling itu dihentikan tidak jauh dari perkemahan sirkus. Dua orang laki-laki duduk di depan, dengan pakaian penduduk Tauri-Hessia. Kedua-duanya berkulit coklat, terbakar sinar matahari. Laki-laki yang satu bertubuh kecil. Sedang temannya besar dan kekar. "Lebih baik kau jangan menampakkan diri," kata Jack dengan tiba-tiba pada Gussy. "Siapa tahu — mungkin mereka itu mata-mata. yang ditugaskan mengintai kita." "Aduh — mudah-mudahan kita tidak digeledah sekali lagi," keluh Lucy-Ann. Laki-laki yang bertubuh kecil meloncat turun, ia pergi ke samping gerobak, lalu menurunkan separuh dinding yang di situ. Dinding itu kini menjadi semacam meja. Di dalam gerobak terdapat berbagai macam barang, diatur pada rak-rak. Kaleng-kaleng berisi daging, ikan, dan buah- buahan. Lalu benang wol, katun, gulungan renda, kain katun murahan. Peniti dan jepit rambut. Berbagai jenis sisir. Sabun. Kembang gula. Isi gerobak itu mirip seperti yang biasa nampak di warung-warung desa. "Segala-galanya ada di sini, Mak!" seru Pedro, yang sementara itu sudah datang ke tempat itu. "Kau ingin kubelikan sesuatu, Mak?" "Tidak, biar aku sendiri yang memilih," kata Mak, yang gemar berbelanja. "Kau tinggal di sini, Anna Maria!" "Bisakah kita juga membeli sesuatu, Jack?" tanya Dinah. "Kau kan punya uang sini sedikit. Aku perlu sabun, serta beberapa barang lainnya. Mereka itu benar-benar pedagang keliling - tidak mungkin mata-mata yang disuruh mengintai kita!" "Ya, kelihatannya memang begitu," kata Jack. "Baiklah — kita berbelanja ke situ. Tapi Gussy tidak boleh ikut." Jadi Gussy tinggal seorang diri di karavan Mak, sementara yang lain-lain pergi ke gerobak penjual keliling itu. Gussy sangat marah. Laki-laki yang bertubuh kecil melayani mereka. Temannya yang bertubuh besar hanya membantu menyodorkan ini dan itu, serta membungkus barang-barang yang dibeli. Orang itu bekerja sambil membisu. Sedikit pun tidak berbicara. Tapi yang satunya lagi nyerocos terus. Rupanya ia gemar mengobrol. "Kalian punya kabar baru?" tanya orang itu pada Mak dan Lucia, yang datang untuk membeli jepit rambut serta sisir. "Kalian kan datang dari arah Borken? Ada kabar baru tentang Raja? Sampai sekarang belum diketahui bagaimana nasibnya!" Mak bercerita tentang keributan yang terjadi malam-malam di kota itu. Lucia menambahkan komentar-komentarnya. "Di manakah Pangeran Aloysius sekarang?" tanya wanita itu. "Kabarnya, ia disekolahkan ke Inggris. Jika Raja meninggal dunia, pangeran cilik itu terpaksa harus kembali." "Tadi rombongan kami dicegat tentara, lalu digeledah," kata Madame Fifi. "Entah apa yang mereka cari. Barangkali Raja!" Orang-orang yang mendengar tertawa semua. Obrolan berlanjut, sementara orang-orang sirkus sibuk berbelanja. Jack membeli kembang gula untuk anak-anak. Kiki bertengger di bahunya, seperti biasa. "Selamat pagi, selamat malam, selamat makan," kata Kiki dengan sopan, pada pedagang yang sedang sibuk melayani. Orang itu tertawa. Tapi temannya menoleh dengan cepat, lalu menatap Kiki dengan tajam. Jack merasa cemas. Kenapa orang yang bertubuh kekar itu memandang dengan cara begitu? Jack berusaha melihat wajah orang itu dengan lebih jelas. Tapi sementara itu hari sudah gelap. Dan ruangan di dalam gerobak lebih gelap lagi. Lucy-Ann menunjuk ke sebuah stoples berisi manisan. "Aku ingin yang itu," katanya dalam bahasa Inggris. Jack melihat bahwa sikap laki-laki bertubuh besar tadi berubah, ia nampaknya seperti menunggu kata-kata yang mungkin akan diucapkan Lucy-Ann lagi. Orang itu meraih sebuah kaleng yang terletak di atas sebuah rak. Tapi ia langsung tertegun, begitu Lucy-Ann berbicara lagi. "Kita membeli sekaleng nenas, yuk! Itu kan kegemaran Kiki." Laki-laki bertubuh besar itu berpaling. Jack cepat-cepat mendorong Lucy-Ann ke tempat gelap, ia yakin sekarang, laki-laki itu pasti mata-mata! ia berusaha memperhatikan. Tapi tidak banyak yang bisa dilihat. Rambutnya ikal, berwarna hitam — seperti rambut kebanyakan penduduk Tauri-Hessia. Lalu kumis hitam yang tipis. Hanya itulah yang bisa dikenali oleh Jack di tempat segelap itu. "Ada apa, Jack?" tanya Lucy-Ann dengan heran, sementara abangnya bergegas membawanya pergi menjauhi tempat itu, bersama Dinah dan Philip. Mereka langsung ikut cemas, begitu diberi tahu oleh Jack. Mereka cepat-cepat pergi ke karavan Mak. Untunglah, Gussy masih ada di situ. "Cepat—keluarkan sulamanmu, Gussy!" kata Jack. "Kami baru saja melihat seseorang yang mencurigakan. Orang itu mendengar Lucy-Ann dan Kiki berbicara dalam bahasa Inggris, ia kelihatan sangat tertarik mendengar mereka!" "Mudah-mudahan saja mereka lekas pergi lagi," kata Philip. "Akan kuawasi gerobak mereka! Nanti kalau mereka sudah pergi, kalian akan kuberi tahu." Tapi kedua pedagang keliling itu tidak pergi! Mereka menutup dinding samping gerobak mereka, lalu duduk sambil masak di atas api unggun. "Kelihatannya mereka hendak bermalam di sini," kata Philip melaporkan. "Dan Madame Fifi tadi bercerita, laki-laki yang bertubuh kecil bertanya macam-macam padanya tentang Kiki — apakah pemiliknya juga orang sirkus ini, dan di mana anak itu tidur!" "Sialan," kata Jack. "Bagaimana sekarang? Kita tidak mungkin bisa lari — karena tidak tahu di mana kita berada saat ini. Yang jelas, jauh dari mana-mana! Yah — kita cuma bisa berharap saja, moga-moga tidak terjadi apa-apa. Kita, yang laki-laki, tidur di tempat yang biasa, di kolong karavanmu, Pedro. Sedang Gussy di dalam karavan Mak. ia yang paling penting di antara kita. Kita penting hanya karena Gussy lari bersama kita — dan kemungkinannya Adipati beranggapan bahwa di mana kita berada, Gussy pasti juga ada di situ!" Dinah dan Lucy-Ann masuk ke karavan Pedro. Gussy tidur di tempat Mak. Ketiga anak laki-laki merebahkan diri di atas selimut tebal, di kolong karavan Pedro. Anak itu dengan segera sudah tidur pulas. Tapi Jack dan Philip masih berbisik-bisik. Mereka masih tetap cemas. Tiba-tiba Jack mencengkeram lengan Philip. "Ada orang datang," bisiknya, "ia kemari!" Jack duduk dengan berhati-hati, sambil meraih senternya. Ya — ada orang merangkak, menghampiri karavan. Dengan segera Jack menyalakan senternya. Sinarnya menerangi wajah seseorang berambut hitam dan ikal. Itulah laki-laki bertubuh kekar, satu dari kedua pedagang keliling. "Mau apa kau merangkak-rangkak kemari?" tukas Jack. "Kubangunkan orang-orang, biar kau dihajar mereka!" Bab 27, PERJUMPAAN YANG TIDAK DISANGKA-SANGKA "Ssst” desis orang itu. "Aku..." Sebelum ia bisa meneruskan kalimatnya tahu-tahu ada kejadian aneh! Kiki, yang selama itu memandang laki-laki yang datang itu dengan heran, tahu-tahu terbang — lalu hinggap dibahu orang itu! ia mengusap-usapkan paruhnya ke pipi laki-laki itu dengan mesra, sambil mendengkur-dengkur, seperti burung merpati. "Kiki," kata laki-laki asing itu, sambil mengelus-elus tengkuk Kiki. "Bill upil," kata Kiki dengan mesra. "Bill upil, jerangkan air, panggilkan dokter!" Jack hanya bisa melongo. Kenapa Kiki tahu-tahu bersikap begitu aneh — dan kenapa orang itu mengenal Kiki? Philip yang lebih dulu mengerti. Tahu-tahu ia merangkak dengan cepat ke luar. "Bill! Bill! Bermimpikah aku? Benar-benar kaukah ini, Bill? Kau memakai rambut palsu?" Sambil tertawa lebar, laki-laki bertubuh besar itu merenggut rambutnya yang hitam ikal. Rambut itu langsung terlepas. Ya — ia memakai rambut palsu! Kini wajahnya sudah wajah Bill lagi, meski di bawah hidungnya masih melintang kumis hitam. Tentu saja itu juga palsu. "Aduh, Bill! Sukar sekali bagiku untuk bisa percaya bahwa ini benar-benar terjadi," kata Philip. Bill menyalaminya dengan hangat. Saat itu barulah Jack datang menggabungkan diri. Matanya terbelalak, seakan-akan tidak bisa mempercayai penglihatannya sendiri. Tapi laki-laki yang datang itu memang Bill. ia langsung bertanya tentang keadaan Dinah dan Lucy-Ann. "Lega hatiku melihat mereka berdua baik-baik saja," katanya. "Tadi aku hampir-hampir tidak mengenali mereka lagi, dengan dandanan seperti itu. Tapi suara Lucy-Ann yang jernih dan tinggi langsung kukenali. Dan Kiki, tidak mungkin aku bisa tidak kenal lagi padanya. Aku tadi kaget sekali, ketika melihat dia bertengger di bahumu, Jack. Di mana Dinah dan Lucy-Ann? Di dalam karavan ini?" "Ya! Kami tadi menyangka kau dan temanmu mata-mata, karena kami mendengar kalian bertanya-tanya di mana kami tidur," kata Jack. "Kami sedikit pun tidak mengira, bahwa kau menyamar menjadi pedagang keliling. Yuk, kita masuk ke karavan! Pedro kita bangunkan juga. ia sahabat kami." Tidak lama sesudah itu mereka sudah duduk beramai-ramai dalam karavan Pedro yang sempit. Lucy-Ann tidak mau jauh-jauh dari Bill. Berulang kali ia mengusap air matanya yang bercucuran. "Aku menangis karena senang, Bill," kata Lucy-Ann. ia tertawa, sementara air matanya masih terus mengalir. Bill mengusap air mata anak itu dengan sapu tangannya, ia sangat sayang pada Lucy-Ann. "Melihatmu menangis, aku jadi teringat pada Gussy," katanya. "Ingat tidak, Philip — ketika kau mengambil serbet dapur, untuk mengeringkan air matanya? Sudahlah — kita sudah berkumpul lagi sekarang." "Bagaimana kabar Ibu?" tanya Philip. "Pasti ia sangat cemas memikirkan kami!" "O ya!" kata Bill. "Kami disergap oleh para penjahat lalu diikat, sebelum mereka menculik kalian. Kami tidak berhasil membebaskan diri. Kami terpaksa menunggu sampai dibebaskan oleh Bu Gump keesokan harinya, ketika ia lewat di dekat kami terbaring dalam keadaan terikat. Saat itu tentu saja jejak kalian sudah lenyap. Polisi yang kami beri tahu, mencari kalian ke segala penjuru di Inggris. Kami tidak berani melaporkan bahwa Gussy juga ikut lenyap — karena kami tidak ingin kabar itu sampai ke telinga orang Tauri-Hessia!" "Sedang kami mula-mula diculik dengan mobil, lalu diangkut dengan pesawat terbang kemari," kata Philip. "Jack bersembunyi dalam tempat bagasi di belakang mobil, lalu menyelundup masuk ke pesawat terbang. Kemudian ia berhasil membebaskan kami, yang ditawan di Puri Borken, bersama Gussy." "Bersama Kiki, aku menggabungkan diri dengan rombongan sirkus ini," kata Jack. "Pedro benar- benar sahabat sejati. Entah apa yang bisa kulakukan, jika ia tidak ada. Kami minta tolong pada Toni dan Bingo untuk membantu kami membebaskan anak-anak. Wah — hal itu benar-benar berbahaya!" Jack menceritakan usaha pembebasan itu, sementara Bill mendengarkan dengan kagum. Apa saja yang sudah mereka alami! Tapi mereka sedikit pun tak gentar. Dan kini Gussy ada bersama mereka. Disamarkan menjadi anak perempuan! "Tapi apa yang kaulakukan di sini, Bill?" tanya Jack. "Kenapa kau berpakaian seperti orang Tauri-Hessia — mengembara dengan kendaraan pedagang keliling? Aku merasa seperti sedang bermimpi, melihatmu tahu-tahu muncul di sini." "Kau tidak mimpi, Jack," kata Bill sambil tertawa. "Aku benar-benar ada di sini. Soalnya begini. Pemerintah negara kita, begitu mendengar tentang lenyapnya raja Tauri-Hessia, dengan segera ingin tahu apakah berita itu benar atau tidak. Kecuali itu juga ingin tahu, di mana Pangeran Aloysius kini berada. Karena pemerintah Tauri-Hessia menitipkan Gussy padaku, diambil keputusan bahwa akulah yang ditugaskan kemari, untuk menyelidiki." "Apakah saat itu kau sudah mengira, bahwa kami mungkin ada di sini?" "Ya," jawab Bill. "Aku menarik kesimpulan, ke mana pun Gussy dibawa, kalian mestinya juga ikut—sebagai sandera, jika pemerintah negara kita mengambil tindakan terhadap Gussy. Dan begitu kami mendapat kabar bahwa Raja lenyap, kami langsung menduga bahwa Gussy pasti ada di Borken, yang merupakan daerah kekuasaan Adipati Paritolen. Dan Raja pun mungkin ditawan di tempat yang sama. Jadi aku langsung terbang kemari untuk mengadakan penyelidikan, ditemani seorang rekan yang lancar berbahasa Tauri-Hessia. Kami memilih untuk mengembara sebagai pedagang keliling, karena dengan begini kami bisa datang ke mana-mana dengan aman." "Ibu kini pasti sangat khawatir, setelah kau juga pergi," kata Dinah. "Besok aku akan mengirim kabar padanya," kata Bill. "Sekarang aku ingin bertanya. Kalian punya dugaan, kira-kira di mana Raja disembunyikan?" "Di Puri Borken," jawab Jack dengan segera. "Tentang itu aku yakin sekali. Akan kujelaskan, kenapa begitu." Jack bercerita tentang pengalamannya di dalam puri. "Kemudian kudengar Nyonya Tatiosa bercakap-cakap dengan Adipati Paritolen. Mereka kedengarannya sangat bersemangat. Dan itu terjadi malam hari, menjelang tersiarnya berita bahwa Raja hilang," kata Jack. "Ketika aku mendengarkan pembicaraan mereka berdua, rupanya saat itu Raja sudah mereka tawan. Dan tempat yang paling masuk akal, mestinya di puri itu — karena dengan begitu, baik Raja maupun Putra Makota, kedua-duanya ada dalam kekuasaannya." Bill mengikuti penjelasan itu dengan penuh minat. "Kurasa kau benar, Jack," katanya kemudian. "Kita harus berusaha masuk ke puri itu. Ronald, rekan yang ikut kemari bersamaku, lancar sekali berbahasa sini. Mungkin saja ia bisa menyelundup masuk — Misalnya saja dengan mengaku tukang yang disuruh datang untuk membetulkan sesuatu, atau begitu." "Aku tahu akal yang lebih bagus lagi," kata Jack dengan tiba-tiba. "Ada jalan rahasia, lewat mana kita bisa menyusup masuk tanpa ketahuan. Aku secara kebetulan saja menemukannya, sewaktu berkeliaran malam-malam di sana. Jalan rahasia itu menuju ke ruang dansa yang besar. Pada salah satu dinding ruangan itu ada sebuah lukisan yang bisa digeser ke samping. Lewat lubang yang terjadi, kita sampai di ruangan itu. Tapi payahnya, aku tidak tahu cara menggeserkan lukisan itu." "Itu bisa kita selidiki," kata Bill. "Wah, gagasanmu itu hebat, Jack! Maukah kau menjadi penunjuk jalan kami, masuk ke puri? Kami perlu mengetahui apakah Raja masih hidup, dan benarkah ia ada di Puri Borken! Satu hal sudah jelas rencana persekutuan jahat itu kacau sekarang, setelah Gussy yang mereka tawan tahu-tahu lenyap. Raja tidak ada lagi, tapi tidak ada Putra Mahkota yang bisa diangkat menggantikannya! Kedudukan mereka sekarang sulit!" "Tentu saja aku mau ikut, Bill," kata Jack bersemangat. "Aku juga ikut," kata Philip. "Jangan! Kau harus tetap di sini, menemani adik-adikmu," kata Bill. "Dan sekaligus juga mengawasi Gussy. Pedro juga bisa membantu." "Bagaimana — kita berangkat saja sekarang?" kata Jack dengan sikap tidak sabar. "Malam ini sangat gelap — cocok untuk rencana kita." "Ya, memang sebaiknya kita berangkat selekas mungkin," kata Bill. ia berdiri. "Tunggu sebentar di sini — Ronnie akan kupanggil dulu. Aku juga masih harus menjelaskan beberapa hal padanya. Wah — ia pasti tercengang nanti!" Bill bergegas pergi. Selama beberapa saat anak-anak membisu. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba Kiki mengoceh. "Dingdongbur, Bill masuk sumur," ocehnya. "Pus pilek—" dan Kiki bersin dengan keras. "Konyol, ah!" kata Jack. "Wah — bukan main pengalaman kita malam ini! Bayangkan — tahu- tahu Bill muncul di sini. Kiki yang tadi pertama-tama mengenalinya, ketika ia datang ke sini dengan merangkak-rangkak. Aku sendiri tidak tahu bahwa itu Bill." "Sekarang semuanya pasti akan menjadi beres lagi," kata Lucy-Ann. "Itu sudah pasti, karena Bill sudah ada di sini." "Jangan terlalu cepat bergembira," kata Dinah. "Tugas mereka nanti, bukan urusan enteng." Beberapa saat kemudian Bill datang lagi, kini ditemani rekannya yang bernama Ronnie. Laki-laki bertubuh kecil itu kelihatan agak bingung, menjumpai anak-anak sebanyak itu di dalam karavan. Tidak terdengar ocehannya, seperti ketika ia beraksi sebagai pedagang keliling tadi sore! "Nah—kita sudah bisa berangkat sekarang?" tanya Bill. "Kalau sudah, kita langsung saja pergi!" Jack mengikuti Bill dan rekannya ke gerobak mereka. Jack langsung tahu, apa rencana selanjutnya. Mereka akan kembali dengan kendaraan itu ke Borken. Takkan sampai sejam waktu yang diperlukan, karena rombongan sirkus memang belum begitu jauh meninggalkan kota itu. Gerobak itu dikemudikan oleh Ronnie. Kiki tidak mau ditinggal, ia bertengger di bahu Jack. Tidak sampai sejam kemudian mereka sudah sampai di Borken. Kota itu gelap gulita. "Sebaiknya gerobak ini kita taruh di lapangan bekas tempat perkemahan sirkus," kata Jack, lalu menunjukkan jalan ke tempat itu. "Letaknya di kaki bukit puri." Ronnie menaruh kendaraan di belakang belukar lebat. Ketiga penumpangnya cepat-cepat turun, lalu mulai mendaki bukit. "Itu dia, menara lonceng yang kuceritakan tadi," kata Jack. "Kita harus berhati-hati mendatanginya, karena siapa tahu—mungkin ada penjaga di situ. Adipati Paritolen pasti sudah tahu bahwa anak-anak lari lewat menara itu. Soalnya, kami terpaksa meninggalkan tali penyeberang yang terentang dari menara ke menara." Tapi menara lonceng kelihatannya tidak dijaga. Sejak dari jauh sudah nampak lampu-lampu menyala terang di sejumlah kamar di puri. Pada waktu selarut itu masih ada lampu-lampu menyala di sana - itu berarti bahwa ada kejadian penting di dalam! "Mereka mungkin sedang berembuk," kata Bill, sambil memandang jendela-jendela yang terang. "Mungkin kita nanti bisa menyelidikinya." "Pada salah satu dinding ruang rapat ada lubang untuk mengintip — kalau itu memang ruang rapat," kata Jack. "Aku melihat sebuah meja bundar di situ, dilengkapi dengan kursi-kursi, serta kertas dan pensil yang sudah diatur rapi. Jika kita bisa mengintip lewat lubang itu ke dalam, mungkin kita akan melihat hal-hal yang menarik di situ." "Ya, siapa tahu," kata Bill. "Yuk—kita masuk saja sekarang, ke menara lonceng! Mana tingkap di lantai yang kauceritakan tadi, Jack?" Jack mencari-cari dengan bantuan sinar senternya. Dengan cepat tingkap itu sudah ditemukan. Bill mengangkat tutupnya. Setelah mereka masuk ke bawah, ia menutupnya kembali dengan cermat. "Kau berjalan di depan, Jack," kata Bill, sambil menyalakan senternya yang bersinar terang sekali. Jack kaget, karena baru saat itu ia melihat bahwa baik Bill maupun Ronnie menggenggam pistol. Wah — urusannya ternyata sangat gawat, kalau begini. "Lewat sini," kata Jack, sambil melangkahi barang-barang usang yang berserakan. "Tapi kita harus hati-hati sekali!" Bab 28, KEMBALI KE PURI BORKEN Jack memanjat lewat lubang bulat yang terdapat di ujung ruangan sempit itu, disusul oleh Bill dan Ronnie. Kini mereka berada di lorong yang sempit dan rendah, yang mengarah curam ke atas. Jack berjalan mendului, diterangi sinar senter Bill yang terang benderang. Sampai di ujung sebelah atas lorong itu, Jack berhenti. "Kita sebentar lagi sampai di balik ruangan, yang di dindingnya ada lubang untuk mengintip," katanya berbisik. "Jika di situ sedang berlangsung rapat atau apa saja, kita akan bisa mengintip. Atau sebaiknya kau saja, Bill — karena sepanjang pengetahuanku cuma ada satu lubang saja di situ." "Nanti bilang ya, jika kita sudah sampai di situ," bisik Bill. Tidak lama kemudian Jack melihat ada sinar terang memancar masuk ke lorong gelap itu. Datangnya dari sisi kanan. "Itu dia lubangnya," kata Jack berbisik. Bill mengangguk, ia tidak bisa melewati Jack, karena lorong itu sangat sempit. Jadi Jack harus berjalan sampai sedikit melewati lubang, memberi tempat bagi Bill untuk mengintip. Ronnie mendampingi Bill, sambil membisu. Kiki sudah disuruh diam. Bill mendekatkan matanya ke lubang pengintip, ia melihat ruangan yang diperlengkapi dengan sebuah meja bundar, serta sejumlah kursi. Di atas meja nampak alat-alat tulis yang diatur rapi. Tapi kini ruangan itu terang-benderang. Banyak orang di situ, semuanya duduk di kursi-kursi yang tersedia. Adipati Paritolen duduk di ujung meja, didampingi adiknya, Nyonya Tatiosa. Sedang di sebelahnya lagi duduk seseorang. Bill mengenalinya, karena pernah melihat foto orang itu. Itulah Perdana Menteri, suami Nyonya Tatiosa. Sikapnya sangat prihatin. Kursi-kursi yang lain ditempati orang-orang berseragam militer. Di seberang Adipati duduk seorang laki-laki bertubuh jangkung. Wajahnya mirip sekali dengan Gussy. Itulah Raja! Bill menarik napas lega. Jadi Raja masih hidup. Jika ia bisa dibebaskan, dengan segera keadaan akan bisa dibereskan, dan perang saudara bisa dihindari. Bill berusaha mendengarkan perembukan yang sedang berlangsung di dalam. Cukup banyak yang berhasil ditangkapnya, walau ia tidak bisa mendengar dengan sangat jelas. Rupanya Raja didesak untuk mengundurkan diri, dan diganti oleh Pangeran Aloysius. "Baginda nanti menyesal, jika tidak bersedia menandatangani naskah pengunduran diri ini," kata Adipati Paritolen. "Dunia luar takkan pernah mendengar apa-apa lagi tentang Baginda." Bill hanya bisa mengerti sedikit-sedikit saja, karena ia baru belajar bahasa Tauri-Hessia ketika mendengar bahwa ia harus pergi ke negara itu. Tapi ia masih bisa menangkap makna kata-kata Adipati. Perdana Menteri mengatakan sesuatu dengan nada memprotes. Tapi Adipati Paritolen tidak mengacuhkannya. Nyonya Tatiosa berdiri, berbicara sebentar dengan sikap sengit, lalu duduk kembali. Raja membungkuk, mengatakan sesuatu dengan suara lirih. Bill sama sekali tidak bisa menangkap kata-katanya. "Baiklah," kata Adipati Paritolen. "Baginda kami beri waktu sampai besok pagi. Sidang diundurkan sampai saat itu." Bangsawan itu berdiri, diikuti oleh yang lain-lain. Semua meninggalkan ruang rapat. Raja digiring ke luar, dikawal ketat oleh empat orang. Kini tidak ada lagi orang di dalam ruangan itu. Lampu-lampu diredupkan. Bill menoleh pada Ronnie, lalu menceritakan apa yang dilihatnya — serta apa yang menurut perkiraannya terjadi di situ tadi. "Kalau aku tidak salah tangkap tadi, Raja diberi waktu untuk berpikir-pikir, sampai besok pagi. Jika ia tetap menolak untuk turun tahta, habislah riwayatnya. Kurasa Raja akan tetap menolak " Selama beberapa saat, suasana di balik dinding sunyi. Bill merenung, menimbang untung-ruginya jika ia pergi ke ibu kota Tauri-Hessia, untuk meminta bantuan guna membebaskan Raja. Tidak — untuk itu tidak ada waktu lagi. Letak ibu kota terlalu jauh dari Borken. Hanya ada satu kemungkinan yang masih bisa dilakukan, ia sendiri harus berusaha membebaskan Raja! ia membisikkan kesimpulannya pada Jack. Anak itu mengangguk. "Coba kita bisa mengetahui, ke mana Raja tadi dibawa! Satu hal sudah pasti — ia takkan dikurung dalam ruang menara, setelah Gussy berhasil lari dari tempat itu. Lebih baik kita terus ke ruang dansa, Bill. Mungkin kita bisa menggeser lukisan besar itu." Jack berjalan mendului lagi. Mula-mula mendaki tangga, lalu menyusur lorong gelap dan sempit. Jack berhenti, ketika mereka sampai di kaki jenjang lagi. "Inilah tangga yang menuju ke lukisan itu," bisiknya pada Bill. "Mungkin kau bisa menemukan cara menggeser lukisan itu ke samping." Mereka menaiki tangga. Bill dan Ronnie meraba-raba dinding, mencari-cari. Tiba-tiba tangan Bill menyentuh semacam tombol. Nah — pasti inilah alat yang menyebabkan lukisan itu tergeser ke samping. Bill menempelkan telinga ke dinding, ia tidak mendengar apa-apa di ruangan sebelah. Bill menarik tombol. Lukisan tetap ada di tempatnya. Bill mencoba dengan cara memutar. Tetap tidak terjadi apa-apa. Kini ia menekan dan tombol itu melesak ke dalam. Saat itu juga terdengar bunyi benda tergeser. Bill mendapat kesan, seolah-olah sebagian dari dinding di depannya tahu-tahu lenyap. Padahal lukisan besar itu bergerak ke samping, meninggalkan lubang besar di tempat semula. Bill mengintip ke luar. "Tidak ada orang," bisiknya. "Yuk, kita masuk selama masih bisa." ia meloncat ke lantai, disusul oleh Jack dan Ronnie. Mereka memakai sepatu bersol karet, jadi loncatan mereka sedikit pun tidak menimbulkan bunyi. "Kuperiksa saja sebentar, apakah Raja tidak dikurung dalam kamar menara," kata Jack berbisik- bisik. "Kalian tunggu saja di sini — di balik tirai." Jack bergegas ke ruang samping, lalu berdiri di situ sambil memasang telinga. Setelah memastikan bahwa tidak ada orang di situ, ia pun cepat-cepat lari ke atas, mendaki tangga pilin. Sesampainya di atas, disorotkannya senter ke arah pintu ruangan tempat Philip dan anak-anak yang lain waktu itu dikurung. Pintu itu terbuka lebar! Ruangan yang ada di belakangnya gelap gulita. Nampak jelas bahwa Raja tidak ada di situ. Jack bergegas turun lagi, lalu berjingkat-jingkat menghampiri tirai tempat Bill dan Ronnie bersembunyi. “ia tidak ada di atas," katanya pada mereka. "Pintu kamar terbuka lebar." "Sssst — aku mendengar sesuatu," bisik Bill. Mereka menahan napas. Terdengar langkah-langkah berat menghampiri — tapi ternyata kemudian lewat. Bill mengintip dari balik tirai. "Dua orang prajurit," bisiknya. "Mungkin akan mengganti rekan mereka, yang menjaga di depan kamar tempat Raja dikurung. Kita tunggu saja sebentar. Jika nanti ada prajurit lain lewat lagi ke arah berlawanan, itu berarti dugaanku benar. Setelah itu kita menyelinap ke dalam lorong yang dimasuki kedua prajurit tadi." "Itu — ada lagi yang datang!" desis Ronnie. Dua orang prajurit berjalan seiring ke arah berlawanan. Mereka bukan prajurit-prajurit yang tadi. Bill menunggu, sampai langkah mereka tidak kedengaran lagi. "Yuk," katanya kemudian. "Tapi kita harus waspada!" Mereka memasuki lorong gelap dari mana kedua prajurit yang kedua muncul. Di ujungnya ada belokan tajam. Setelah menuruni tangga yang tidak tinggi, mereka menyusur lorong yang lebih sempit dari yang tadi. Lalu membelok lagi. Tiba-tiba mereka tertegun, karena saat itu terdengar bunyi langkah orang mendekat. Di dekat mereka ada pintu. Bill bergegas membukanya, lalu mendorong Ronnie dan Jack ke dalam ruangan yang ada di belakangnya. Ruangan itu sangat gelap. Bill menyalakan senternya sebentar. Mereka ternyata masuk ke dalam semacam gudang. Langkah yang terdengar tadi lewat di depan ruangan itu, lalu setelah beberapa saat kembali lagi. Rupanya itu para prajurit yang menjaga di situ. Jarak yang ditempuh oleh mereka rupanya agak jauh, karena agak lama juga langkah mereka baru terdengar lewat lagi. "Kurasa Raja dikurung di kamar yang letaknya di tengah lorong yang dikawal prajurit-prajurit itu," kata Bill. "Nanti kita biarkan mereka lewat lagi — setelah itu kita cepat-cepat memeriksa. Jika terdengar langkah mereka kembali, kita akan masih sempat mencari tempat bersembunyi di ujung sebelah sana." Setelah itu mereka menunggu. Dan begitu kedua prajurit yang menjaga sudah lewat, Bill mengajak Jack dan Ronnie cepat-cepat keluar. Mereka meneruskan penyelidikan, menyusur lorong. Ternyata lorong itu berakhir pada suatu tikungan. Di depan mereka ada pintu kokoh yang digerendel. Dan ternyata juga dikunci, ketika Bill mencoba hendak membukanya! "Ssst!" desis Ronnie dengan tiba-tiba, lalu menarik Bill dan Jack ke sudut yang gelap. Mereka kaget, karena tidak tahu apa yang menyebabkan Ronnie berbuat begitu. Tapi dengan segera mereka melihat sendiri! Tepat di depan mereka ada lagi sebuah pintu. Mereka tadi tidak melihatnya, karena tersamar sebagai bagian dari dinding lorong. Dan kini pintu itu terbuka dengan pelan-pelan. Ada orang keluar lewat situ, membawa lentera. Orang itu Adipati Paritolen. Jangan-jangan ia datang untuk membunuh Raja! Atau mungkin ingin sekali mendesak, agar mau turun tahta? Bill melihat bahwa bangsawan licik itu menggenggam anak kunci besar. Pasti itu untuk membuka pintu kamar tempat Raja terkurung! Ketika Adipati Paritolen mendengar langkah prajurit yang menjaga datang, ia cepat-cepat masuk lagi, lalu menutup pintu rahasia itu. Rupanya ia hendak menunggu sampai kedua prajurit itu sudah menjauh kembali. "Ronnie," bisik Bill pada rekannya, "kita harus merampas anak kunci yang dipegang Adipati! Dan ia pun sekaligus kita kuasai. Kau yang menyergapnya, sementara aku membuka pintu. Tapi jangan sampai Adipati bisa berteriak!" "Beres," kata Ronnie singkat. Sementara itu kedua prajurit yang menjaga sudah sampai di depan pintu. Mereka memutar tubuh, lalu berbaris menjauh lagi. Begitu mereka lenyap di balik tikungan, pintu rahasia terbuka lagi. Adipati Paritolen melangkah ke luar dengan cepat. Tangannya yang satu memegang anak kunci. Sedang lentera dipegang dengan tangan yang satu lagi. Kejadian yang menyusul berlangsung begitu cepat, sehingga Jack hampir saja tidak bisa mengikutinya, ia mendengar Adipati Paritolen berteriak dengan suara tertahan, karena mulutnya disekap oleh Ronnie. Bill menyambar anak kunci, lalu lari menuju pintu. Sedang Ronnie menyeret Adipati kembali ke pintu rahasia. Lentera padam, dan mereka diselimuti kegelapan. Dengan segera Ronnie sudah muncul lagi. ia menyalakan senter. "Di dalam ternyata ada semacam sel," kata Ronnie pada Bill, yang saat itu sedang membuka kunci dan gerendel pintu. "Cocok untuk mengurung Adipati di dalamnya! ia sudah kuikat. Sekarang ia boleh berteriak semau-maunya. Takkan ada orang yang bisa mendengar suaranya." "Bagus," kata Bill. "Aduh — banyaknya gerendel yang di pasang di sini! Aku harus cepat-cepat membuka semuanya, sebelum kedua penjaga itu muncul lagi di sini." Ronnie memadamkan lampu yang menyala dekat pintu yang hendak dibuka oleh Bill. "Mereka nanti tidak boleh melihat bahwa gerendel-gerendel sudah dibuka," katanya. "Cepatlah sedikit, Bill — aku mendengar langkah mereka menuju ke sini lagi. Aku menunggu di sini bersama Jack – untuk berjaga-jaga jika kedua prajurit itu curiga. Cepatlah sedikit, Bill!” Bab 29, SAAT-SAAT MENEGANGKAN Akhirnya Bill berhasil membuka pintu kokoh itu, lalu bergegas masuk. Dari dalam nampak sinar terang memancar keluar. Ronnie menutup pintu kembali dengan cepat. Jack menunggu dengan cemas. Bagaimana jika kedua prajurit itu sudah muncul lagi di situ, sebelum Bill berhasil mengeluarkan Raja dari dalam kamar? Pintu terbuka lagi. Tapi kali ini tidak ada cahaya memancar ke luar. Bill sudah memadamkan lampu yang ada di dalam, ia keluar — diikuti seseorang. Itu pasti Raja, pikir Jack dengan perasaan lega. Sementara itu kedua prajurit yang menjaga sudah datang lagi. Derap langkah mereka terdengar jelas. Bill menarik Raja ke pintu seberang, lalu mendorongnya masuk. Ronnie dan Jack menyusul. Pintu rahasia ditutup kembali. "Bagaimana jika kedua prajurit itu melihat bahwa pintu kamar sudah terbuka gerendel- gerendelnya!" tanya Jack. "Kau tadi tidak sempat menutup kembali." "Kita lihat saja nanti," kata Bill. "Kurasa mereka pasti akan melihat — karena mereka bertugas memeriksa dengan teliti." Tiba-tiba Jack tersentak. "Mana Kiki? Tadi masih bertengger di bahuku! Karena tegang, aku tadi tidak menyadari bahwa ia tahu-tahu terbang! Aduh, Bill — Kiki masih ada di luar!" Burung itu memang masih ada di dalam lorong, ia terbang dengan gelisah, karena tahu-tahu Jack tidak ada lagi. Ke manakah dia? Sementara itu kedua prajurit yang menjaga sudah semakin dekat. Kiki terbang ke suatu bagian dinding yang agak menonjol. Ketika kedua prajurit lewat di bawahnya, Kiki menjerit — menirukan suara burung hantu. "HUUUUU! HUUUU!" Kedua prajurit itu tertegun. Seorang di antaranya mengatakan sesuatu pada temannya, dengan nada ketakutan. Kini Kiki menirukan suara anjing. Mendengking, lalu menggeram-geram. Seram sekali kedengarannya, menggema di lorong yang remang-remang itu. Kedua prajurit itu memandang berkeliling dengan bingung. Kiki mengeong seperti kucing lapar, lalu terkekeh-kekeh. “Bersihkan kaki, buang ingusmu, si tuyul muncul, dordordor!" Kedua orang yang ada di bawah tentu saja tidak mengerti apa yang diocehkan oleh Kiki. Tapi justru itulah yang menyebabkan mereka semakin takut. Keduanya saling berpegangan. Bulu tengkuk mereka merinding. Kiki batuk dan mendeham-deham. ia sama sekali tidak menyangka, bahwa bunyinya sangat menakutkan bagi kedua prajurit itu. Tapi begitulah kenyataannya! Mereka mencampakkan senapan mereka, lalu lari pontang-panting sambil berteriak-teriak. Jack mendengar segala keributan itu. ia tadi membuka pintu rahasia secelah, karena cemas memikirkan Kiki yang tertinggal di dalam lorong, ia nyengir, mendengar Kiki beraksi. Kini ia memanggil-manggil dengan suara lirih. Kiki mendengarnya, lalu terbang mendatangi. Sementara itu Bill menimbang-nimbang, apa yang sebaiknya dilakukan sekarang. Kembali lewat jalan tadi rasanya akan terlalu besar risikonya. Kedua prajurit yang lari ketakutan itu pasti akan kembali dengan beberapa rekan mereka, untuk memeriksa asal-usul bunyi-bunyi misterius itu. "Mungkin ada jalan lain untuk keluar dari sini," kata Bill pada Ronnie. "Lorong tersembunyi di mana kita berada ini, kurasa tidak hanya menuju ke sel tempat Adipati Paritolen kaukurung tadi." "Kita tanyakan saja padanya," kata Ronnie. ia menyodorkan pistolnya ke depan. "Kusodok dia dengan ini — pasti ia akan mau bicara." Bill tertawa. "Kurasa itu tidak perlu," katanya. "Begitu ia melihat Raja, pasti ia akan membuka mulut. — Yang Mulia, sudikah Baginda menitahkan pada Adipati, agar ia menunjukkan jalan keluar dari sini?" Raja ternyata bisa berbahasa Inggris dengan lancar, ia mengangguk. Matanya bersinar-sinar. Rupanya ia memang ingin berbicara dengan bangsawan itu! Mereka mendatangi bilik sempit, di mana Adipati Paritolen dikurung oleh Ronnie. Bangsawan itu tergeletak di lantai, dalam keadaan terikat. Mukanya merah padam, karena marah, ia kaget sekali, ketika Raja tahu-tahu muncul di depannya. "Lepaskan tali yang mengikat kakinya, Ronnie. Tapi tangannya jangan," kata Bill. "ia harus berdiri dengan sopan di hadapan rajanya." Adipati Paritolen bangun dengan susah-payah, setelah Ronnie membuka tali yang mengikat kakinya. Wajah bangsawan itu pucat pasi. Raja membentaknya dalam bahasa Tauri-Hessia. Adipati Paritolen gemetar. Kepalanya tertunduk. Akhirnya ia berlutut, dengan sikap memelas. Raja menyentuhnya dengan kaki, sambil mengucapkan beberapa patah kata lagi. Adipati cepat- cepat berdiri lagi. Ia mengatakan, "Ai, ai!" Jack tahu bahwa itu berarti, "Ya, ya!" "ia mau menunjukkan jalan keluar," kata Ronnie. "Untung saja," kata Bill. "Aku sudah mendengar suara ribut-ribut dalam lorong di luar. Kedua prajurit tadi rupanya memanggil semua rekan mereka — dan mereka sudah melihat bahwa Raja tidak ada lagi di dalam kamar. Suruh Adipati bergegas Ronnie." Adipati Paritolen terhuyung keluar dari bilik sempit itu, dengan tangan masih terikat ke belakang, ia menuju ke sebuah pintu, lalu membukanya dengan dorongan kaki. Di belakang pintu ada tangga kecil, yang menuju ke bawah. "Aku di depan," kata Ronnie dengan cepat, lalu mendului Adipati. Lewat tangga, mereka sampai di sebuah ruangan sempit, dengan dinding berlapis papan. Ruangan itu nampaknya merupakan kamar kerja. Adipati Paritolen mengatakan sesuatu, sambil menganggukkan kepala ke suatu bagian dinding. Ronnie menghampiri tempat yang ditunjuk, lalu menggeser papan di situ ke bawah. Ternyata di belakang tempat itu ada lubang, yang bisa dimasuki satu orang. Di belakang lubang itu tidak nampak apa-apa, karena ada sesuatu yang menutupi. Bill menepuk-nepuk penutup itu. "Gorden," katanya. "Hebat sekali puri Anda, Adipati—banyak sekali tempat persembunyian di sini! Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Adipati Paritolen mengatakan sesuatu. "Katanya, gorden itu terpasang di sepanjang dinding salah satu ruang tidur," kata Ronnie menerjemahkan. "Jika kita menelusurinya, nanti akan ada jalan keluar menembusnya." Ronnie berjalan di belakang gorden yang tergantung lepas dari langit-langit sampai ke lantai. Akhirnya ia sampai pada bagian yang merupakan pertemuan antara dua gorden yang berlainan. Ronnie menjenguk ke luar lewat celah antara kedua gorden itu, lalu menyorotkan senternya berkeliling. Ternyata ruangan di depan gorden itu kamar tidur. Tidak ada siapa-siapa di situ. Sementara itu yang lain-lain juga sudah keluar. Jack bersin, karena hidungnya kemasukan debu. Kiki langsung bersin pula. Adipati Paritolen memandangnya dengan heran. "Sekarang ke mana?" tanya Ronnie, sambil menyodokkan pistolnya ke rusuk Adipati. Bangsawan itu kaget. Nyaris saja ia terjungkir. "Itu sebenarnya tidak perlu kaulakukan," kata Bill. "Memang — tapi juga tidak ada buruknya, jika dilakukan terhadap pengkhianat seperti dia ini," jawab Ronnie. "Orang yang suka mengancam pada saat ia berkuasa, perlu diberi pelajaran! Nah — sekarang jalan lagi, Adipati! Tunjukkan jalan keluar yang sesingkat-singkatnya!" Kalimat yang terakhir diucapkannya dalam bahasa Tauri-Hessia. Adipati Paritolen bergegas-gegas menjawab, sampai tergagap-gagap. Rupanya ia takut pada Ronnie. "Sekarang sudah gampang, kata Adipati," kata Ronnie menerjemahkan. "Kita tinggal menuruni tangga belakang, yang menuju ke bagian dapur. Di situ saat ini tidak ada orang. Dan dari situ kita bisa keluar, lewat pintu belakang!" Mereka bergegas mengambil jalan yang ditunjukkan. Di dapur ada tiga ekor kucing. Mata mereka berkilat-kilat, kena sinar senter yang disorotkan Bill. Kiki meniru suara anjing kecil menyalak. Kucing-kucing itu langsung lari. "Kau ini memang benar-benar suka iseng, Kiki," kata Jack sambil tertawa. Sementara itu Bill sudah membuka pintu dapur yang menuju ke luar. Mereka melintasi pekarangan yang lapang, menuju ke pintu gerbang. Pintunya yang besar terkunci. Tapi anak kuncinya digantungkan di sebelahnya. Bill membukanya dengan cepat. Semua melangkah ke luar. Ternyata mereka sampai di jalan raya kota Borken. "Di manakah kita menaruh mobil tadi?" kata Bill. "Jack, bisakah kau mengantarkan Ronnie ke sana? Kami menunggu di sini." Jack bergegas, mengantarkan Ronnie ke mobil gerobak, ia tahu jalan di sekitar situ, karena sudah beberapa kali datang ke kota sewaktu rombongan sirkus masih mengadakan pertunjukan di Borken. Dengan segera mereka sudah sampai di lapangan tempat mobil tadi ditaruh. Tidak lama kemudian kendaraan besar itu sudah sampai di dekat gerbang, dimana Bill menunggu bersama yang lain-lainnya. Bill mengambil tempat di belakang, dengan Jack. Mereka menjaga Adipati Paritolen, yang disuruh masuk ke situ. Raja duduk di depan, disamping Ronnie. "He—akan ke manakah kita?" tanya Jack, setelah beberapa waktu. "Ini kan bukan jalan kembali.” "Ya, memang," jawab Bill. "Kita sekarang harus langsung ke ibu kota Tauri-Hessia, Jack — karena Raja perlu selekas mungkin ada di sana. Negeri ini dilanda kekacauan—tanpa Raja, tanpa Putra Makota — Adipati kelihatannya hendak merebut kekuasaan, sedang Perdana Menteri tidak bisa apa-apa...." "Aku mengerti," kata Jack. "Tapi begitu Raja tampil kembali, keadaan akan aman lagi, kan?" Bill mengangguk. "Ya — begitu ia sudah tampil di depan rakyatnya! Dan Gussy sebaiknya juga ikut menampilkan diri — sehingga rakyat tahu bahwa di antara mereka berdua tidak ada masalah apa-apa." "Gussy pasti mau!" kata Jack. "Apakah kita nanti kembali untuk menjemputnya?" "Ya — Gussy nanti akan kita jemput, serta anak-anak yang lain. Kurasa Raja pasti ingin melihat mereka, yang selama ini ikut ditawan bersama Gussy. Raja kan tidak tahu, apa yang terjadi selama ia ditawan oleh Adipati Paritolen." Ternyata Raja memang ingin bertemu dengan anak-anak, setelah Bill mengisahkan pengalaman Pangeran Aloysius — alias Gussy — padanya. Sesampainya di istana di ibu kota, Raja disambut dengan gembira bercampur lega oleh beberapa pembantu setianya. Setelah itu diajaknya Bill, Ronnie, dan juga Jack ke sebuah ruangan. Sedang Adipati Paritolen digiring ke penjara, dikawal delapan prajurit. Empat berjalan di depannya, dan empat di belakang. "Kiri, kanan, kiri, kanan!" seru Kiki. "Hidup Raja!" Hari sudah menjelang pagi. Sejam lagi matahari terbit Tiba-tiba Jack menguap, ia tidak bisa menahannya. "Lebih baik kau tidur saja sebentar," kata Bill." Pagi nanti, Raja akan mengirim kereta kebesarannya untuk menjemput anak-anak. Kau akan dipinjaminya pakaian milik Gussy, supaya penampilanmu lebih pantas. Untuk anak-anak yang lain juga akan dikirimkan pakaian. Terutama untuk Gussy. Pangeran kan tidak cocok, jika tampil di depan rakyat dengan pakaian anak perempuan!" "Sekarang semuanya sudah beres," kata Jack. "Aduh, aku sudah mengantuk sekali! Kau juga akan tidur sekarang, Bill?" "Tidak — aku hendak menghubungi bibimu dulu lewat radio, untuk mengabarkan bahwa kita semua selamat," jawab Bill. "ia akan kusuruh kemari besok dengan pesawat terbang, sehingga kita akan berkumpul kembali!" Jack merebahkan diri di sofa. ia sudah tidak bisa lagi menahan kantuknya. Tidak sampai sedetik kemudian ia sudah tidur pulas. Bab 30 "HIDUP RAJA!" Jack terbangun, ketika seorang gadis pelayan yang cantik masuk membawa sarapan untuknya. Sementara ia tidur tadi, rupanya ada orang datang untuk mengganti pakaiannya, karena tahu-tahu ia sudah memakai piama dari kain sutra. Dan ia tidak lagi berbaring di sofa, melainkan di sebuah tempat tidur yang nyaman. Jack tercengang. "Wah — aku rupanya capek sekali, sampai sama sekali tidak merasakan apa-apa tadi," pikirnya. "Hmm — ini baru sarapan namanya!" katanya, sambil menikmati hidangan yang tersaji. "Kurasa Adipati Paritolen takkan mendapat sarapan sesedap ini di penjara. — Bagaimana pendapatmu, Kiki?" "Dokter pilek, panggil Raja," kata Kiki, sambil melirik ke arah jeruk yang masih ada di piring Jack. Saat itu Bill masuk. Penampilannya sudah jauh lebih rapi dibandingkan dengan malam sebelumnya. "Nah, bangun juga kau akhirnya," kata Bill. ia memandang ke arah baki yang tadi berisi makanan. "Astaga! Kau sendiri yang menghabiskan sarapan sebanyak itu?" "Aku dibantu Kiki," kata Jack, sambil nyengir. "Anak-anak sudah dijemput, Bill?" "Sudah! Aku ingin melihat tampang mereka saat kereta kebesaran datang menjemput, sekaligus dengan membawa pakaian untuk mereka," kata Bill. "Raja benar-benar baik hati. Pedro, Toni, Bingo, disuruhnya ikut datang — dan dibekali pakaian. Mak juga dipanggil." "Asyik!" kata Jack. "Mak pasti senang sekali. Kalau tidak ada dia Gussy pasti sudah ketahuan sewaktu rombongan sirkus digeledah. — Wah, akan ramai kita berkumpul di sini nanti!" "Oh ya," kata Bill. "Apalagi bibimu juga akan tiba hari ini." "Seperti pertunjukan teater saja," seru Jack dengan senang. "Setelah kisah berakhir, semua pelaku tampil di atas pentas!" "Lebih baik kau bangun saja sekarang," kata Bill. "Ini sudah pukul sebelas — sedang pukul dua belas Raja akan berpidato di depan rakyat. Setelah itu menyusul perjamuan makan siang. Kau pasti menyesal nanti, karena terlalu rakus sekarang!" Jack buru-buru turun dari tempat tidur. "Apa? Sudah pukul sebelas? Aduh — mana mungkin pukul dua belas aku sudah siap berpakaian. Bagaimana caranya mengenakan segala pakaian yang meriah ini? Ini pakaian pesta, Bill?" "Ya — pakaian pesta Tauri-Hessia," kata Bill. "Kalian pantas memakai pakaian begitu! Tapi kalau aku dan Ronnie, lebih baik kami berpakaian yang biasa-biasa saja." Pukul dua belas kurang seperempat, Jack selesai berdandan. Diperhatikannya bayangannya dalam cermin besar. "Wah! Penampilanku sekarang seperti pangeran dalam kisah sandiwara kuno," katanya. "Aku nanti minta dipotret, ah! Teman-teman di sekolah pasti terpingkal-pingkal, jika melihat fotoku dengan pakaian begini!" Saat itu terdengar suara ramai bersorak-sorak di jalan. Jack membuka jendela, lalu memandang ke bawah, ia melihat sebuah kereta megah bergerak lambat-lambat, diiringi sebuah kereta lagi. Iring-iringan itu disambut orang banyak dengan sorak-sorai meriah. Jack nyaris terjatuh dari jendela, sedang Kiki menjerit dengan lantang. "Lihatlah, Kiki — siapa yang berada dalam kendaraan paling depan!" seru Jack. "Itu kan Lucy-Ann, Philip, Gussy, dan Dinah! Bukan main hebatnya pakaian mereka! Dan itu — di kendaraan yang kedua — itu Pedro, Mak, Toni, dan Bingo! Mereka kelihatan seperti hendak tampil mengadakan pertunjukan sirkus!" Kedua kendaraan itu membelok, masuk lewat gerbang istana. Jack menjulurkan tubuhnya dari jendela ke luar. ia berteriak-teriak, rupanya ia lupa, bahwa saat itu ia berada di istana seorang raja. Kiki tidak mau ketinggalan. "Hore! Hore! Panggil dokter!" ocehnya. Tepat pukul dua belas tengah hari, Raja muncul di atas balkon istana untuk menampakkan diri pada rakyatnya, serta berpidato untuk memberi penjelasan tentang apa yang telah terjadi selama itu. Pidatonya singkat dan tegas. Rakyat mendengarkan dengan tekun. Suasana sunyi senyap selama Raja berpidato. Bill sangat kagum menyaksikan penampilan Raja. ia mengucap syukur bahwa Adipati Paritolen tidak berhasil menggulingkannya, untuk digantikan oleh Gussy. Pangeran itu masih kecil, dan masih harus banyak belajar. Di kemudian hari, mungkin ia akan bisa menjadi raja yang baik, setara dengan pamannya. Setelah itu Raja memanggil Gussy ke sampingnya, untuk diperlihatkan pada rakyat. Mereka menyambutnya dengan tempik sorak meriah. Penampilan Gussy saat itu benar-benar sesuai dengan kedudukannya selaku pangeran, ia memberi hormat, dengan membungkukkan diri ke segala arah. ia memakai jubah yang sangat indah. Jubah itu bergerak-gerak dipermainkan angin, menampakkan lapisan sebelah dalam yang berwarna merah menyala. Jack tertawa sendiri ketika teringat penampilan Gussy ketika ia terakhir kalinya melihat anak itu. Didandani seperti anak, perempuan, sementara rambutnya yang panjang diikat dengan pita. Kasihan Gussy! Orang lain tidak boleh sampai tahu mengenai hal itu, karena kalau itu sampai tersebar luas orang pasti tidak akan henti-hentinya mengganggu anak itu. Sedang Gussy paling tidak tahan kalau diganggu. Sesudah itu menyusul acara perjamuan makan. Anak-anak duduk di meja tersendiri, bersama Gussy dan Pedro. Mak, Toni dan Bingo juga ditempatkan di meja yang khusus disediakan untuk mereka. Sambil makan, anak-anak mengobrol dengan ramai, saling tukar-menukar kabar terakhir "Fank sudah sehat kembali," kata Philip. "Untung saja, karena kalau ia belum benar-benar sembuh, aku takkan bisa ikut hadir dalam acara ini. — He, Penidur, kau juga ingin ikut makan- makan? Ah, rupanya ia melihat buah badam itu. Lihatlah, bagaimana ia memakannya, sambil memegang buah itu dengan kedua kaki depannya!” "Aku tidak suka melihat dia naik ke atas meja." Tapi Dinah tidak berkeras, karena suasana saat itu terlalu menyenangkan, ia bercerita pada Jack, tentang kekagetan mereka ketika datang berita bahwa mereka diundang ke istana, dan untuk itu harus berdandan dengan pakaian yang sesuai. "Kami sampai tidak percaya, pada mulanya," kata Dinah. "Coba kauceritakan lagi, Jack, bagaimana kalian menyelamatkan Raja dan menangkap Adipati." Gussy nampak sangat gembira, ia tidak henti-hentinya bercerita, dengan mata berkilat-kilat. Kini ia berada di lingkungannya yang asli. ia sudah kembali menjadi pangeran ahli waris tahta kerajaan, Pangeran Aloysius Gramondie — dan bukan anak cengeng lagi yang rambutnya terlalu panjang! "Itu Bibi Allie!" seru Lucy-Ann tiba-tiba, lalu lari melintasi ruang perjamuan, ia tidak peduli lagi pada sekelilingnya, karena ingin menyongsong orang yang begitu disayangi. "Kau datang juga, Bibi Allie!" Bu Cunningham memasuki ruangan pesta, diantar dua pelayan istana yang menyerukan namanya dengan suara lantang. Bill bergegas mendatangi istrinya, diikuti oleh Dinah, Philip, dan Jack. Dengan mata bersinar-sinar, Bill menggandeng istrinya untuk diperkenalkan pada Raja. Di samping Raja dikosongkan tempat untuk Bu Cunningham, yang kedatangannya memang sudah ditunggu, ia baru saja datang dengan pesawat terbang, ia kelihatan agak bingung menghadapi kegembiraan anak-anak ketika menyambutnya. Gussy menunggu sampai suasana sudah tenang kembali. Setelah itu ia menghampiri Bu Cunningham. ia membungkuk, lalu mencium tangan wanita itu, persis seperti yang sebelumnya dilakukan oleh pamannya. Selesai perjamuan makan, anak-anak diajak melihat-lihat istana. "Kau mujur, Gussy — bisa menghabiskan sisa liburanmu di sini," kata Jack. "Meski aku tidak ingin seumur hidupku tinggal di istana — tapi kalau untuk berlibur selama beberapa minggu — kau benar-benar mujur, Gussy!" "Kami pasti akan rindu padamu, Gus," kata Lucy-Ann. "Sebentar lagi kami harus pulang ke Inggris. Sayang, petualangan kita berakhir sampai di sini saja!" "Belum — kalian belum harus pulang!" kata Gussy. Wajahnya berseri-seri. "Kalian masih akan menjadi tamuku di sini, selama beberapa waktu. Aku sudah minta izin pada Paman. Maukah kalian? Atau kalian tidak begitu suka padaku? Kalian sering menggangguku — seperti ketika jariku berdarrah." "Ah, Gussy! Jika kami mengganggu seseorang, itu bukan berarti kami tidak suka padanya!" kata Lucy-Ann. "Tapi betulkah katamu itu? Pamanmu meminta kami tinggal selama beberapa waktu di sini? Kami semua? Aku tidak mau, jika tidak dengan Bill dan Bibi Allie." "Ya, kalian semua," kata Gussy. "Termasuk Kiki — dan juga Penidur. Tapi Pedro tidak bisa, karena katanya ia harus ikut dengan rombongan sirkus. Mereka harus meneruskan perjalanan, mengadakan pertunjukan di tempat lain. Maukah kalian menemani aku di sini, sampai kita nanti kembali ke Inggris bersama-sama? Aku masih harus menyelesaikan pendidikanku di sana." "Tentu saja mau," kata Jack. "Aku tidak berkeberatan, tinggal beberapa minggu di istana. Nanti aku akan minta difoto, selama kita berlibur di sini. Tanpa foto-foto, kawan-kawan di sekolah pasti tidak percaya jika aku bercerita pada mereka!" Petang itu Pedro, Mak, Toni, dan Bingo meminta diri, karena harus meneruskan perjalanan. Mereka masih mengenakan pakaian pesta. "Pakaian ini dihadiahkan pada kami," kata Pedro sambil nyengir. "Aku pasti hebat nanti, jika muncul di tempat pertunjukan untuk membantu Toni dan Bingo memasang peralatan mereka. Pedro yang hebat — yang tidak ada duanya." ia mengatakan sambil membungkuk dalam-dalam, sampai kepalanya hampir menyentuh lantai. Mak memukul pantatnya. "Hahh! Kau harus mengupas kentang untuk Mak malam ini!" kata wanita itu sambil terbahak- bahak. Kiki menirukan suaranya. Mak semakin terpingkal-pingkal mendengarnya. Agak sedih juga anak-anak, ketika orang-orang sirkus itu pergi. "Mudah-mudahan kita bisa berjumpa lagi dengan mereka." kata Lucy-Ann. "Mereka begitu baik hati." "Yuk — kita sekarang ke Paman, untuk mengatakan bahwa kalian mau berlibur di sini," ajak Gussy. ia khawatir, jangan-jangan anak-anak berubah pikiran lagi. "Di samping itu aku juga ingin meminta sesuatu padanya. Kalian harus menolongku." Sampai di depan Raja, anak-anak memberi hormat dengan sopan. "Nah, Aloysius," kata Raja, "kau sudah berhasil membujuk sahabat-sahabatmu untuk ikut berlibur denganmu di sini?" "Ya, Yang Mulia — mereka mau," kata Gussy. "Tapi masih ada permohonan saya. Teman-teman akan mengatakan bahwa permohonan saya itu besar sekali artinya. Maukah Baginda mengabulkan permohonan saya itu?" "Apakah permohonan itu, Aloysius?" tanya Raja sambil tersenyum. "Ini, rambut saya, Yang Mulia," kata Gussy. "Saya ingin rambut saya dipotong pendek sekali — cak, cak — sependek rambut Jack dan Philip. Saya tidak mau dikira anak perempuan!" "Bukan kebiasaan kita bahwa pangeran berambut pendek, Aloysius," kata Raja. "Tapi aku bisa mengerti perasaanmu. Aku juga begitu dulu, ketika masih pangeran dan bersekolah di Inggris. Baiklah — rambutmu boleh dipotong pendek!" Wajah Gussy semakin berseri-seri. Nampak jelas bahwa ia sangat gembira. "Besok akan langsung kusuruh potong pendek-pendek," katanya. "Besok, pagi-pagi sekali. Rambutku akan kuminta dipotong pendek sekali — supaya tidak mungkin dipasangi pita lagi!" "Terima kasih, Yang Mulia — atas keramahan Baginda mengajak kami berlibur di sini," kata Jack, mewakili anak-anak. "Kami pasti akan senang di sini! Gussy benar-benar baik hati, mau mengundang kami menjadi tamunya." "Gussut kusut!" seru Kiki. "Gussut kusut! Yang Mulia! Baginda! Baginda! Panggil dokter, bersihkan hidungmu!" "Aduh, Kiki!" seru Jack kaget. Bagaimana jika Raja marah? Kiki menatap Raja Tauri-Hessia, lalu mengangkat jambulnya tinggi-tinggi. Burung konyol itu mengangguk. "Yang Mulia!" celotehnya dengan riang "Hidup Raja!" TAMAT Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com